Xander malah menganggapnya lucu. Pria itu bahkan tidak berhenti tertawa.
“Oom Luvian punya selera humor yang bagus.” Xander terkekeh. “Lalu, kau berada di bagian yang mana?”
“Kita masih membahas ini?” Rachell menaikkan alis.
“Tapi yang dikatakan Oom memang ada benarnya,” kata pria itu lagi. “Tidak ada persahabatan sejati antara wanita dan pria. Wah, kalimat itu terdengar keren sekali.”
Rachell mendecih. “Bagaimana denganmu sendiri? Apakah kau homo juga? Bukankah ada banyak sekali para wanita yang antri untuk jadi isterimu? Kenapa tidak memilih salah satu dari mereka?”
“Bukankah sebelumnya aku pernah bilang kalau aku akan menikah denganmu? Kenapa aku harus memilih mereka?”
Rachell nyaris tersedak steak sapi. Wanita itu kini kini tengah duduk di seberang meja makan. Di hadapan Xander. Mulut terbuka lebar. Mata nyaris membelalak keluar.
Saat ini, mereka sedang ada di salah satu restoran mahal. Tidak banyak orang yang duduk pada saat jam makan siang dan suasana yang disajikan amat sangat tenang, tidak seperti di restoran keluarga. Jadi, tidak heran jika beberapa pasang mata kini melirik ke arah mereka. Bahkan pelayan yang tadi hendak meletakkan minuman ke salah satu meja juga ikut melirik.
“Apa?” kata Rachell lagi, takut bahwa dia salah dengar.
Xander tersenyum. Ada guratan di dekat matanya. Tidak lupa, sinar matanya kini jauh lebih terang, terlebih jika saat ini mereka duduk di dekat jendela, dan matahari menyusup masuk menyinari wajahnya, memberikan halo di bagian kepala.
“Kau sudah punya pacar?”
“Tidak ada,” bisik Rachell, “Kau?”
Xander menggeleng. “Kalau begitu, maukah kau menikah denganku?”
Rachell mengerjap lagi. Harus dia akui, ada panas yang mulai menjalar di pipinya. Tidak lupa, kini jantungnya berdegup luar biasa.
Melihat Rachell tidak juga mengucapkan apapun, Xander akhirnya mulai salah tingkah.
“Bukankah kau pernah bilang kalau kau akan mempertimbangkan untuk menikah denganku? Aku lulus kuliah dengan nilai bagus. Aku tidak lagi bertengkar dengan ayahku. Aku juga tidak menggoda wanita selama dua tahun ini. Aku sudah melakukan yang kau minta. Aku menjadi pria yang kau inginkan. Apakah kau tidak jatuh cinta padaku?”
Rachell mengerjap-ngerjapkan mata. Kini, seluruh perhatian seluruh pengunjung restoran ada pada mereka.
Karena Rachell tidak juga bicara dan terlihat seperti orang bingung, Xander menyadari sesuatu. Dia menarik napas terkejut dan tiba-tiba menjadi kesal.
“Jangan bilang kalau kau lupa sama sekali tentang janjimu untuk menikah denganku,” tuntutnya.
Lagi-lagi, Rachell tidak menjawab.
“Sama sekali tidak bisa dipercaya kalau kau lupa sama sekali,” gumam Xander, bersandar pada punggung kursi, meletakkan sendok dan garpu yang dia gunakan. “Apakah kau tahu seberapa kerasnya aku berjuang untuk memenuhi permintaanmu? Aku harus bolak-balik mengejar dosen yang kubenci hanya agar aku bisa masuk kembali ke mata kuliah yang dia ajarkan. Setiap hari aku harus ke perpustakan untuk mengerjakan tugas menggunung dari mereka. Never ending work, Rachell. Kau juga tahu bahwa aku ada kerja sambilan karena kau bilang kalau kau tidak bisa makan cinta. Dan-dan-dan yang paling sulit, aku jadi pria baik. Aku tidak berkelahi, tidak cari perkara, tidak bertengkar dengan siapapun terutama orang tuaku, tidak pecicilan. Semua untukmu. Lalu, sekarang kau tidak ingat sama sekali dengan janjimu setelah semua yang kulakukan? Kau memang wanita kejam.”
Rachell ingin tertawa, tapi dia menahan diri. Untung saja, Xander tidak melihat lengkungan di bibirnya saat wanita itu kembali menusukkan garpu pada steak di piring.
Bagaimana mungkin dia bisa lupa pada janji itu? Rachell tidak tidur semalaman sejak kejadian itu. Apalagi, waktu itu, dia dan Xander tidur sekamar. Dan sepanjang malam, Rachell hanya menatap punggung pria itu. Berulang kali, muncul pemikiran dan keraguan dalam hatinya bahwa Xander akan lupa. Pria itu tidak pernah serius pada apapun. Juga, sejak kejadian itu tidak ada yang berubah dengan hubungan mereka.
Xander masih memperlakukannya sama seperti dulu, jadi Rachell juga melakukan hal yang sama. Mereka tidak pernah membahas masalah itu lagi.
Namun, seluruh keraguan itu ditepis dengan perjuangan yang Xander lakukan perlahan-lahan. Tentu saja, hal itu dimulai dari seringnya Xander mengisi absen ke kelas, lalu perpustakaan, belajar dengan gigih hingga akhirnya bisa lulus. Dia juga tidak lagi bergaul dengan para wanita yang merindukannya dan merajut tali silahturahmi dengan kedua orang tuanya.
Perlahan tapi pasti, Rachell tahu bahwa Xander sedang melakukan pembuktian.
Dan entah sejak kapan, Rachell mulai memikirkan Xander sebagai sosok pria yang bisa bertanggung-jawab.
“Kau masih bisa makan di saat seperti ini?” suara Xander kembali terdengar, mengalihkan perhatian Rachell. “Aku sedang marah di sini.”
Tentu, Xander banyak berubah. Tapi sifat kekanak-kanakannya masih sama.
Rachell berdeham, lalu mengangkat kepala, masih memasang ekspresi datar. “Kau melupakan janji yang keempat.”
Kali ini, Xander yang balas mengerjap.
“Kau seharusnya melamarku dengan cara yang romantis,” ucap Rachell. “Apa kau sudah melakukannya?”
Xander terdiam beberapa saat, kemudian menegakkan punggung. “Aku lupa,” ucapnya pelan.
Sudah kuduga, pikir Rachell masam.
“Tapi,” Xander melanjutkan, “aku sudah melakukan semua yang kau minta, seharusnya kau mempertimbangkan sedikit perjuanganku.” Dia berusaha memberikan alasan, “ya kan?” suaranya mengecil.
Melihat wajah ragu-ragu Xander, Rachell jadi ingin menggodanya sedikit. Menengadahkan tangan ke atas meja, Rachel berkata, “Baiklah. Mana cincin untukku?”
Xander mematung sejenak.
“Jika kau ingin melamarku, berikan cincin padaku.” Rachell menaikan alis. “Tidak ada? Well, kalau begitu lupakan saja untuk menikah denganku.”
“Tunggu—tunggu sebentar. Aku punya.”
Dia punya? Rachell terkejut. Dia sudah menyiapkan cincin? Sungguh?
Pria itu merogoh kantong celana, menggigit bibir saat melirik Rachell lagi. Ekspresinya menunjukan bahwa Rachell tidak akan senang dengan apa yang akan dia tunjukan.
Rachell menghela napas. Dengan cepat membaca maksud ekspresi Xander. “Kau tidak bawa cincin. Berhentilah bertingkah kalau kau membawanya.” Seharusnya aku tahu.
Xander cemberut, “Aku tidak ada uang yang banyak untuk beli cincin.”
“Kau tidak harus beli cincin yang mahal tahu.”
Rachell menghela napas. Dia terlalu banyak berharap pada Xander. Menusuk kembali steak di piring, Xander akhirnya memilih menyerah.
Pria itu mengangkat tangan ke atas meja, meletakkan benda kecil di kepalan tangannya ke atas meja.
Rachell berhenti mengunyah, menatap benda melingkar itu seperti bom yang siap meledak. Untuk sejenak dia tidak bisa bergerak. Benda itu bundar, terlihat mulus, berwarna perak. Tidak ada hiasan apapun di benda itu. Begitu sederhana, tapi bagi Rachell, dia seakan melihat benda itu bersinar terang layaknya matahari.
Cincin… Oh my god…
Xander benar-benar menyiapkan sebuah cincin untuknya.
“Aku akan belikan yang lebih mahal di hari pernikahan,” gumam Xander, tidak berani melihatnya.
Rachell menatapnya tidak percaya.
“Ehm…” Pria itu berdeham salah tingkah. Kedua pipi bersemu merah. “Tentu saja, jika kau mau menikah denganku.”
Rachell tidak bisa lagi menahan senyuman. “Aku mau cincin berlian.”
Xander memelas, “Berlian terlalu—”
“Berlian.”
Pria itu menutup mulut, “Oke, cincin berlian. Got it.”
Wanita itu menopang dagu, lalu menyodorkan tangan yang lain sambil berkata, “Kau tidak mau memasang cincin itu ke jariku?”
Xander melirik Rachell yang memainkan jari-jarinya di depan Xander seperti wanita centil. Dengan sengaja, wanita itu mengedip-ngedipkan mata. Rachell menikmati penderitaan Xander. Sialan. Mengapa Rachell tahu benar bagaimana cara menggodanya?
“Kau bisa memasangnya sendiri,” gumam Xander.
Rachell menaikan alis, “Kau yang ingin menikah denganku.”
Xander tertawa kecil. Tidak membantah. “Itu benar.”
Jika boleh jujur, Xander tidak ingin memberikan cincin semurah itu pada Rachell. Sejak awal, dia ingin mengajak Rachell membeli cincin bersama, karena dari cerita teman-temannya, para wanita begitu berisik dengan cincin yang akan dia terima. Jadi, lebih mudah bagi mereka memilih cincin mereka sendiri. Meminimalkan sakit kepala.
Tapi kemarin, saat Xander dalam perjalanan menjemput Rachell, dia tidak sengaja melewati toko pinggir jalan dan melihat-lihat sejenak. Matanya hanya tertuju pada cincin itu. Cincin itu sederhana tanpa ukiran apapun juga tidak berkilau seperti cincin yang lain. Sejenak, Xander teringat pada Rachell.
Wanita itu polos, kadang naif, sederhana dan juga tangguh.
Tanpa pikir panjang, Xander langsung membeli cincin itu.
Dan dalam perjalanan menuju rumah Rachell, dia tahu bahwa hari ini adalah waktunya.
Jari-jari Xander gemetar saat menyematkan cincin tersebut ke jari manis Rachell. Dia hanya menyematkan sebuah cincin pada Rachell, sahabatnya sejak kecil, namun waktu seakan berlalu dalam gerakan lambat, membuatnya gugup, tapi juga b*******h dan bahagia. Dia bahkan nyaris tidak bernapas begitu melihat cincin itu kini tampak bersinar di jari Rachell.
Rachell tersenyum lebar. Mata wanita itu bersinar seperti bintang saat melihat cincin yang diberikan. “Cincinnya terlalu besar, but it’ll work.”
Sesuatu di d**a Xander seakan penuh karena sesuatu. Bahkan komentar Rachell sama sekali tidak dia dengar. Dunia di sekitarnya seakan menghilang, berdengung dalam suara yang tidak terdengar. Pandangannya hanya fokus pada Rachell yang sedang berbahagia. Puas dengan cincin sederhana, seakan dunia diserahkan ke pangkuannya.
Wanita itu kini jauh lebih cantik dari sebelumnya di mata Xander.
Dia jauh lebih bersinar dari sebelumnya.
“Aku ingin memegang tanganmu,” kata Xander tiba-tiba.
Rachell terdiam sejenak. “Tidak mau. Aku tidak bisa makan kalau tanganku kau pegang.”
Xander tidak mendengarkan. “Please?”
Ada sesuatu dari nada Rachell yang begitu mendesak, sehingga Rachell tidak bisa menolak. Dia memberikan tangannya pada Xander. Terkejut begitu merasakan panas tangan Xander.
Pria itu memegang tangannya seperti barang berharga. Jempolnya mengelus perlahan pada cincin di jari Rachell seolah dia tidak percaya.
“Wow,” desahnya.
Yeah… wow…
***