Lantai 1 | Episode 0

822 Words
Surabaya, 08 November 2017 Brak! Sreek–sreeek! Demi Tuhan! Tetangga baru sialan itu tidak berhenti menggeser propertinya dari tadi. Tugas kuliahku harus dikumpulkan besok dan ada pekerjaan yang kubawa pulang dari kantor. Sekarang, tetangga yang pintunya berhadapan dengan rumahku ini tidak bisa diam. Klang!  Kuhentakkan kakiku keras ke lantai lalu bangkit. Aku penasaran, kenapa harus memindahkan semua barangnya sekarang? Ini sudah pukul sepuluh malam, astaga! Aku mengintip melalui lubang pintu. Jantungku mencelos. Rambut blonde dan kulit mulus itu dimiliki seorang laki-laki yang tinggal di depan rumahku. Tetangga baru yang berisik itu. "Nggak perlu, Bu, saya pindahkan sendiri aja. Makasih banyak, Bu." Otakku mendadak berputar cepat mencerna suara laki-laki itu, bukan, dia bukan laki-laki. Dia perempuan. Sumpah, dia perempuan tapi ganteng? Jesus Christ! Bisa mati berdiri kalau aku bertetangga dengan perempuan tomboy itu. Ya Tuhan, lihat bibir merah muda dan kulitnya yang putih mulus itu. Piercing di telinga kanan dan rambut blondenya yang bisa menutupi mata, SUMPAH DIA GANTENG. Mataku terus memperhatikan si perempuan tampan yang sibuk mengangkat box miliknya yang masih menumpuk di depan pintu. Suara langkah lain terdengar, makin cepat sampai b*****h sialan menutupi lubang pintuku. Bruk!  Aku jatuh ke lantai karena pintu yang didorong terbuka tanpa diketuk. Aku ingin sekali melepaskan sumpah serapahku andai tetangga itu tidak memandang ke arah Rei yang membuka pintu rumahku sembarangan. "Sialan! Ketok pintu dulu, kan, bisa!" Sentakku sambil berdiri, mengusap jidat indahku yang baru saja terbentur pintu. Bule Jepang sialan. "Sorry," hanya itu jawaban Rei dan sekarang dia menyodorkan panci kecil rice cooker miliknya padaku, "minta beras, Mit. Saya belum sempat beli." Demi segala dewa! Aku tidak mendengarkan Rei karena tatapan bingung tetangga baruku yang sekarang berdiri dengan satu box di tangannya tanpa berniat membawanya masuk ke rumah. "Hai, baru pindah, ya?" Sapaku untuk mencairkan suasana canggung dan emosiku karena Rei. "Mita, saya minta beras." Rei bicara lagi tanpa mempedulikan si tetangga baru yang tampan ... dan sialnya perempuan itu. "Hai, maaf kalau saya berisik." Dia menjawab dan tersenyum ramah. YA TUHAN! SENYUMNYA! SENYUMNYA MANIS! DIA SEMAKIN GANTENG DENGAN SENYUM ITU! "Mita, dia perempuan." Suara Rei membuyarkan semuanya, buru-buru kudorong dia lalu menjabat tangan si perempuan tampan ini, "hai, aku Mita. Yang sewa rumah di depanmu," kuberikan senyum terbaik yang kupunya. Lagi-lagi dia tersenyum sambil menjabat tanganku, "Disha. Baru pindah sore tadi." Jabatan tangan kami dilepas dan Rei gantian menjabat tangan Disha, "saya Rei Yamashita, panggil Rei saja," dengan senyum ramahnya, Rei memperkenalkan diri. "Pantesan, muka kamu nggak kayak orang Jawa." Sahut Disha yang tidak juga melenyapkan senyum itu. "Mau minta beras, kan? Sini." Kutarik leher kemeja Rei, "aku bantu habis ini," ujarku pada Disha yang tertawa lalu mengangguk. "Mit, mata kamu bilang kalau kamu suka dia." Ucapan Rei kubalas dengan tendangan di tulang keringnya, "sakit, Mit." Ia meringis. "Aku cuma nggak nyangka ada perempuan seganteng dia. Kamu jangan sembarangan ngomong." Aku memelototinya sementara tanganku sibuk mengisi panci kecil rice cooker itu dengan beras. Ganteng, demi apapun dia memang ganteng. Kalau dia tidak mengeluarkan suara, sudah kujamin hati ini berantakan. "Besok, beli beras sendiri. Jangan kayak orang susah. Malu-maluin negaramu aja." Aku mendorong keras panci berisi beras itu pada Rei dan keluar untuk membanti Disha. Kenapa namanya Disha coba? Kenapa nggak sekalian Arya? Bima? Dava? Kan, biar sekalian jadi cowok. Tunggu, memangnya dia punya p******a?  Otomatis, mataku tertuju pada Disha yang keluar dari rumah dan mengambil dua box sekaligus. "Makasih berasnya, Mit." Aku hanya mengangguk saat Rei mengucapkannya lalu menuruni tangga, kembali ke rumahnya yang berada tepat di bawah rumahku. Di lantai dasar. Aku mengangkat satu dari dua box yang tersisa. Disha sibuk membereskan kamarnya. Dibanding dengan rumahku, Disha lebih berantakan. Tunggu, ini dia baru pindahan, jadi mungkin memang belum dibereskan. Tapi, dilihat dari penampilannya, Disha memang bukan tipe orang yang rajin membersihkan rumah. "Mita?" Panggilan itu membuatku menoleh dan menyadari kalau Disha sedang berdiri di depanku. Diambilnya box yang kubawa lalu dia tertawa sambil berjalan ke kamarnya. "Kaget, ya? Aku udah biasa lihat ekspresi kayak gitu sewaktu masih di Jogja." Dia membuka obrolan sembari mengambil satu box yang tidak kuangkat tadi. "Kamu pindah dari Jogja ke sini?" Tanyaku yang sibuk memperhatikan kamar Disha. Kamar itu bernuansa biru langit, ada satu box tanpa tutup berisi gulungan kertas yang sepertinya poster. Penasaran, kuambil salah satunya dan itu adalah poster All Time Low Special Concert Edition di USA tahun lalu. Dia suka musik Rock? Metal? Pop Progresif? Serius? "Iya, aku dipindah ke sini. Studio Creative tempatku kerja, buka cabang di sini." Suara Disha terdengar dari ruang tengah. "Ngomong-ngomong, kamu beneran cewek, kan?" Pertanyaan itu kutahan sejak tadi, melihat payudaranya yang tidak sebesar punyaku itu, aku jadi curiga kalau dia benar laki-laki. Tawa Disha meledak, aku malu setengah mati. Kenapa nanya begitu coba? "Kamu pasti curiga sama dadaku?" Disah menunjuk dadanya dan aku spontan mengangguk bodoh. Tawanya terdengar lagi, dia melambaikan tangan, aku malu. "Aku juga nggak tahu kenapa ini nggak tumbuh-tumbuh." Dia gila. Dia gila. Mana ada perempuan yang ngaku kalau dadanya nggak tumbuh? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD