dua

1094 Words
Apa aku harus memberi penghargaan pada diriku sendiri? Kalian mungkin tidak akan percaya, terserahlah aku tidak peduli. Aku tetap akan mengatakan keberhasilan terbesar setelah Raja lahir. Mau tahu apa? Hm, kenapa aku agak sedikit sangsi, ya? Entahlah, akhir-akhir ini, aku nyaris kehilangan kepercayaan. Krisis kepercayaan terhadap semua pembaca kisahku dan Pram. Gimana enggak? Belakangan kutahu, para penghuni w*****d ini senang sekali melakukan drama. Untuk itu, aku mulai mengurangi kerjasama dengan para penulis di w*****d dan fokus pada tumblr juga blog. No hard feeling, oke? Aku bicara fakta. Namun, ini sangat menggembirakan! Kalau aku tidak segera mengumumkan kepada kalian semua, mungkin hidupku kedepannya tak akan tenang. Percayalah, menyimpan sedikit kebahagiaan bukan tindakan baik untuk kesehatan psikologi. Karena aku suka berbagi. Bukak pamer, ya! Atau ... sama saja? Begini ... Semuanya bermula saat usia Raja terhitung satu minggu. Ya, kalau aku tidak salah menghitung. Dan mana mungkin, sih, aku salah hanya menghitung usia anak sendiri? Oke, kembali pada cerita semula. Saat itu, aku sudah ada di rumah ... berapa hari, ya? Untuk yang satu ini aku sungguh lupa. Bunda dan Ayah sedang ke mal untuk membeli popok. Ibu sedang pergi entah membeli apa aku tak sepenuhnya ingat. Oh sialan, ada apa dengan ingatanku? Dhea ada di dapur, aku ingat saat itu memintanya untuk membuatkan Jus Apel. Kalian tahu di mana keberadaan Pram-ku tersayang? Biar aku menebak beberapa pemikiran dari kalian; Di ranjang bersamaku yang sedang menyusui Raja? Berdiri di almari untuk mengambilkan popok ganti Raja? Atau di kamar mandi sedang menuntaskan misi karena aku tak bisa membantunya? Oh ... tenang, aku paham. Mayoritas dari kalian pasti memikirkan opsi ketiga. Tak perlu malu, karena kita satu jenis pemikiran, kok. Ha ha ha. Namun, aku harus dengan berat hati mengatakan kalau kalian semua salah, Wahai penghuni w*****d yang budiman! Karena aku mengingatnya dengan jelas ... saat itu, dia duduk di depan cermin, sedang memoleskan gel pada rambut. Sudahlah. Kalian tak perlu menebak untuk kelanjutannya. Sebab, dengan senang hati (sekarang), aku akan menceritakan sejelas mungkin. Semuanya. "Nggak bisa digantiin apa, Pram? Aku butuh kamu," kataku saat itu, mencoba peruntungan agar ia memikirkan kembali keputusannya. Persetan dengan dering ponsel yang kemudian membuat Pram langsung ngacir ke kamar mandi untuk mencuci muka. Apalagi kalau bukan panggilan programnya yang sok idealis itu. "Perutku kadang masih sakit kalau lama-lama gendong Raja." Well, yah, aku tentu saja ingin dimanja semestinya istri yang baru melahirkan. "Nggak usah manja, Ra, please? Ibu dulu lahirin Dhea malah caesar, lho. Dan dia baik-baik aja." Sakit, kan? "Sekarang kantor udah lebih penting, ya, daripada aku sama Raja?" Mungkin aku terdengar manja. Yaiyalah! Setelah melihatnya menangis dalam proses persalinanku, tentu saja aku merasa besar kepala. Dia menoleh dan menjawab, "Pertanyaan kamu itu nggak perlu jawaban." Kemudian ia berdiri, berjalan mendekatiku. "Aku kerja buat kalian. Oke?" "Tapi aku baru seminggu abis lahiran. Raja aja kulitnya masih merah gini. Suruh gantiin temenmu aja, please?" "Aku harus profesional, Ra. Kabar warga Belitung harus segera diketahui banyak orang." Itu yang dikatakan Pram sejak telepon berdering tadi. Belitung mendapatkan musibah dan dia harus on air. "Jangan pergi, please? Aku mohon." Telapak tangannya yang besar mengusap pipiku, terus seperti itu tanpa menjawab apa pun. Ya Tuhan, aku merindukan sentuhan lelaki yang berstatus suamiku. Tetapi yang ia lakukan berikutnya sungguh membuat hatiku teriris. Ini kali pertama. Tindakan perdana Pram yang menyayat hati selama aku mengenalnya. Dia mencium pipiki dan Raja, kemudian berbisik, "Aku cinta kamu dan Raja." Setelah itu keluar dari kamar, meninggalkanku bersama anak lelakinya. Aku sudah biasa dengan mulut pedas Pram. Demi Tuhan, aku sudah biasa dengan sikap cueknya. Namun, tindakan yang satu itu sungguh membuat hatiku perih dan mendorong air mata tumpah dari tempatnya. Aku menangis! Sialan, aku menangis bahkan sampai Dhea masuk dan menyerahkan Jus pesananku. Dan sejak malam itu ... aku memutuskan untuk menghukumnya. Ya, aku memaksa diriku sekuat mungkin agar tak bersikap bodoh seperti dulu. Hingga usia Raja kini yang sudah sebulan lebih seminggu, aku masih memainkan peran yang kususun rapi semalam suntuk, saat ia memilih pergi siaran malam itu. Sebenarnya aku tak tega. Kalian jelas tahu bagaimana pengaruh eksistensi Pram bagi diriku, tetapi dengan dukungan dari Ibu dan Dhea ... aku merasa apa yang kulakukan sangat benar. Meskipun Ayah dan Bunda sering menegur bahkan sampai Bunda kembali ke California dua hari lalu, aku masih tetap pada pendirian. Seperti sekarang, usahanya saat membantu memasangkan popok Raja, sementara aku menyusun beberapa pakaian Raja di lemari. "Jagoan Papa ngompol, ya? He'em?" Pram memang sering bermonolog seperti itu. Jujur saja, sekarang menjadi salah satu hal favoritku. "Raja sayang Mami, ya? Iya? Iyalah. Kan Mami cantik, baik lagi." Meh! Hampir setiap hari selama sebulan penuh ini, kalimat itu yang dikatakan oleh Pram. Aku tahu, dia berusaha mengajakku berbaikan. "Ra?" Aku menoleh, tidak langsung menjawab. Apa kalian lupa kalau aku pernah menjadi model saat SMA? Kelompok dramaku di pelajaran Bahasa kelas X bahkan meraih juara pertama. Tidak heran, kalau sekarang aku pandai bersandiwara. "Raja minta nenen kayaknya." Tak perlu menjawab atau mendengus, yang perlu seorang Ramelia lakukan hanyalah mengangguk, lalu berjalan mendekati mereka. Iya. Begitulah aku berperan selama ini. Senjata yang baru kutahu ternyata ampuh untuk membuat Pram kalang kabut. Tidak percaya? "Aku kangen," bisiknya, di depan wajah Raja yang sedang menyusu. Tetapi perlu kalian tahu, kalimatnya itu ia tujukan padaku. Sekarang sudah percaya? "Ibu tadi belum balik ke sini?" "Belum. Kayaknya besok baru ke sini sekalian sama Dhea." "Ra ...," Kepalanya ia condongkan, menempel di leherku. "Kangen kamu banget." Hidungnya sudah menempel di pipi, sementara Raja masih fokus menghisap asupannya. "Aduh, pengin pipis!" selaku, di saat Pram nyaris menempelkan bibirnya pada bibirku. Ia segera menarik diri, kemudian memindahkan Raja ke gendongannya, lagi. Aku bersumpah, tadi mendengar elaan napas Pram. Meskipun lirih. Sejujurnya sungguh tak tega terus menghindari Pram seperti ini. Setiap ia akan mencium, itulah yang selalu aku lakukan. Berpura-pura batuk atau pun izin ke kamar mandi. Aku tahu Pram punya kebutuhan prima yang harus dipenuhi. Dan bukannya tidak tahu ... beberapa malam aku memergoki Pram keluar dari kamar mandi dengan cengiran antara malu dan canggung, sementara aku sibuk menenangkan Raja agar kembali tertidur. Namun, dia sungguh perlu diberi pelajaran begini. Aku tidak berharap dia bisa berubah karena diriku. Tidak. Itu hanya bisa kutemukan dalam novel Romance atau film romantis negeri. Setidaknya, dia harus tahu kalau aku dan Raja butuh waktu bersamanya. Terlebih aku, sedikit saja aku ingin dia memperlihatkan rasa cintanya dengan terang-terangan mementingkanku, mengkhawatirkanku. "Udah sebulan. Kamu mau sampai kapan maksa diri buat akting kayak gitu?" What?! Aku mematung di pintu kamar mandi, mencoba mencerna ucapannya. Memaksa diri dia bilang? Oh b******n ... jadi, dia tahu kalau aku hanya berpura-pura selama ini? Mampus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD