4. Empat

1491 Words
Rahee nggak sabar untuk kembali masuk kuliah. Dia akan melunasi hutang UKT-nya agar kembali aktif status mahasiswanya. Hari ini dia akan mendapatkan uang dari hasil aktingnya sebagai pengganti Rere kemarin. Namun kali ini nampaknya Rahee kurang mujur. Dia justru dihadapkan pada Rere yang sedang murka sekarang. "Lo gimana sih, Ra! Bukannya bikin dia batalin perjodohan, ini malah jadi dipertimbangkan!" Rahee meringis. "Sori, Re. Padahal gue udah totalitas banget bikin dia ilfeel." Benar, kan? Rahee bahkan mengobral diri sambil menegaskan bahwa dia ini jago ngangkang—astagfirullah—yang mana pernah tiga lawan satu. Gubrak sudah imejnya meluncur ke jurang. Rere mengerang. Lalu mengantongi kembali uangnya. Membuat Rahee panik seketika. "Re—" "Nggak ada bayaran ya, Ra! Kecuali kalo lo berhasil. Titik." "Astaga, Rere ... tunggu!" Tapi tidak tergapai, Rere sudah melesat cepat meninggalkan Rahee yang lemas di kursi kedai ramen langganannya dengan Marine. Gagal sudah mengembalikan status aktif mahasiswanya di kampus. Gagal sudah bayar hutang UKT. Gagal sudah untuk dapat uang. Gagal. Rahee gagal. Membuatnya membenturkan jidat ke meja. Ingin rasanya Rahee menangis, tapi air matanya nggak keluar, yang ada rasa sesak menumpuk mencekiknya. Mengutuk orang tuanya yang tega membuang dia ke panti asuhan. Ya ampun, malang sekali nasibnya. Sungguh, Rahee butuh uang. Tapi tidak ada pekerjaan yang gajinya mencukupi kebutuhan dia sekarang. Makanya Rahee mencari kerja tambahan. Apa sebaiknya dia terima lowongan kerja jadi istrinya Pak Altarik saja, ya? *** Ketahuilah, ada alasan di mana kakak beradik itu sekonyong-konyong mencari istri. Yakni Abyansah Chandra Gerhana bersama misi perjodohannya yang dia terima, lalu Altariksa Lorenzo bersama misi lowongan kerjanya yang Jaelani dedikasikan atas namanya di koran, serta Malikai Zul Edowardo. Ya, lelaki berkulit Tan itu punya misi sendiri secara natural, yakni mencari pacar. Walau sebenarnya pacar Kai ini ada tiga. Sayang, dari ketiganya tidak ada yang srek di hati dia untuk dijadikan pendamping di pelaminan. Kakak kedelapan Marine itu satu-satunya yang sudah tidak perjaka, padahal belum menikah. Kalau sisanya, selain Bang Chandra, Bang Altariksa, dan Bang Jae—mereka semua sudah menikah. Jadi sudah bukan jejaka. Pokoknya Kai ini yang paling bandel. Sempat dikira anak tetangga karena kulitnya eksotis sendirian. Sedang yang lain putih s**u. "Kita putus ya, Sayang." "Kok gitu?!" Kai mengusap lembut pipi pacarnya yang otw jadi mantan. "Ada yang ngaku hamil anak aku soalnya." "Tengik lo, b******n!" Jelas saja dia murka, tapi wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa selain merampas kunci mobil Kai di meja restoran yang pasti sengaja Kai simpan di sana untuknya. Lihat! Cewek jenis itu mana mungkin Kai ajak ke pelaminan! Sudah banyak harta yang Kai keluarkan untuk pacarnya yang sudah jadi mantan. Tiap kali putus mereka selalu minta pesangon, dasar cewek mata duitan! Sekali saja gitu Kai temukan perempuan yang nggak mandang uang. Kayaknya ketimbang realistis, yang Kai temui ini rata-rata matrealistis. Ah, mungkin karena semua pacar yang Kai gandeng adalah hasil temuan di kelab malam. Habisnya, usaha Kai kan membangun tempat keramat untuk jedak-jeduk nggak keruan penghilang penat. Maka lingkungannya pasti nggak jauh-jauh dari hal yang demikian. Kai benar-benar sibuk cari pacar sampai modus sana modus sini, tapi nggak ada yang mau dengan dia, sekalinya mau ya pasti ngincar harta. Pasalnya saat nembak cewek baik-baik, eh temannya cewek itu mengompori kalau Kai ini hidung belang. Yeu, dasar kampang! Sedangkan wasiat kakek terngiang-ngiang sepanjang usia 29-nya. Ya, isi dari wasiat itu adalah: seluruh gen kesebelasan maksimal menikah diusia 30 tahun. Jika tidak, selamat tinggal harta warisan dan silakan mencoret diri dari kartu keluarga. Kejam memang. Kai mungkin sudah kaya meski tanpa warisan, tapi enak saja masa dia dicoret dari KK! Alhasil setelah dipikir-pikir, kayaknya Kai incar salah satu dari pacarnya saja deh. Yang mana pucuk dicinta ulam pun tiba! "Febby!" *** "Urgent, Ra!" Yang sedang murung di perjalanan pulang itu—Rahee—menghentikan langkahnya. "Urgent kenapa? Btw, ini siapa, ya?" tanyanya membalas si penelepon. "Ini gue Velin. Kakak gue diincar playboy!" "Maksud?" Ya terus kenapa? Apa hubungannya sama Rahee? Dia kan bukan saudari dari playboy tersebut. Lagi pula nomor ponsel Rahee terkenal sekali sampai-sampai teman terjauhnya sekalipun menghubungi, padahal kalau ketemu nggak pernah nyapa. "Lo masih butuh duit, kan?" "Lo mau ngasih?" Rahee balas bertanya. Ah, pasti karena jabatannya di kampus sudah tersebar luas bahwa Rahee ini bisa jadi buruh mereka yang punya uang. Toh, Rahee sendiri kok yang pasang pengumuman di mading bertuliskan nomor ponselnya dan catatan: kalo butuh hubungi aja, asal ada bayarannya. Contoh: butuh pacar bohongan. "Iya, tolong datang ke restoran Blackpaper. Kronologisnya, Kakak gue ada meeting di sana, terus dia mergokin cowoknya dua-duaan sama cewek yang ternyata ..." Sampai Rahee pening mendengarnya. Dia menghentikan taksi dan menyebutkan lokasi tujuan setelah menyetujui tugas yang Velin berikan. Konon, cukup gagalkan kebucinan kakaknya. Jangan sampai terjerumus. "Lagian lo tau dari mana sih, Lin, kalo Kakak lo mergokin cowoknya?" "Ini gue lagi sama Kak Febby, anjir. Mendadak jadi kacang, gue kabur aja ke toilet. Plis, ya, datang!" "Berani bayar gue berapa lo?" "Tiga ratus ribu cukup?" Rahee mendengkus. "Gue balik lagi nih." "Lima ratus ribu!" "Gue mahal, tau! Gini aja, kalo berhasil, lo bayarin setengah tunggakan UKT gue. Kalo gagal, tiga ratus ribu aja gak apa-apa." "Bangke! Buruh macam apa lo, Ra!" "Ya udah kalo gak mau--" "Deal!" Gitu dong. Kan Rahee senang dengarnya. Toh, uang UKT-nya cuma dua juta kok. Hanya saja ... jadi dua kali lipat karena nunggaknya dua semester. *** Entah apa yang ada di otak Rahee sekarang sampai-sampai dia berani datang dan jadi orang ketiga di acara lamaran orang. "Sayang!" Kai menoleh, pun dengan Febby—pacarnya—yang baru saja Kai ajak nikah. Tapi kening Kai mengerut, perasaan dia nggak punya cewek modelan itu, tidak tahu siapa gerangan tapi tiba-tiba bilang sayang padanya. "Ayang Feb!" Ah, bukan! Febby melotot. Sedang Kai bertanya, "Siapa?" "Nggak tau, sumpah! Orang gila kali." Yang mana Rahee berdiri di antara mereka, tersenyum kepada Febby lalu membuat semua yang ada di sana melotot dan memekik jijik sebab Rahee mengecup pipinya. "Kamu kok gitu sama aku?" Rahee semprul! Di tempat terjauh restoran itu Velin menonton. "Anjing, Febby! Kamu lesbi?!" tuding Kai sambil berdiri. Beda dengan Febby yang mematung di tempatnya. Sebelum kemudian teriak histeris. Terjadi kehebohan di restoran itu. Sampai kemudian pihak keamanan datang dan menyeret keluar biang onarnya. Tapi Rahee tetap memaksimalkan aktingnya. Padahal mah ... dih, amit-amit! Dewi batin Rahee berkumandang. Nanti habis dari sini Rahee janji dia akan menggosok bibirnya pakai sikat gigi. Jijik, astaga! Untung cuma cium pipi. Begitu tiba di luar, alias diusir dari restoran. Kai memandang Febby tak habis pikir juga dengan sosok perempuan lain yang membuat bulu kuduknya berdiri. "Kalian ..." Belum tuntas Kai rampungkan, Rahee mendahului, "Saya pacarnya. Kamu siapa?!" "GILA!" pekik Febby. "Jangan percaya, Kai! Aku nggak kenal, sumpah! Dia pasti orang gila." Tapi pembelaan Febby hancur di detik adiknya tiba, "Kakak jangan bohongin Kak Kai gitu dong, aku tau sejarah kalian." "Astaga, Velin—" "Cukup!" sentak Kai dramatis. Jijik banget dia berhadapan dengan perempuan-perempuan nggak waras. "Kita putus aja, Feb. Pesangonnya nyusul." "Kai—" "Kak, plis!" Velin menahan tangan kakaknya, sedang Rahee mengobok-obok isi tasnya demi mencari tisu di sana. Bibirnya panas minta dibasuh air suci atau benda apa pun. Sekarang kalian paham seberapa menyedihkannya dia soal uang, kan? Rahee bela-belain rusak imej sendiri demi duit, dan itu adalah usaha kesekiannya. Karena tanpa usaha, dunia nggak mau berputar bak motor gak ada bensinnya. Tapi guobloknya Rahee itu selalu bertindak tanpa berpikir. Selalu melihat hasil tanpa melongok jalan yang akan dia lalui. Di tengah keributan kakak-beradik itu, Rahee pamit pergi setelah sebelumnya bilang, "Nomor rekeningnya udah gue kirim di WA, ya! Gue cabut." "Perempuan anjing, babi, b*****t kamu!" maki Febby tanpa sensor. *** Sedangkan di lain tempat ... "Abang tempel lowongan kerja berselubung nyari calon istri?!" Altarik dimarahi, hanya Marine yang berani. Saudaranya yang paling cantik sebab semua saudara Altarik itu laki-laki selain Marine, datang ke kantornya saat Altarik sedang perang dengan dokumen. "Tau, nggak?!" Yang masih Altarik abaikan. "Rahee itu temen aku!" Kali ini Altarik hentikan acara fokus dengan kertas-kertas berduitnya. Memilih memandang wajah murka adiknya. "Cewek satu-satunya yang ikut daftar?" "Ya, dia temen aku. Abang tolong jangan macem-macem!" Raut Altarik masih datar. Toh, apa sih yang bisa diharapkan dari ekspresi seorang Altariksa Lorenzo? Nggak ada. Altarik adalah kakak Marine yang paling limit emosi hingga ekspresinya pun nihil sekali. Mungkin sebenarnya yang cenderung mirip anak tetangga itu Altarik, bukan Malikai! Sebab semua keturunan ayah dan ibunya itu punya visual yang kaya ekspresi. "Oh." "Oh doang?" Marine berkacak pinggang. Walau usia beda nyaris 10 tahun, tapi dia adalah ratu hingga yang jadi putra mahkota di kesebelasan saudaranya macam Bang Altarik ini kalah juga. "Abang nggak akan macam-macam, Rin." "Bohong!" Marine tahu sepak terjang abang-abangnya, Altarik sekalipun. "Iya." Karena rencananya, Marine mau menjodohkan Rahee dengan Jaelani. Abangnya yang paling normal. Di mata Marine, Altarik ini nggak normal. Ayolah, kakak urutan kesembilannya itu the lady killer! Alias pembunuh wanita. Ya, membunuh perasaannya. Altarik termasuk sadis karena nggak ada ramah-ramahnya. "Jangan iming-imingi Rahee pakai uang!" Karena sekalinya Rahee terikat dengan Altarik, maka selamanya Rahee nggak akan bisa bebas. Ya ampun! Pokoknya dari deretan abang-abangnya, menurut Marine, Altarik yang paling nggak waras dan sulit diprediksi. Sekalipun Marine belum pernah dengar atau lihat Altarik punya gandengan, yang jelas ... pribadi Altarik cukup mengerikan. "Tapi kalo Raheenya mau—" "Tetep nggak boleh!" Altarik baru akan balas berkata, tapi suara ponsel menginterupsinya. "Sebentar." Yang Marine biarkan. Cukup lama hingga Altarik kembali meletakkan ponselnya di meja. Satu alis mata Marine naik menuntut penjelasan. "Dari Rahee," Altarik nggak suka basa-basi, "dan dia setuju." "ABANG!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD