12. Berkumpul

1518 Words
Azha tidak berhenti menggerutu setelah dia harus turun di depan gerbang komplek perumahan mewah sebab ojek online yang mengantarnya tidak boleh masuk. Dia tahu sih kalau ini demi keamanan dan privasi serta sudah ketentuan pula. Namun berjalan 2 kilo meter di bawah terik matahari Jakarta menurutnya cukup menyebalkan. “Huh… kenapa jauh banget rumahnya dari gerbang,” keluhnya seraya membaca lagi alamat yang dikirimkan perawat Dewi. Beberapa kendaraan berlalu melewatinya tapi tidak ada yang bisa dijadikan tumpangan, mana berani dia melakukan itu. Setidaknya dia bisa sekalian berolahraga setelah minum es cokelat yang super manis bersama teman-temannya. Setelah kurang lebih setengah jam berjalan, kedua kaki Azha akhirnya berhenti di sebuah rumah mewah. Bertembok batu bata merah yang menunjukan kesan lebih natural, namun tetap terlihat sempurna karena begitu rimbunnya pepohonan dan halaman yang luas memutari rumah itu. Azha sampai terkesima melihatnya. Tapi tunggu! Bukankah ini.... "Ini ‘kan rumah Dinda?" gumam Azha setelah berpikir. Dengan cepat ia mencari di mana ponselnya. Tapi ia urungkan untuk memencet nomor-nomor yang akan ia hubungi saat ia menemukan hal yang memang selalu ia lihat di garasi rumahnya. Ya, di pinggir jalan ini ada sebuah mobil berwarna merah terparkir. Itu mobil milik ibunya. . /// Takdir Kedua | Gorjeso /// . “Aku lebih suka warna merah untuk liptint,” ungkap Dinda, dia seperti sedang mengobrol dengan seorang ibu jika seperti ini bersama Kinan. Kinan menganggukkan kepalanya paham setelah beberapa kali tadi Dinda menunjukkan barang-barang kesukaannya. “Kamu lebih suka warna merah? Apa tidak—“ TING TONG TING TONG "Sepertinya ada tamu," gumam Kinan. Dia menoleh pada Dinda. Suara bel rumah Dinda berdering membuat perbincangan mereka berhenti. "Kalu begitu aku akan membukanya dulu, ya," usul Kinan, ia hendak beranjak dari ranjang milik Dinda, tapi tangannya diraih oleh gadis ini dengan cepat. "Ada pelayan yang akan membukakan pintunya. Dokter di sini saja," jelas Dinda. Kinan pun mengangguk mengerti, ia hanya terbawa kebiasaannya di rumah ketika ada tamu. Karena tak ada orang lain di rumahnya selain Azha dan dirinya. Jadi jika bel rumah berbunyi maka dia atau Azha yang akan membukanya. Perbincangan mereka yang terinterupsi tadi pun dilanjutkan lagi. Dinda menunjukkan juga alasn kenapa dia menyukai liptin warna merah, sebab itu terlihat bagus ketika diaplikasikan di bibirnya. Menunjukkan produk perawatan wajahnya dan meminta juga pendapat Kinan akan itu sebagai seorang dokter. Mereka tampak asyik dan selalu nyambung ketika ada topik pembicaraan baru di antara keduanya muncul. "Mama?" panggil Azha ketika menemukan mamanya di sebuah kamar yang ia pikir ini kamar Dinda. Tentu saja karena semua perabotan di dalamnya terliaht perempuan sekali dan memang pelayan di rumah ini mengatakan jika mamanya ada di sini. Dinda dan Kinan menoleh, mereka segera menemukan Azha yang berdiri di ambang pintu kamar Dinda ini. Putra dari Kinan ini tampak tidak akan masuk ke dalam kamar. "Kak, kenapa lo bisa kemari?" tanya Dinda. Azha memang pernah kemari saat pulang bersama-sama dengan Kevin dan Dinda saat papa Dinda tak bisa menjemput Dinda. Jadi mereka mengantarkan Dinda sampai ke rumahnya. Tapi Dinda pikir karena kejadian waktu itu sudah lama, maka Azha juga akan lupa jalan ke rumahnya. "Mmm... tadi aku pergi ke rumah sakit, tapi ternyata mama nggak di sana. Terus tante Dewi kasih alamat ke mana mama pergi," jawab Azha. Ia berjalan masuk kedalam kamar itu setelah Dinda memberikan isyarat padanya untuk masuk. Kinan menyambut putranya dengan senyuman. Tapi dia penasaran akan satu hal, "sepertinya kamu memang tahu ini rumah Dinda, ya?" tanya Kinan. Azha menganggukkan kepalanya di hadapan Kinan. "Iya, Ma. Aku pernah nganterin gadis cerewet ini pulang waktu itu," jawabnya. Ia melirik pada Dinda yang sudah mendelik kesal karena disebut cerewet. Tapi yang menjadi fokus Azha bukan itu, melainkan wajah pucat Dinda. Wajahnya pucat,  apa dia sakit? Tebak Azha dalam hati. Pantas saja ia tak melihat batang hidung nya saat di sekolah, dan hari ini ia pun bisa sedikit bernafas lega dari segala kejahilan Dinda jika saja mereka bertemu di sekolah. "Lo sakit?" tanya Azha. Dinda mengangguk pelan. "Iye... tapi ini hanya karena 'tamu' gue dateng," katanya. Azha langsung mengerti, ia tahu yang dimaksud Dinda dengan ‘tamu’ karena ibunya juga akan merasa kesakitan tiap tamunya datang. Dia jadi banyak mengetahui soal haid demi bisa membuat Kinan tidak kesakitan lagi, tapi ternyata gejala ini memang normal ketika menstruasi akan datang. "Lalu kenapa kamu cari Mama sampai kemari? Ada yang penting?" tanya Kinan. "Nggak ada apa-apa sih, Ma... Cuma hari ini sekolah memulangkan semua siswa lebih awal, jadi aku pikir ingin ajak Mama makan siang sama-sama tadi. Tapi ternyata Mama nggak ada di rumah sakit," jelas Azha. Akhirnya Kinan juga tahu kenapa putranya sudah pulang di jam segini. "Ya sudah, bagaimana jika mama masakan kalian berdua makan siang?" usul Kinan, lalu langsung dijawab dengan anggukan mantap oleh Dinda dan Azha. Karena bagi Azha, makan siang bersama mamanya adalah hal yang sangat jarang bisa ia lakukan. Sebab akhir minggu ketika mamanya harusnya libur, tapi kadang harus ke rumah sakit jika dibutuhkan karena urusan darurat. Dan bagi Dinda, ini adalah moment dimana ia bisa bersama lagi dengan Kinan dan Azha. Moment yang ia anggap layaknya sebuah keluarga yang tengah berkumpul, alangkah senangnya jika itu memang bisa ia wujudkan. Kinan dan Azha menuntun Dinda menuruni tangga menuju rungan makan yang berada di lantai satu. Setelah sampai di sana, Azha dan Dinda memutuskan untuk bermain di halaman belakang saja sembari menunggu Kinan memasak di dapur. Suara-suara dari dentingan alat masak pun terdengar memenuhi dapur yang terlihat rapi dengan segala perlengkapan masak yang lengkap berjejer rapi ditempatnya. Kinan meraih celemek berwarna biru tanpa motif yang tercantel di dekat lemari pendingin berwarna hitam dengan dua pintu. Ia menguncir rambut coklatnya tinggi-tinggi untuk menghindarkan rambutnya terjatuh memasuki makanan. Lalu setelahnya dia beralih menuju lemari pendingin, Kinan membukanya dan menemukan beberapa bahan makanan segar yang tersimpan di sana. Ada beberapa jenis sayuran, sosis, daging ayam, dan beberapa lagi yang liannya. Setelah sejenak berpikir, ia pun sudah memutuskan masakan apa yang akan ia buat sebagai santapan makan siang mereka nanti. Kinan memotong-motong dadu sosis tadi. Entah apa yang akan ia buat. Setelah mencuci sayurannya, ia mulai memotongnya kecil-kecil dan memasukannya pada panci yang di dalamnya sudah terdapat air mendidih dengan bumbu kaldu ayam di dalamnya. Sepertinya wanita ini akan membuat sup ayam. "Papa pulang!" Seseorang yang berteriak dari arah ruang depan membuat kegiatan Kinan berhenti. Ia menengok sebentar untuk mengetahui siapa yang datang. Ia terkejut melihat ternyata itu Faris, ayah Dinda. Oh iya, ia lupa, tadi pagi Faris memang berpesan pada Dinda dia akan pulang siang ini untuk melihat keadaan Dinda saat makan siang. "Kamu sudah pulang.?" sapa Kinan. Faris menundukkan kepalanya sedikit untuk menyapa, ditiru juga oleh Kinan. Kemudian melihat pada Kinan, sebuah celemek yang biasa ia gunakan saat memasak berbalut dengan tubuh wanita itu. Apa Kinan sedang memasak? Pikirnya. Mengerti dengan tatapan tatapan yang diberikan Faris, Kinan pun segera menjelaskannya. "Mmm... saya sedang memasakan mereka makan siang,” katanya.   Alis Faris terangkat. "Mereka?" tanyanya tak mengerti. "Maksudku Dinda dan Azha, tapi mereka sedang berada di taman belakang sekarang," jelas Kinan. Faris pun berjalan menuju halaman belakang. Benar saja, ia memang menemukan Dinda dan Azha sedang bermain PSP bersama di bawah pohon yang memang sengaja tertanam di halaman belakang rumahnya untuk berteduh. Bibirnya tersungging membuat sebuah senyuman begitu lega. Tak bisa ia bohongi memang, sejak Dinda bertemu dengan Azha dan Kinan, seolah putrinya itu kembali hidup sebagai anak yang ceria dan penuh tawa. Berbeda dengan 4 tahun ke belakang. Yang ia lihat hanyalah Dinda yang murung dan selalu mengurung diri dikamar seusai pulang dari sekolahnya. "Asyik banget kayaknya?" celetuk Faris di depan Dinda dan Azha yang duduk lesehan di atas rumput hijau halaman luas belakang rumah ini. Dinda dan Azha segera bangun dari posisi berdiri mereka. "Eh, Papa.... Papa udah pulang? Aku pikir Papa cuma boong akan pulang cepat hari ini," jawab Dinda dengan senyum semringah melihat kedatangan Faris. "Halo, Oom," sapa Azha pada Faris. "Halo juga, Azha... kayaknya kamu juga pulang sekolah lebih awal, ya?" balas Faris. Azha juga kemundian menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaannya. "Kalau begitu boleh Papa ikut?” tanya Faris santai. "Nggak lah, Pa... cuma ada dua PSP. Jadi Papa nggak usah ikut," kata Dinda. Faris pura-pura ngambek. "Ck! Kamu kan harus istirahat, jadi berikan PSP mu pada Papa,” katanya. "Nggak bisa gitu dong, Pa.... Udahlah, Papa bantu dokter Kinan masak aja," ujar Dinda tak mau kalah. "APA?!!" pekik Faris tak terima. Dinda melayangkan tatapan tajamnya. "Okelah... Kalau begitu Papa masuk ke dalam saja,” putusnya karena tak mau menjahili putrinya lagi. Setelah mengecup kening putrinya itu sekilas. Faris pun beranjak dari hadapan dua anak remaja ini. Meninggalkan Dinda yang mengerucutkan bibirnya kesal karena harus mendapat perlakuan layaknya anak kecil seperti tadi. Ia harus menahan malu dan siap-siap diejek oleh seorang iblis bernama Azha sebentar lagi. Melihat Azha sekarang sedang mati-matian menahan tawanya yang hampir meledak melihat wajah Dinda yang merah padam. "Apa lo liat-liat?" sungut Dinda. Dia ingin sekali mencakar wajah di hadapannya ini. "Buahaha...! dasar anak manja," ejek Azha. "Dih! Emangnya lo sendiri kagak?" cibir Dinda mengingat tadi Kinan mengusap rambut Azha sebagai ungkapan sayang. Azha mendecak kesal. Ia juga ikut-ikutan hening saat Dinda juga tiba-tiba diam tak melanjutkan acara debat mereka.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD