9. Makan Malam Bersama

1004 Words
Salah satu kebahagiaan terbesar adalah saat melihat senyum dan keceriaan menghias wajah setiap anggota keluarga. -UngkapanHati . Mereka berempat, yaitu Faris, Dinda, Azha dan Kinan, sudah duduk untuk mulai menikmati makan malam dengan hidangan yang dimasak Kinan dan Dinda tadi. Sejak beberapa menit yang lalu pula Faris dibuat heran dengan kelakuan putri satu-satunya ini. Sebab kali ini, Dinda benar-benar terlihat sangat ceria, tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa, meski juga ia melihat wajah Dinda yang muram seketika, saat Azha mulai menjahilinya. Dan kejahilan Azha pada Dinda adalah menyebut gadis ini gendut. "Eh, diem lo!" pekik Dinda. Dia menatap penuh permusuhan pada kakak kelasnya ini. Azha juga melakukan hal yang sama. "Napa Lo? Emang bener kan berat badan lo naik bulan ini? karena itu lo nggak muncul di latihan cheerleader kemarin-kemarin?" tukas Azha, membuat Dinda semakin mencak-mencak. Ingin sekali ia menjambak rambut Azha saat ini jika saja tak ada Dokter Kinan juga di antara mereka. "Sudah-sudah... kenapa kalian bertengkar terus, sih?" sela Kinan. Dia kembali mengenagi pertengkaran dua remaja ini. Dan dia hanya menggelengkan kepalanya heran, mendapati Dinda dan Azha terus saja bertengkar. "Kamu juga Azha, jangan bilang kayak gitu, berat badan itu sangat sensitif bagi seorang perempuan,” sambung Kinan, mengingatkan putranya kalau yang dilakukan itu salah. Azha merengut melihat ibunya membela Dinda lagi. Kemudian dia menoleh pada Dinda yang kini tengah menatapnya penuh kemenangan. Azha pun langsung memutar bola matanya malas. "Mama belaiin dia lagi?" tanya Azha tak percaya. "Sebenarnya anaknya itu aku atau gadis gendut itu, sih?" rutuk Azha  dengan suara pelan, namun masih dapat didengar oleh Kinan dan Faris, membuat mereka menahan tawanya. Lalu bagaimana dengan Dinda? Jangan ditanya, wajahnya telah merah padam menahan amarahnya yang sudah berada di batas ubun-ubun gara-gara mendengar Azha yang menyebutnya 'gadis gendut' untuk kesekian kali. "Oke, Sayang.... ini sudah pukul 8 malam. Sebaiknya kita pulang, kamu masih harus sekolah besok,” cetus Faris mengalihkan fokus Dinda dari amarahnya. Dinda menoleh pada ayahnya dengan bibir mengerucut. "NO! Aku mau nginep di sini aja !" tolak Dinda, ia menjawab acuh ajakan Faris. Faris langsung saja panik karena penolakan putrinya. "Eh, nggak boleh!" larangnya. Kinan dan Azha hanya melihat dengan saksama perbincangan ini. "Pokoknya-aku-mau-nginep-di-sini!" kata Dinda penuh penekanan di sana-sini. Faris mendengus kesal. "Kalau begitu Papa akan menitipkanmu lagi ke asrama sekolah karena tidak menurut,” ancam Faris. "APA?!!" pekik Dinda, wajahnya yang tadi tampak penuh penolakan, kini berubah penuh kelembutan untuk membujuk ayahnya.  "Yah, Papa... ngapa si kudu ngancem aku pake masuk asrama segala?" protes Dinda, dia sudah memegangi tangan ayahnya. Dinda benar-benar anti dengan apa yang disebut asrama, ia tak mau dimasukkan asrama lagi seperti waktu itu. Karena dengan begitu, dia tak bisa bertemu papanya, tak bisa melihat papanya itu bekerja dengan menggila di ruang kerjanya. Walau benci melihat hal itu, tapi sudah kebiasaan baginya melihat papanya lebih sering bergelut dengan kertas dari pada menemaninya menonton tv di ruang tengah. Faris hanya mengedikkan bahunya. Tak peduli dengan protesan Dinda. "Oke.. oke... aku akan pulang...," ucap Dinda pasrah. Tidak membangkang dan membuat masalah pada ayanya adalah hal terbaik. Dari pada ia harus dikandangkan di asrama putri dengan segudang aturan yang tak ia sukai sama sekali. Ayahnya ini masih saja memiliki kartu AS untuk bisa mengendalikan protesnya. "Tapi besok aku mau nginep di sini,” celetuk Dinda cepat yang membuat semuanya menoleh padanya, apalagi Faris yang langsung menatap tajam purtinya itu. "Ih... aku Cuma becanda, Pa...," sambung Dinda sambil menatap jahil pada ayahnya. Kini ia pun bangkit dari kursinya lalu berjalan mendekat pada Kinan, menatap wanita itu dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh siapupun kecuali Dinda sendiri. Membuat Kinan menautkan kedua alisnya dengan sempurna. "Terima kasih atas makan malamnya, Dokter. Masakanmu sungguh enak!" ucap Dinda penuh ketulusan. Kinan terhenyak, baru saja ia melihat wajah kusut Dinda, sekarang gadis itu sudah menggantinya dengan wajah penuh sinar yang memancar kemana-mana. Dia kembali dibuat jatuh hati oleh pesona unik putri dari Faris ini. Kinan mengangguk pelan, ia pun juga ikut berdiri. Tangan kanannya terulur menyentuh puncak kepala gadis itu, lalu megusapnya pelan. "Iya... sering-seringlah main kemari. Kita bisa memasak bersama lagi,” katanya dengan lembut. Hal itu langsung disambut senang hati oleh Dinda. Sementara itu Azha tengah menatap malas, baginya ini seperti drama-drama korea yang terkadang tak sengaja ia tonton. Ia mendecak kesal saat ibunya membolehkan Dinda kembali ke rumah ini. Ah... pasti akan sangat menyusahkan, mengingat begitu berulahnya gadis yang lebih muda darinya 2 tahun itu. Gadis yang sebenarnya sudah ia akui sebagai adiknya. Lalu apakah Azha sangat menyayangi Dinda? Tentu saja, tapi tidak dengan sifat jahilnya itu. "Kalau begitu kami pamit dulu, Kinan... Terima kasih atas makan malamnya,” kata Faris berpamitan. Faris membungkukan badannya pada Kinan sebagai gestur terima kasih, yang dibalas sama juga oleh Kinan. "Azha, terima kasih sudah menemani Dinda," ucap Faris  kemudian pada Azha. "Sama-sama, Oom," balas Azha, ia berdiri dari duduknya lalu membungkukan tubuhnya pada Faris. Dinda kembali merengut saat pamitan itu. Jujur, gadis itu masih saja tak rela berpisah dengan Kinan. Wanita yang sudah memesonanya ketika pertama kali bertemu. Ia menemukan hal beda pada mama sahabatnya itu. Rasa hangat dan nyaman yang muncul secara alami itulah yang selalu ia dapatkan ketika bertemu dengan wanita ini. Memberikan candu yang ingin dia nikmati setiap waktu jika bisa. "Aku  juga pamit dulu, dokter Kinan, kak Azha. Selamat malam," pamit Dinda, ia pun menerima uluran tangan Faris dan berjalan bersama menuju pintu yang diikuti juga oleh Azha dan Kinan yang bermaksud mengantar mereka sampai pada teras. Dinda dan Faris kembali membungkkukan tubuhnya sekali lagi sebelum mereka benar-benar masuk kedalam mobil BMW berwanarna hitam mengkilat yang sering dikendarai Faris untuk bekerja. "Bagaimana bisa Oom Faris mengantarmu pulang, ma?" tanya Azha ketika mobil BMW itu telah menghilang dari jarak pandang mereka. "Kamu tahu? Ternyata perusahaan yang mengadakan donor darah kali ini adalah perusahaan milik papa Dinda itu," jawab Kinan. Azha mengangguk-anggukan kepalanya, sangat mengerti dengan penjelasan pendek dari mamanya itu. Ia tahu alurnya hingga akhirnya papa Dinda mengantarkan mamanya pulang. Dia tidak menaruh pemikiran apapun, karena niatnya memang hanya bertanya. . /// Takdir Kedua | Gorjesso /// .  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD