3. Curhatan Maureen

1029 Words
Maureen menginjakkan kaki di kelasnya, melempar tas ransel ke kursinya lalu merebahkan diri di karpet bulu yang ada di belakang, gadis itu ingin tidur saja hari ini, malas memikirkan banyak hal. Malas mengikuti pelajaran juga. "Heh, Maureen! Ngapain lo rebahan gitu? Piket, gih. Biasanya juga lo yang teriak-teriak minta kita piket," ujar Rina dengan tangan yang berada di pinggang, melihat Maureen tiduran seperti itu membuat Rina kesal bukan main. Tidak adil sekali, di saat hari Rina piket, Maureen teriak-teriak meminta Rina untuk segera piket, melempar sapu ke tubuh Rina dan menggeretkan alat pel juga. "Ntar aja, gue lagi males," lirih Maureen dengan mata terpejam, mungkin sebentar lagi gadis itu akan tertidur. "Napa, sih, lo? Ada masalah apa sampai gak semangat gini? Tumben banget, biasanya aja jingkrak-jingkrak gak karuan, pagi-pagi udah di depan kaca, make-up yang cantik, udah pakai parfum yang wangi dan segala macam." Ya, seperti itulah kebiasaan Maureen di pagi hari, walaupun terkenal dengan kebobrokannya serta kepandaiannya, Maureen adalah salah satu murid yang centil, sebenarnya bukan centil, cuma merawat diri saja. Maureen bangkit dari tidurnya, gadis itu mengerjapkan matanya saat merasa masih kunang-kunang, maklum saja, darah rendah membuat gadis seperti Maureen merasakan demikian, walaupun hanya merebahkan diri sebentar. Kalian yang darah rendah pasti tahu bagaimana rasanya. Sepersekian detik berlalu, Maureen langsung bangkit dan berdiri, berjalan mendekati kursinya lalu duduk dan membenamkan wajahnya di lipatan tangan.  "Kenapa, sih, Ren? Kalau ada masalah cerita aja kali," ujar Rina lagi. "Abis dipanggil sama Bu Intan kemarin." Bukan, itu bukan balasan Maureen, melainkan Dila. Dila yang baru berangkat langsung meletakkan tas ranselnya di depan kursi Maureen. "Anjir, lo dipanggil dia? Selamat, ya! Gue tebak pasti karena nilai lo bagus." Gila! Tolong tenggelamkan Rina ke rawa-rawa! Mana mungkin seorang ibu guru terhormat seperti Bu Intan menyukai Maureen, tidak ada dalam sejarahnya. Maureen merogoh tasnya, bagian di mana saku kecil yang biasa digunakan untuk meletakkan botol minum, gadis itu menemukan benda yang diharapkan lalu melemparkannya ke Rina. Pulpen, Maureen memang selalu meletakkan satu buah pulpen di saku kecil tempat menyimpan botol minum. TUK! Sesuai tebakan, pulpen itu tepat sasaran, mengenai Rina yang langsung meringis kesakitan.  "Sialan lo!" pekik Rina dengan raut wajah tak bersahabat, wajahnya sudah merah padam, siap menerkam siapapun yang mengusik ketenangan dirinya. "Salah gue apa, sih, Ren? Lo lagi PMS apa gimana sampai sensi mulu ke gue," rengek Rina dengan suara yang dibuat lembut. Dila hanya terkekeh geli, Rina dan Maureen itu sahabat yang akur, menyebalkan, dan banyak lagi lainnya. Kadang bisa menjadi tom and jerry dan kadang bisa menjadi upin dan ipin. "Lo emang punya salah banyak ke gue!" lontar Maureen dengan wajah yang masih terbenam pada lipatan tangannya. "Cewek banget lo, ya! Kalau ada orang salah tuh bilang kenapa dia salah, bukan malah diem aja, Somplak!" gerundel Rina menggelengkan kepala, tidak introspeksi diri jika Rina pun seperti itu jika bersama dengan Gavin. Dila melerai, menengahi pertengkaran Rina dan Maureen di pagi hari, sudah banyak orang yang berangkat pagi ini. Mereka melihat pertengkaran Rina dan Maureen yang membuat mengelus d**a, sabar. Satu hal yang membuat mereka tercengang juga adalah Maureen. Sepagi ini Maureen sudah berangkat, tumben sekali gadis itu tidak kencan dulu dengan Cueng alias Pak Sugeng. "Maureen abis dapet panggilan, orang tuanya disuruh dateng ke sekolah sama Bu Intan. Bu Intan manggil Maureen bukan karena nilai yang bagus, Rina. Melainkan karena suatu kasus, kasus di mana Maureen labrak adik kelas," jelas Dila dengan sabarnya, nadanya jauh lebih lembut jika menjelaskan kepada Rina. Pasalnya Rina itu tipikal orang yang sulit paham, ia hanya akan paham pada masalah percintaan saja. "Oh gitu." Rina mengangguk paham seraya mulutnya membundar. "Bagus dong, biar makin akrab sama Bu Intan, mungkin dia kangen sama orang tua lo, Ren. Positif thinking aja," imbuhnya. Maureen yang mendengar hal demikian langsung mengangkat kepalanya, menggertakkan giginya dengan napas terengah-engah. "BUKAN POSITIF THINKING, YANG ADA LO POSITIF GILA!" semburnya. *** Maureen memakan roti tawar dengan selai coklat yang mamahnya bungkuskan, hari ini adalah hari paling sial bagi Maureen karena tidak diberikan uang jajan. Uang jajannya sama sekali kosong, tidak diberikan sama sekali. "Tumben lo bawa bekal dari rumah, kayak anak kecil aja," ledek Rina dengan perut yang dipegang, terpingkal-pingkal. "Bacot lo! Gue lagi sebel. Diem, deh, makanya." Maureen melanjutkan acara memakannya, membiarkan semua orang menatapnya dan mengejeknya, yang terpenting Maureen tidak kelaparan. Yang terpenting perut Maureen kenyang. "Ayo ke kantin, Ren. Lo katanya mau beli seblak, traktir gue sekalian," ajak Dila yang mengingat janji Maureen kemarin. Maureen kemarin memberikan janji akan mentraktir Dila seblak pada istirahat pertama. Maureen mendesis kecil, mengingat ada janji yang harus ia tepati. Uang yang ada di dompetnya tinggal lima ribu, mana bisa menepati janji. "Besok aja deh, Dil. Gue lagi males beli seblak, masih pagi, yang ada gue malah sakit perut," ucap Maureen memberi alasan. Mengatakan kalau tidak diberikan uang jajan kepada Dila dan Rina yang ada malah membuat bencana, mereka pasti akan meledek Maureen terus-terusan. "Alah sok-sokan sakit perut, biasanya juga lo beli seblak pagi hari, buat sarapan malah. Ayo lah, gue gak ada duit, nih, gue juga lagi pengen seblak." Dila tak kehabisan akal, terus meminta traktir pada Maureen, Dila itu anak yang kelewat irit sampai tidak mau mengeluarkan uang sedikit pun. "Gak! Besok aja pokoknya! Sana kalian ke kantin aja, gue lagi menikmati roti tawar gue!" usir Maureen dengan sarkasnya.  "Kenapa, sih, Ren?" tanya Rina merasakan keganjalan, dari tadi Maureen itu sarkas, seperti orang yang sedang haid, moodyan sekali. Apa-apa emosi juga. Maureen menundukkan kepalanya, memakan roti dengan cepat, percuma saja, masih tetap lapar. Roti mana bisa dijadikan makanan untuk istirahat, seharusnya seblak atau mie ayam, bakso juga bisa. Yang berkuah itu jauh lebih nikmat. "Orang tua gue gak ngasih duit gegara gue dapet surat panggilan lagi sama BK. Hari ini gue gak dikasih uang jajan, duit di dompet gue aja tinggal lima ribu, makanya gue gak jadi traktir lo ya, Dil? Besok aja, ya?" Maureen menceritakan semuanya, bagaimana orang tua Maureen begitu kejam tidak memberikan Maureen uang jajan karena perkara BK saja. Padahal kan Maureen sudah langganan BK. Sesuai dugaan, Rina dan Dila yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Ngakak, pantes aja lo kayak orang susah," ledek Rina dengan perut yang terus menggelitik. "Anjir. Gue laper banget, nih. Pinjem duit, ya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD