CHAPTER 37

4041 Words
Elena's Point of View Aku sedang memainkan ponselku dan melihat chat grup. Renaldi : Apa ada tugas, teman-teman? Rei : Tidak ada. Sasha : Benar kah? Bradley : Syukurlah. Saat aku membuka isi chat grup tersebut, aku langsung teringat akan janjiku pada Bradley. Aku kan ada janji pada Bradley. Mengingat itu, aku pun langsung menghampiri Praja yang masih berada di kamarku. "Praja, apa malam ini kau bebas?" Tanyaku. Dia yang sedang memainkan gitarpun langsung menghentikan permainannya. “Kenapa?” Tanyanya balik. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya balik. “Bradley mengajakku datang ke kafe di mana dia perform. Dia juga mengajakmu untuk ikut. Pas sekali, biar aku ada temannya.” Jawabku. “Kafe? Kafe mana?” Tanyanya lagi. Aku bisa mendengar dari air muka Praja bahwa dia tidak terlalu suka info yang aku ucapkan padanya. “Kafe di ujung jalan di luar komplek. Kafe yang dulu aku, kau, dan kak Jo sering kunjungi.” Jawabku. Praja pun membentukkan mulutnya dengan tanda ‘o’. “Oh.. Kafe itu.” Jawabnya. “Kau sudah bilang pada Bradley bahwa kau ikut?” Tanyanya padaku kemudian. “Sudah. Aku bilang bila tidak ada tugas, aku akan datang. Dan ternyata memang tidak ada tugas. Jadi secara otomatis aku datang. Lagi pula aku bosan dan tidak ada salahnya kan sesekali keluar.” Jawabku kemudian dengan apa adanya. Tapi Praja tidak menjawab pertanyaanku dan malah kembali memainkan gitarnya. Dia terlihat berpikir walaupun tangannya bermain pada gitarnya. "Bagaimana?” Tanyaku lagi karena dia masih belum menjawabnya. “Aku sudah bilang padanya bahwa aku akan membawamu, dan dia bilang kau boleh datang." Lanjutku lagi walaupun aku tau dia tidak akan mau. Karena aku sudah tau dari raut wajahnya yang tidak suka mendengar apa yang aku ucapkan. “Kenapa kau baru bilang sekarang?” Tanya Praja kemudian. Mendengar pertanyaan dari Praja, aku pun melongo… Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa ya… ya karena aku baru ingat. “Aku lupa. Dan saat sadar bahwa tidak ada tugas, aku jadi teringat bahwa aku sudah bilang pada Bradley bahwa aku akan datang bila tidak ada tugas.” Jawabku. “Maksudku, kenapa kau baru bilang padaku? Kenapa tidak bilang dari siang?” Tanya nya lagi membuatku semakin melongo. “Praja, aku kan sudah bilang aku lupa.” Jawabku lagi dengan sangat geram. “Apa itu masalah?” Lanjutku. Memang menurutnya masalah? Kenapa juga menjadi masalah? Kan dia hanya tinggal menjawab mau ikut atau tidak. Selama beberapa lama aku menunggu, Praja pun akhirnya menjawab. "Aku tidak bisa ikut.” Jawabnya singkat tanpa memberikan ku penjelasan lebih jelas. Hal itu membuatku mengenyit. Kalau dia tidak bisa ikut, memangnya dia mau ke mana? “Kenapa? Kau memangnya mau kemana?” Tanyaku kemudian karena penasaran dengan kemana dia mau pergi sampai dia bilang tidak mau ikut. Mendengar pertanyaanku, Praja menatapku. “Aku akan kencan dengan Maddi.” Jawabnya kemudian. Oh… Ternyata begitu, pantas saja dia tidak bisa ikut. “Oh…” Responku. Aku merespon ini karena aku tidak tau harus merespon apa. “Oke kalau begitu. Aku akan bilang pada Bradley kau tidak datang.” Ucapku kemudian. Oke kalau begitu, aku sudah tau alasannya dan lebih baik sekarang aku mandi. Dengan begitu aku pun langsung meraih handuk untuk segera mandi. Dari ujung mataku, aku bisa melihat Praja menatapku. “Kau mau mandi?” Tanyanya kemudian. Pertanyaan yang cukup retorik. Menurutnya memang aku mau melakukan apa lagi selain mandi. “Tidak, aku mau memancing.” Jawab ku dengan sarkastik. Oke, sekarang kami berdua seperti sedang perang. Praja dengan Maddi dan aku dengan Bradley. “Sana keluar kamar dulu. Habis mandi aku mau rapih-rapih.” Ucap ku kemudian mengusirnya. “Iya iya.” Jawabnya lalu dia pun menaruh gitar pada tempatnya dan setelah itu keluar kamarku. Sedangkan aku langsung masuk ke kamar mandi dan mandi. Setelah itu aku rapih-rapih. * * * Setelah aku selesai mandi dan rapih-rapih, aku pun langsung ke ruang tamu di mana Harry berada. Dan aku bergantian dengan Praja. Dia yang siap-siap. Aku menunggu jam 7 malam sambil berbincang dengan Harry. Aku memberitahu Harry ke mana aku pergi. “Oh? Kafe di depan itu?” Tanya Harry ternyata tau tempat yang aku maksud. Aku pun segera menganggukkan kepalaku. “Betul, yang itu. Kau tau?” Tanyaku balik. Kini Harry yang mengangguk. “Tau. Aku pernah beli kopi di sana sebelum berangkat ke temanku.” Jawabnya. Tidak lama kemudian saat aku dan Harry bicara soal kafe itu, Praja turun dari kamarku dan berdiri di hadapanku yang sedang duduk di sofa. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Tanya ku heran karena Praja malah menatapku. “Kau mau ke mana sih sampai harus berpenampilan rapih sekali?” Tanyanya kemudian membuatku mengernyit. Kok dia bertanya aku mau ke mana? Kan dia sudah tau bahwa aku akan keluar menonton Bradley di kafe. “Aku kan sudah bilang aku akan ke kafe menonton Bradley.” Jawabku. “Lalu kenapa pakai make up segala?” Tanyanya lagi membuatku tambah heran. Memangnya aneh sekali ya jika aku pakai make up? “Hah? Memangnya kenapa kalau Elena memakai make up? Ada masalah?” Tanya Harry yang kin ikut angkat bicara. Dia terlihat tidak suka dengan pertanyaan Praja yang ditujukan padaku. Ya ampun memangnya aku tidak bagus ya pakai make up sampai Praja bertanya itu? “Ya tidak juga sih. Aku heran saja. Tidak biasanya Elena pakai make up.” Jawabnya kemudian. Kini Harry menatap Praja dengan tatapan tidak percaya dengan ucapanyang baru saja keluar dari mulut Praja. "Apa itu artinya aku jelek kalau pakai make up?" Tanyaku pada nya. Aku benar-benar merasa sangat tidak percaya diri dengan pertanyaan yang muncul dari pertanyaan Praja. Kenapa dia malah bertanya kenapa aku pakai Make up? Aku benar-benar insecure. "Oh tidak, El. Kau cantik sekali sungguh. " Jawab Harry. “Dia hanya iseng saja menanyakan hal yang stupid. Lagi pula tidak ada larangan untukmu pakai make up. Ditambah lagi kau kan akan menonton temanmu itu kan? Kau rapih seperti ini adalah suatu tanda bahwa kau menghargai temanmu.” Lanjut Harry. Jujur aku senang sekali dengan jawaban Harry. Tapi aku masih meragukannya. Apakah Harry hanya bilang begitu untuk membuatku merasa senang? “Sungguh? Apa make up ku berlebihan?” Tanya ku lagi karena tidak yakin. “Tidak. Pas sekali. Cantik sekali.” Ucap Harry sambil mengacungkan dua jempolnya padaku. Ya ampun aku terharu sekali dengan jawaban Harry. Dia terlihat sangat berusaha agar aku tidak meragukan rasa percaya diriku. “Terima kasih Harry.” Ucapku kemudian lalu berusaha memberikan senyuman pada Harry. “Jangan dengarkan si Praja ini. Dia tidak pakai otak saat bicara.” Ucap Harry dan aku kini beralih menatap Praja yang sudah mengernyitkan dahinya. “Hei! Jaga mulutmu.” Protesnya pada Harry. Oh tidak… “Kau yang jaga mulutmu. Enak saja bilang seperti itu. Kau pikir kau oke? Dengar ya, kau sangat tidak keren dengan bertanya pada gadis tentang kenapa dia pakai make up. Sudah lah sana pergi dengan teman kencanmu. Jangan urusi Elena.” Ucap Harry membelaku habis-habisan. Hubungan mereka tidak terlalu baik, dan sekarang mereka sepertinya saling meluapkan rasa tidak suka mereka masing-masing dengan embel-embel aku. Atau mungkin sebenarnya Harry sudah tidak suka pada Praja, tapi karena dia sudah membawa-bawa namaku, dia makin tidak suka. Tapi tidak mau mereka berkelahi. Oleh karena itu aku memegang lengan Harry untuk memintanya berhenti. “Harry…” Ucapku sambil menenangkan Harry. “Tidak, El. Dia memang harus diberikan pelajaran. Dia harus dikasih tau kalau memang salah.” Ucap Harry padaku. “Hei, Praja. Kau tau tidak sih kalau kau itu menyebalkan?” Tanya Harry pada Praja. Namun Praja seperti tidak mendengar apa yang Harry tanyakan, Praja menatapku lalu membuka mulutnya untuk bicara. “Maafkan aku Elena. Aku tidak bermaksud memojokanmu. Kau terlihat sangat cantik kok dengan make up.” Ucapnya meminta maaf. Aku tidak menduga itu yang akan keluar dari mulut Praja. Harry pun juga begitu. Harry sontak menatapku dan aku adu tatap lagi dengannya. Belum juga aku menjawab permintaan maaf Praja, dia sudah keluar. Mungkin Maddi sudah menunggunya. “Elena, aku berkata jujur. Kau benar-benar cantik dan tidak udah mendengarkan perkataan Praja. Bahkan tanpa make up pun kau cantik. Apalagi pakai make up.” Ucap Harry. Aku harap memang begitu. Aku pun tersenyum pada Harry dan berterima kasih lagi padanya. Harry sangat baik dan aku sangat berterima kasih. Tidak lama kemudian aku pun pamit pada Harry untuk berangkat. Harry sempat menawariku untuk mengantarnya namun aku menolaknya dengan halus. Aku tidak mau merepotkan Harry, lagi pula dekat kok. “Serius, tidak apa-apa. Tunggu di sini sebentar ya. Aku juga mau keluar.” Ucapnya kemudian langsung pergi ke kamarnya untuk rapih-rapih. Tidak lama kemudian dia sudah selesai. Cowok memang tidak ribet ya. “Ayo.” Ucapnya kemudian dan aku pun mengangguk. Kami berdua pun berangkat bersama. Kak Jo masih belum pulang dan aku sudah mengirim kak Jo pesan singkat kalau aku berangkat menemui temanku. Kak Jo bertanya aku akan menemui siapa dan aku jawab aku akan menemui Bradley. Ketika kak Jo tau aku berangkat bersama Harry, dia bilang dia lega. Aku tidak lupa mengunci pintu. Kak Jo selalu membawa kunci cadangan. Jadi sekarang aku, Harry dan kak Jo masing-masing punya kunci cadangan. “Praja kenapa begitu ya?” Tanya Harry memulai percakapan saat kita berdua sudah keluar dari gerbang rumah. Aku menggidikkan bahuku. Aku sebenarnya tidak tau maksud dia bilang ‘begitu’ itu maksudnya apa. Mungkin ucapannya mengacu pada kejadian yang tadi? Mungkin saja kan. “Kenapa kau masih tahan dengan Praja yang gila kontrol seperti itu?” Tanya Harry lagi. Aku kembali menggidikkan bahuku. “Dia temanku.” Jawabku seadanya. “Betul, aku tau. Dia temanmu. Tapi seharusnya dia tidak seperti itu. Dia selalu mengatakan hal yang menyakitkan untukmu. Itu tidak baik,” Ucap Harry. Aku setuju. Mungkin terkadang memang menyebalkan. Tapi aku sudah tau sifatnya. “Entahlah Harry. Kita berdua sudah saling mengerti sifat satu sama lain. Kita berdua kenal dari kecil. Lagi pula Praja tidak seburuk itu kok. Mungkin sekarang yang kau lihat hanya buruknya saja. Tapi dia baik, dia peduli padaku.” Ucapku membela Praja. Oke, mungkin ucapannya tadi mengomentari make up ku memang di luar dugaanku. Tapi mungkin itu memang responnya? Harry mengangguk, menyetujui ucapanku. Lagi pula Harry juga hanya bisa memberikan pendapat, kan? Aku juga tidak keberatan bila Harry memberikan saran. Dia juga tidak memaksaku untuk menjauhi Praja. Sekitar sepuluh menit kami pun sampai di depan Kafe. Harry bilang dia akan menunggu sampai temanku sampai. Tapi aku tidak mengijinkannya. Pertama, aku malu pada Harry. Kedua, aku tidak mau membuat dia menunggu. “Tidak apa-apa. Sana berangkat saja.” Ucapku. “Kau yakin?” Tanyanya kemudian dan aku mengangguk dengan sangat mantap. “Yakin seratus persen.” Jawabku. Kemudian Harry pun pamit dan aku mengirim pesan pada Bradley. Aku memberitahu Bradley bahwa aku sudah di luar kafe. Sembari menunggu Bradley, aku memasukkan ponselku pada tas selempangku. Lalu pikiranku tenggelam lagi pada yang Praja ucapkan. Apakah benar aku terlihat jelek dengan make up? APakah sampai segitunya ya? Pasalnya Praja menatapku serius sekali dan hal itu membuatku benar-benar overthinking. Seketika aku merasa tidak percaya diri sekarang. Aku menengok ke dalam kafe yang kacanya tembus pandang. Di dalam ramai. Aku jadi merasa malu sekarang. Saat aku sedang tenggelam dalam pikiranku, ada seseorang yang menepuk pundakku. “Kok tidak langsung masuk ke dalam, sih?” Tanya Bradley dengan cengirannya. Aku tersenyum. “Hai,” sapaku. “Aku sengaja menunggumu. Aku malu.” Lanjutku menjawab pertanyaannya. “Kenapa malu? Tanyanya. Aku pun terdiam.. Lalu akhirnya aku mendekatkan wajahku ke kupingnya. “Bradley, apakah aku terlihat berlebihan?” Bisikku malu-malu. Bradley menatapku dari atas sampai bawah sebagai bentuk penilaian. Lalu dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kau tidak terlihat berlebihan sama sekali.” jawabnya. “Apa kau berkata jujur?” Tanyaku. “Kau tidak boleh bohong di sini hanya untuk menyenangkan hatiku.” Lanjutku pada Bradley. Bradley pun tertawa. “Tidak, ya ampun. Aku tidak bohong. Kau terlihat berbeda sih. Tapi berbeda dalam artian yang bagus. Kalau boleh jujur, kau terlihat cantik sekali.” Jawabnya. Aku yang dipuji seperti itu pun tersenyum malu. “Benarkah?” Tanyaku lagi. “Iya, Elena. Apa kau memintaku untuk bersumpah demi Tuhan?” Candanya. Namun aku menggelengkan kepalaku. “Haha, tidak tidak. Oke kalau begitu terima kasih banyak ya.” Ucapku sambil memberikannya senyuman. “Oke, sama-sama.” Ucapnya. “Kalau begitu sebaiknya kita lanjutkan perbincangan kita di dalam sembari minum kopi.” Lanjutnya. “Oke, aku akan memesan cokelat kalau begitu. Aku tidak bisa mentoleransi kaffein. Yang ada nanti aku tidak bisa tidur.” Jawabku. “OKE, SIAP.” Ucap Bradley. “Ayo masuk kalau begitu. Teman-teman bandku sudah di dalam.” Lanjut Bradley dan kami berdua pun berjalan masuk ke kafe. “Oh iya aku hampir lupa. Praja tidak jadi ikut?” Tanya Bradley. “Tidak. Dia ada acara.” Jawabku. Iya, acara berkencan dengan cewek lain. Haha. “Ohh… sayang sekali. Padahal aku ingin pamer padanya.” Ucap Bradley jujur dan aku pun tertawa mendengar pernyataan yang polos darinya. “Sebenarnya band kami tampil jam delapan.” Ucap Bradley lalu menggaruk belakang kepalanya yang aku yakin sebenarnya tidak gatal itu. “Maaf ya sudah membuatmu datang lebih awal. Aku hanya antisipasi jam karet orang Indonesia saja. Kau tau kan, terkadang saat kita janjian jam 7 malam, mereka akan datang jam 8. Jadi dari pada aku bilang kita tampil jam 8 dan kau datang jam 9, lebih baik memberitahu 1 jam lebih awal.” Jelas Bradley. Mendengar itu aku hanya tertawa. “Sayangnya aku bukan jam karet.” Jawabku. “Iya, aku kaget kau sudah datang.” Ucap Bradley. Bradley membawak ke meja yang sudah berisi tiga pria yang duduk di bangkunya masing-masing. Kedatanganku dan Bradley membuat perhatiannya fokus pada kami. “Ini dia tamu spesial kita.” Ucap Bradley pada teman-temannya. “Oh ini yaa.” Ucap salah satu pria yang memakai baju kuning dengan celana warna putih. “Wah cantik yaaa.” Lanjutnya. Bradley yang mendengar itu langsung menatapku, tatapannya seperti berkata ‘Tuh kan apa aku bilang. Aku tidak bohong kan.’ Dan aku menerima pujian itu dengan tersenyum. Ya Tuhan sebenarnya aku masih payah dalam menerima pujian. Seharusnya aku merepon apa? Apakah aku harus bilang terima kasih? Tapi berarti dengan bilang begitu, aku menyetujui bahwa aku cantik? Apa mereka akan berpikir aku sombong? Tapi apakah aku harus menjawab ‘ah tidak cantik kok. Biasa saja.’? Tapi itu terdengar seperti tidak menghargai orang yang sudah memujiku dan terdengar arogan. “Terima kasih ya.” Ucapku kemudian. Ternyata aku lebih memilih opsi dua. “Iya sama-sama. Perkenalkan aku Tristan.” Ucap nya kemudian mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. “Aku Elena.” Ucapku menjabat tangannya. “Hai, El, aku James.” Temannya yang satu lagi mengulurkan tangannya dan aku kembali menjabat tangannya. Pria dengan wajah yang lebih imut pun kini mendapatkan giliran, dia mengulurkan tangannya dan aku segera menjabatnya. “Aku Connor.” Ucapnya kemudian. Lalu setelah berkenalan, kami memesan minuman. Sembari menunggu pesanan datang dan menunggu band Bradley tampil, kami pun berbincang. Dari perbincangan kami, ternyata aku baru tau bahwa James dan Connor adalah alumni tempatku sekolah. Dan ternyata Tristan masih satu angkatan denganku di sekolah yang sama. Tapi jujur aku tidak familiar dengan wajah Tristan. “Ahhh aku sakit hati ah. Elena tidak merasa wajahku familiar.” Ucap Tristan. “Padahal aku pernah ke kelas mu loh untuk menjemput Brad.” Ucapnya kemudian. Aku pun tertawa lalu meminta maaf. “Maaf ya, mungkin bukan kau yang kurang terkenal, tapi akunya saja yang kurang memperhatikan orang.” Lanjutku. “Oke oke, tidak apa. Tapi aku punya satu pertanyaan untukmu.” Ucapnya. “Apa?” Tanyaku. “Kau dan Praja itu pacaran atau tidak sih?” Tanya Tristan dengan penasaran. Oh ya ampun pertanyaan ini lagi. Mendengar pertanyaan itu, Bradley memperingati Tristan. “Hei, malah bertanya itu.” Ucap Bradley. Bredley yang sudah bertanya lebih dulu mungkin bisa saja bilang begitu pada Tristan. Tapi Tristan yang masih penasaran mungkin ingin tau jawaban dariku. “Aku heran deh. Kenapa sih banyak sekali yang berpikir aku dan Praja pacaran?” Tanyaku heran. “Sekarang aku saja deh yang bertanya padamu. Kenapa kau berpikir aku dan Praja pacaran?” Tanyaku kemudian. “Karena kalian dekat sekali. Kemana-mana berdua.” Jawab Tristan dengan jujur. Ya memang benar sih. Apa yang Tristan ucapkan tidak salah sama sekali. Aku dengan Praja memang dekat dan kemana-mana memang berdua. Tidak heran bila Tristan berpikir demikian. Saat aku membuka mulutku untuk menjawab, tiba-tiba ada salah satu pegawai kafe ini yang datang ke meja kita membawa sebuah nampan berisi pesanan kami. “Terima kasih, Ayu.” Ucap Bradley. “Siap sama-sama, Captain. Oiya jangan lupa sepuluh menit lagi kalian tampil ya.” Waitress yang bernama Ayu itu pun mengingatkan Bradley. “Oke siap.” ucap Bradley. Setelah tinggal lima menit lagi, Bradley, Connor, Tristan, dan James pun siap-siap naik ke atas panggung. “Bye Elena, kita bertemu lagi nanti.” Ucap Tristan dan aku hanya tertawa. Bradley, Connor dan James pun pamit pada ku. Kini aku tinggal sendiri dengan minuman cokelat di tanganku. Sambil menonton mereka berempat siap-siap di atas panggung, aku menjadi merasa sangat salut karena mereka mendapatkan uang dari hasil hobi. Aku sangat salut. Oke, baiklah. Jadi Bradley, Tristan, James, Connor, bahkan Praja, Aldino, Ashton, Michael dan semua orang yang memang menjadikan hobi mereka sebagai pekerjaan yang bisa menghasilkan uang, aku sangat salut. Karena itu butuh komitmen besar. Saat aku masih sibuk dengan pikiranku, terdengar suara mic yang menyala dan aku langsung fokus kembali ke Bradley yang sudah di atas panggung dan sudah memposisikan dirinya di depan mic. Bradley adalah vokalis. Aku bisa melihat tristan adalah dummer, Conner gitaris, dan James juga guitaris. Saat Bradley dan teman-temannya di atas panggung, semuanya hening sampai akhirnya Bradley membuka suaranya untuk menyapa para pengunjung. Dua lagu sudah mereka nyanyi kan dan kesabaran ku mendengar kan lagu mereka belum terbayar. Dua lagu tadi adalah lagu orang lain yang mereka cover. Jadi aku belum mendengar lagu mereka sama sekali dari tadi. Jujur saja, aku senang melihat penampilan mereka karena penguasaan panggung mereka sangat baik dan aku yang pertama kli menonton mereka sangat menikmatinya. Sebenarnya ini juga berkat pribadi mereka yang menyenangkan. Walaupun mereka bekerja di sini sebagai pengisi acara, tapi mereka terlihat sangat santai dan tidak menjadikan pekerjaan ini sebagai beban. Mungkin karena ini adalah bentuk dari hobi yang dibayar. Kalau dipikir-pikir, hobiku itu apa ya? Aku tidak punya hobi yang sangat aku fokuskan. Maksudku, aku hobi menonton film, aku hobi mendengarkan musik, aku hobi menggambar… Oh iya betul, aku hobi menggambar. Aku juga hobi melukis. Tapi dari hobiku itu aku belum mendapatkan pencerahan untuk mencari uang dari situ. Kak Jo pernah memberiku saran untuk menjual saja lukisan-lukisan yang ku lukis. Atau aku bisa membuka sebuah orderan di mana orang memakai jasaku untuk menggambar mereka atau mungkin kalau orang itu jauh, dia bisa mengirim foto padaku dan aku menggambar mereka lewat foto itu. Tapi dari saran kak Jo, belum ada yang aku lakukan. Sebenarnya ada beberapa alasan. Pertama, aku belum percaya diri dengan kemampuanku karena aku tidak pernah menunjukkannya pada orang lain. Maksudku, oke, aku memang mendapatkan pujian dari guru seniku, kak Jo, Praja, Harry, Alice, sebagian teman kelasku. Tapi aku belum pernah mendapatkan penilaian yang benar-benar objektif. Orang-orang yang menilaiku itu kan bukan orang-orang yang tidak ku kenal. Mereka sangat mengenalku dan hal itu yang membuatku merasa ragu. Mungkin mereka bilang bagus karena memang mereka mengenalku dan tidak mungkin juga kan mereka menilai jelek? Kalau soal guruku sih, yaa mungkin aku masih bisa percaya. Tapi aku masih kekurangan orang yang menilaiku secara objektif. Lalu alasan kedua adalah, aku masih malas untuk melakukannya. Bila aku menggambar karena keinginanku sendiri, mungkin aku tidak akan malas. Tapi jika itu adalah sebuah tuntutan, mungkin akan sebaliknya. Aku menggambar sesuai mood. Jadi bila mungkin aku menggambar sesuai orderan, misalnya aku sedang malas atau tidak mood, atau sedang sedih. Mungkin akan berat bagiku mengerjakannya. "Selamat malam teman-temanku! Selamat malam gadis-gadis cantik, termasuk gadis spesial yang menjadi tamu spesial kami malam ini, Elena." Bradley menyapa pada pengunjung dan menyebut namaku. Lalu setelah mengatakan itu, Bradley mengedipkan matanya ke arah ku dan kembali fokus pada para pengunjung. "Oke, di lagu ke tiga, kami akan menyanyikan lagu kami sendiri. Ada yang bisa menebaknya?" Tanya Bradley pada pengunjung dan para gadis-gadis cantik yang dia sapa tadi. Dengan begitu mereka pun langsung berteriak dan menyebut judul lagu tersebut. "Yap betul! CAN WE DANCE! WOHOOO!" Teriak James yang membenarkan tebakan para pengunjung. Biar ku tebak, mungkin memang para pengunjung adalah pengunjung yang sering datang ke sini dan sudah tau apa yang akan Bradley dan kawan-kawannya bawakan. Ngomong-ngomong soal nama Bradley, menurutku nama Bradley bagus-bagus saja. Kenapa dipermasalahkan ya oleh teman-temannya. Aku pun sebenarnya belum terbiasa bila memanggil Bradley hanya ‘Brad’. “Oke, kalau begitu kita akan membawakan-” “CAN WE DANCE!” Seru James lagi kali ini menginterupsi ucapan Bradley. Semua pengunjung tertawa melihat ekspresi Bradley yang tidak senang karena ucapan nya yang di potong oleh James. “Kau terlalu lama. Bicara terus. Lihat teman-teman kita sudah tidak sabar.” Ucap James dan dengan begitu Bradley tertawa. Ekspresi marahnya ternyata cuma bercanda dan dengan begitu, Bradley kembali bicara. “Enjoy!” Seru Bradley. Dan dengan begitu mereka pun mulai membawakan lagu mereka. Aku mengangguk-anggukan kepalaku karena menikmati alunan musik yang mereka mainkan. Bradley mulai bernyanyi dan teman-temannya mulai mengiringi nya dengan sangat keren. Lagu ini lumayan enak juga untuk di dengar. Bahkan di beberapa bait , aku bisa ikut ber nyanyi. Sebenarnya kalau aku bisa bilang, Daily Project dan band Bradley sama-sama memiliki kesamaan dari komposisi musiknya. Jadi dengan gampangnya aku bisa langsung menikmati lagu ini. Well sebenarnya aku tidak terlalu susah sih untuk menikmati lagu karena aku tidak mematok satu genre saja untuk aku nikmati. Aku adalah tipe orang yang tidak peduli dengan genre, kalau aku suka, ya aku suka. Tidak bisa diganggu gugat. Saat aku sedang menikmati penampilan mereka, Bradley melihat ke arahku yang sedang menggoyangkan kepalaku karena menikmati lagu mereka. Dia yang dari awal berdiri pun kini berjalan ke arahku. Awalnya aku kira dia keluar dari panggung itu karena ingin menyapa para pengunjung, karena para pengunjung yang aku tebak adalah sekumpulan fans berteriak memanggil Bradley. Tapi ternyata perkiraanku salah karena Bradley keluar panggung untuk menghampiriku. Saat sudah berada di depanku, Bradley mengulurkan tangannya. Mau apa dia? “Apa?” Tanyaku tapi Bradley yang masih bernyanyi tidak bisa menjawabku. Aku sempat merutuki diri sendiri kenapa aku malah bertanya padahal jelas-jelas Bradley sedang bernyanyi dan dia kesusahan untuk menjawabku. Jelas saja pasti Bradley juga tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dia masih mengulurkan tangannya dan mau tak mau aku meraih tangannya. Mungkin aku hanya disuruh bernyanyi. Tapi saat aku meraih tangannya, Bradley menuntun ku untuk naik ke panggung. Awal nya aku menolak. Aku tidak sepercaya diri itu untuk naik ke atas panggung. Tapi Bradley masih memaksaku dan mau tidak mau aku ikut. Kalau aku memaksa untuk tidak naik, yang ada nanti suasanya menjadi canggung dan Bradley menjadi malu. Jadi akhirnya aku pasrah dan mengikutinya dari belakang dengan tangannya yang masih menuntunku. Melihatku, beberapa gadis yang duduk di belakangku berteriak memanggil Bradley dan sebagian lagi ada mencibirku. Tapi aku tidak peduli. Aku sudah terbiasa oleh itu . Cibiran bukan lagi hal yang membuatku terganggu. Dan aku mewajarkan hal itu karena mereka suka bradley dan aku yang baru pertama kali menonton malah mendapatkan perlakuan seperti ini. Ini kan termasuk tidak adil. Saat terpikir soal gadis-gadis yang merasa tidak adil, aku pun memposisikan diriku sendiri sebagai gadis-gadis itu. Kalau aku suka pada suatu artis dan ternyata artis itu malah membawa temannya ke atas panggung (yang notabennya baru pertama kali datang), aku juga akan merasa sedih. Padahal aku sendiri sudah mengikuti mereka tapi yang di bawa ke atas panggung malah orang lain. Menyebalkan sekali bukan? Pasti gadis-gadis itu merasa sangat sedih. Aku merasa bersalah jadinya HUHU. Tapi kalau di posisi ku saat ini, aku sih merasa ini adalah sebuah kehormatan. Aku dianggap sebagai tamu special dan bahkan diajak ke atas panggung untuk bernaynyi bersama. Mungkin ini adalah kesempatanku untuk menikmati malam ini. Aku buktikan bahwa aku juga bisa bersenang-senang tanpa Praja. Aku juga bisa bersenang-senang. Memangnya Praja saja yang bisa senang-senang? Sembarang sekali. Saat berpikir bahwa aku sedang senang-senang, aku kepikiran kak Jo. Mungkin kapan-kapan aku akan mengajaknya ke sini. Aku akan bilang pada Bradley dan bertanya kapan mereka akan tampil lagi. Setelah ini aku akan bertanya pada Bradley. hehehe.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD