•Kondangan•

2296 Words
"Kamu tetap sama saja. Tetap menyepelekan hal-hal penting." -Akilla Ainina Gardiawan- °°°°°°°°°° "Apaan, sih, Barra?!" teriak Killa tidak terima. Menaruh kembali kotak yang Barra berikan padanya. "Aku nggak mau, ya. Kamu dateng sendiri aja sana." "Ya, ampun, Killa." Barra mengusap wajahnya. "Kalau aku dateng sendiri, dikira aku nggak punya pasangan. Bayangin aja! Aku, CEO perusahaan dateng ke acara nikahan sahabatku dengan tanpa pasangan di samping aku. Bisa kamu bayangin nggak artikel apa yang bakal terbit besok?" Killa melipat kedua tangannya di depan d**a. "Kamu juga, salah. Kenapa baru bilang tiga jam sebelum acara. Emangnya si Vero nggak ngasih undangan ke kamu?" "Ngasih, sih," Barra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dari jauh-jauh hari, Vero sudah mengambil cuti untuk hari pernikahannya. Sekitar tiga bulan yang lalu. Dan satu bulan yang lalu juga undangan pernikahan Vero sudah disebar luaskan. Namun, entah karena terlalu banyak yang Barra pikirkan atau entah karena apa. Barra melupakan hari sakral itu. Dan sekarang lah hari itu berlangsung. "Aku beneran lupa, sumpah." "Aku belum siap-siap. Terus nanti siapa yang jagain Al sama Rere? Mereka masih kecil. Nggak mungkin aku ninggalin mereka berdua sama Heksa yang juga sama-sama masih kecil," Killa mendengus. Duduk di tepi ranjang, masih dengan tangan yang terlipat di depan d**a. Pandangannya menatap Barra tajam. "Kamu mending berangkat ke sana sendiri deh, Barr." "Anak-anak nanti bisa kita titipin ke Papa sama Mama." Barra masih berusaha untuk membujuk Killa agar menjadi pasangannya di pesta pernikahan Vero. "Kamu pikir anak-anak kita itu barang yang bisa dititip-titipin? Hem!" "Astaga, Killa." Barra selalu saja salah di mata Killa. Sebenarnya, salah Barra juga yang baru memberitahu hal itu sekarang. "Terserah. Kamu mau apa," ucap Killa bersiap akan melanjutkan pekerjaan rumah tangganya. "Kamu urus aja urusan kamu sendiri." Sebelum Killa melangkah lebih jauh. Sebelum Killa membuka kenop pintu kamar mereka lalu kembali pada rutinitasnya, Barra terlebih dulu meraih tubuh mungil Killa. Memeluknya dari belakang. Barra menempelkan dagunya di bahu Killa dengan nyaman. Aroma khas tubuh istrinya itu selalu menjadi parfum terfavorit yang pernah ia hirup. "Lepas, nggak!" Jangan kaget, jika Killa nada suaranya tinggi dan sikapnya terkesan kasar pada Barra. Itu merupakan faktor dari ibu menyusui. Kadang, Killa bisa sangat sensitif. Apa-apa ditangisi lalu kadang juga bisa marah-marah tidak jelas. Barra pernah berkonsultasi pada dokter dan itu wajar karena pengaruh hormon ibu menyusui, apalagi Killa bukan hanya menyusui satu orang anak saja. Tapi, tiga. Hah? Tiga? Ya, Barra termasuk. "Jangan gambek," lirih Barra seraya mengeratkan pelukannya. "Aku beneran lupa, sumpah." "Ya, udah. Itu urusan kamu." "Mau, ya, dateng sama aku?" "Nggak." "Sekali aja. Ini pernikahannya Vero, lho. Sahabat aku." "Enggak peduli." "Dia peduli, lho, sama kamu. Waktu pernikahan kita, dia juga dateng sekeluarga." Ya, itu memang benar. "Masak waktu pernikahan dia, kita sengaja nggak dateng?" "Aku nggak mau keluar rumah ninggalin Al sama Rere." Seharusnya, Barra membujuk Killa dari beberapa minggu yang lalu. Akan sangat sulit mengajak Killa keluar rumah, tanpa adanya Al dan Rere. "Nanti kita titipin Papa sama Mama," kata Barra lagi. "Mereka aman di sana. Heksa juga biar di sana dulu. Nanti habis pulang kondangan kita jemput." "Rere nggak bisa kalau tanpa aku, Barr." Killa menolehkan kepalanya sedikit pada Barra. "Kamu tahu sendiri kalau setiap jam dia mesti minum ASIku, beda dari Al." "Ya, nanti kita kasih ASIP." "Nanti dia rewel." Killa masih enggan meninggalkan buah hatinya, bahkan hanya untuk waktu sebentar saja. "Cuma sebentar," mohon Barra lagi tidak menyerah. "Kita dateng cuma pas resepsi ini doang. Tadi pagi acara ijab kabulnya. Nanti habis salaman sebentar kita langsung pulang. Ya?" Killa menghela napas panjang. Akhirnya, menyerah. Tidak enak juga tidak datang ke acara pernikahan Vero di saat teman suaminya itu banyak membantu hubungan rumah tangganya. Yang menghandle masalah Clara sampai pencarian identitas dua manusia ular itu siapa? Jika bukan Vero dan Xabiru, Barra tidak bisa mengungkap hal itu dengan tangan sendiri tanpa adanya bantuan. Dan yang paling Killa ingat, Vero juga lah yang membantu dirinya waktu itu dengan menembak kaki Stella. Belum juga, Vero yang selalu datang di acara syukuran bulanan Al dan Rere sewaktu bayi hingga syukuran dua belas bulanan yang diadakan tiga bulan yang lalu. "Ya, udah. Aku mau ngecek anak-anak dulu." Barra tersenyum penuh kemenangan. Sejak mempunyai anak, wajib hukumnya bagi Killa untuk pergi keluar rumah dengan anak-anak mereka secara lengkap. Tidak mau meninggalkan satu di antara mereka seorang diri di rumah. Semua harus dibawa ikut bersamanya. Killa tidak mau ada hal buruk yang terjadi pada buah hatinya. "Heksa..." pangil Killa pada putra pertama mereka. "Kamu jagain Al sama Rere dulu, ya. Mama mau siap-siap pergi kondangan." "Perginya sama Papa, Ma?" "Iya," Killa mengusap puncak kepala Heksa. "Nanti kamu sama Adek-Adekmu ini Mama titipin dulu di rumah Kakek. Jangan nakal, ya." "Siap, Ma!" Heksa tersenyum lebar. Kembali menata robot-robotannya, begitu pun Al. Rere sendiri sedang asyik menggendong boneka Barbie di tangannya. Killa bersiap akan berganti pakaian. Untung saja, Killa mempunyai peralatan make up lengkap. Jadi, tidak terlalu mengandalkan akan pergi ke salon. Hanya butuh sekitar kurang lebih satu jam lamanya, Killa sudah siap dengan dandanannya yang elegan dan Barra masih kebingungan memilih jas mana yang akan ia pakai. Padahal, jas yang Barra miliki itu hanya berbeda warna saja. Modelnya kebanyakan sama. Killa akan keluar kamar setelah menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Saat bercermin, Killa lupa akan sesuatu dan baru tersadar saat itu dan langsung menepuk jidatnya dengan rasa kesal. "Kenapa, sih?" tanya Barra yang melihat tingkah aneh Killa. "Aku lupa nyiapin ASIP buat Al sama Rere." Lalu Killa segera berlalu menuju dapur. Barra hanya bisa geleng-geleng kepala. Setelah dirasa setelan jas dan dasi yang dikenakannya serasi, Barra menghampiri Killa yang sedang memerah ASInya. Laki-laki itu berdiri di belakang Killa yang masih sibuk sendiri. "Aku udah bilang ke Papa sama Mama. Katanya, mereka aja yang mau ke sini. Kita berangkatnya nunggu Papa sama Mama, ya." Killa hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. "Kamu masih marah, ya, sama aku?" tanya Barra hati-hati. "Susah banget," ucap Killa hampir putus asa. Salah satu alasan Killa tidak mau meninggalkan si kembar adalah karena ini. Killa tidak mau anaknya minum s**u formula. Ia mau anaknya selama dua tahun full minum ASI. Itu baik untuk tumbuh kembangnya, kata dokter. "Ini alasan aku nggak mau ninggalin Al sama Rere!" Killa sudah bersusah payah memerah ASInya selama hampir lima belas menit ini. Namun, hasil yang didapatkan tidak sampai 50 ml. Rasanya, Killa ingin menangis. Rere kalau rewel akan diam saat diberi s**u. Lalu bila nanti saat ditinggal ASInya kurang? Bagaimana keadaan Rere dan Al? Barra tersenyum geli yang membuat Killa semakin tidak terima. Bukannya membantu, Barra malah menertawakannya. "Kenapa kamu nggak minta bantuan aku?" "Hah?" "Kalau masalah kayak gini... aku ahlinya." Killa masih tidak paham apa yang Barra bicarakan hingga suaminya itu menangkup salah satu buah dadanya, menggantikan tangannya yang tadi memerah. Barra meremasnya pelan dan tepat pada sasaran titiknya hingga air s**u itu keluar lebih banyak dari yang Killa dapat tadi. "See?" ucap Barra seraya menyeringai. Sedangkan, Killa setengah mendesah dibuatnya. Tangan Killa berpegangan pada lengan Barra. Rasanya nyeri dan nikmat. Padahal, Barra bukan berniat memberinya foreplay. Sekitar setengah jam, akhirnya Barra menyudahi aksinya itu saat dirasa ASIPnya sudah cukup banyak. Sebelum itu, Barra mengecup kedua buah d**a Killa secara bergantian hingga istrinya memekik setengah mendesah. "Papa, Mama! Kakek udah dateng!" seru Heksa dari ruang keluarga. Untung saja, Killa tidak menghadap ke arah di mana Heksa muncul. Heksa hanya bisa melihat Barra dan Killa berdiri berdekatan dengan tangan yang saling menyentuh lengan masing-masing. "Papa sama Mama lagi ngapain?" tanya Heksa polos. "Hem," Barra berdeham. "Kamu ke depan dulu, gih. Suruh Kakek sama Nenek nunggu sebentar. Papa masih ada urusan sama Mama." Heksa mengangguk dan menurut. Berbalik lalu kembali ke ruangannya. "Hampir aja ketahuan!" Killa menggerutu kesal. Barra tersenyum nakal. "Gimana kalau kita lanjutin ke permainan inti aja?" "Barra!" Tangan Barra mengusap lembut pipi Killa lalu mengecupnya. "I will love you... forever." "Really?" "Yes, I swear." Killa tersadar. Cepat-cepat ia merapikan pakaiannya. Menaruh ASIP yang sudah disiapkan untuk Al dan Rere di dalam kulkas. Lalu beranjak dari dapur. Jikalau Killa tetap meladeni Barra, maka tidak akan ada habisnya kemesuman suaminya itu. Meskipun, umurnya sudah hampir tiga puluh tahun. Barra tetap tidak berubah. "Sayang..." Barra mengikuti langkah kaki Killa setelah dari kamar mereka mengambil barang-barang apa saja yang akan dibawanya ke pesta pernikahan Vero. "Kita ke sananya nggak ngasih apa-apa ke Vero?" tanya Killa menyadari bahwa mereka nantinya ke sana hanya dengan tangan kosong. Barra menaikkan sebelah alisnya. "Itu... hadiah pernikahan buat Vero apa? Ya, masak kita ke sana nggak bawa apa-apa." Karena jika hanya disalami dengan amplop saja itu tidak akan cukup dan tidak pantas. Killa merasa sungkan. Barra menyunggingkan senyum tipis. "Udah ada hadiah spesial buat dia." "Apa?" tanya Killa seraya berjalan ke ruang tengah. Di mana Atta, Vei, Heksa, Al, dan Rere berada. "Tiket honeymoon ke Korea..." jawab Barra santai. "Vero bilang, istrinya pengin banget ke... Seoul. Nggak tahu di sana mau lihat apa." Ah, Killa tahu, pasti istrinya Vero k-popers. "Sayang," Killa memeluk Al dan Rere secara bersamaan saat sudah berada di ruang tengah. "Mama sama Papa pergi dulu, ya. Al dan Rere di rumah sama Kakek, Nenek." "Ye, itut!" Rere merentangkan tangannya pada Barra. "Papah!" "Rere di rumah aja." "Iya, Rere di rumah aja," kata Barra juga. "Sama Kak Heksa, ya." Bukannya Killa tak mau mengajak Rere. Hanya saja, Killa tidak mau Rere kecapaian atau terkena angin malam. Lagipula, satu sampai dua jam lagi waktunya jam tidur Al dan Rere. Sangat disayangkan, jika Al dan Rere malah ikut dengan mereka. Alasan lain juga karena ribet membawa anak ke resepsi pernikahan. Takut mengacaukan. "Rere main sama Kakak, ya." Heksa menggendong Rere dalam pangkuannya. "Rere mau main apa?" "Ka... bo... ne... ka..." pinta Rere. "Nanti Papa sama Mama beliin boneka baru yang banyak, ya, buat Rere." Killa dan Barra mengusap puncak kepala Rere penuh sayang. Al sendiri sudah asyik dengan mobil-mobilan berukuran mini miliknya. Berbeda ukuran dengan milik Heksa. Atta dan Vei tersenyum memandangi cucu-cucunya. "Pa, Ma, titip anak-anak, ya." Barra menyalami tangan kedua orang tuanya diikuti Killa juga. "Tempat tidur Al sama Rere udah aku siapin. ASIP sama camilan mereka juga udah tersedia di dapur." Killa beranjak dari tempatnya. Atta dan Vei menganggukkan kepalanya secara bersamaan. Mengatakan akan menjaga mereka semua. Lalu, Barra dan Killa berjalan ke samping rumah mereka. Di mana tempat mobil Barra terparkir dan mulai melajukannya ke hotel tempat resepsi pernikahan Vero sedang berlangsung. Sekitar dua puluh menit kemudian, barulah Barra dan Killa tiba di hotel tersebut. Acara sudah dimulai. Barra berjalan berdampingan dengan Killa. Tangan Killa mengamit lengan Barra. Menebarkan senyum pada setiap pasang mata yang menatapnya. Kebanyakan tamu undangan adalah dari karyawan Mahesa Group. Jadi, hampir semua mengenal Barra dan menunduk hormat. Wah, Killa merasa tersanjung menjadi pasangan Barra malam ini. Barra akhirnya menghentikan langkah kakinya pada sebuah meja yang berisi anggota keluarga semua. Di sana ada keluarga kecil sahabatnya. "Gila, lo bawa semua pasukan lo, Bi." Kalimat awal yang Barra katakan ketika berhadapan dengan Xabiru. Xabiru berdiri, sembari tersenyum. Tangannya berjabat tangan dengan Barra lalu berganti pada Killa. "Sebenernya, gue cuma mau ajak istri gue. Biasa, para kurcaci ini nggak mau ditinggal. Dan alhasil jadi ngikut, deh." Barra dan Killa menahan senyum kala melihat dua anak Xabiru tengah beradu argumen. Memperebutkan ponsel pintar di antara mereka. "Xaxa, Xio! stop berantemnya." Xabiru melerai. Xavira, istri Xabiru ganti menyalami Barra dan Killa. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah suami serta anak-anaknya. "Ayo, salam dulu sama Om dan Tante." Xabiru menyuruh mereka. "Xaxa, Tante." ucap anak pertama Xabiru memperkenalkan diri lalu saat Xio ganti bersalaman dengan Barra dan Killa, ia langsung merebut ponsel pintar yang ada di tengah mereka. Xaxa bersembunyi di balik punggung Xabiru setelah mendapatkan ponsel pintarnya. "Mama! Xio juga mau dibeliin hape!" rajuk Xio, anak kedua Xabiru yang hanya berbeda satu tahun satu bulan dengan kakaknya. Xavira akan menjawab iya. Namun, Xabiru terlebih dahulu menggeleng. "Enggak. Nggak ada hape-hapean sebelum kamu bisa baca dulu." "Rasain! Makanya, belajar baca yang bener!" Xaxa mengejek adiknya. Xio memberengut kesal. Barra dan Killa lagi-lagi tertawa melihat interaksi keluarga kecil tersebut. Baik Barra, maupun Killa saling berpandangan setelahnya. Dalam pikiran Killa, ia memikirkan nantinya Al dan Rere tumbuh seperti Xaxa dan Xio. Apalagi, mereka kembar. Pasti sering bertengkar, juga saling menyayangi satu sama lain. Nantinya mereka tumbuh bersama dengan ikatan batin yang kuat. "Xio, ikut Mama, yuk, ambil es buah." Xavira mengalihkan kekesalan Xio. Istri Xabiru itu pamit lalu menggandeng Xio menjauh dari sana. Xabiru duduk pada kursi yang telah disediakan, dengan Xaxa di pangkuannya. Barra dan Killa pun duduk sambil mengantre giliran mereka bersalaman dengan mempelai laki-laki dan perempuan. "Anak-anak lo kenapa nggak diajak, Barr?" "Takutnya rewel nanti di sini." "Iya, kalau masih bayi 'kan ribet, ya, ngurusnya." Barra mengangguk. "Mending ditinggal di rumah bentaran doang." "Xaxa umur berapa?" tanya Killa mengamati wajah serius Xaxa kala main games dalam pangkuan Xabiru. Xabiru menjeda permainan yang ada di ponsel Xaxa. "Ditanyain sama Tante, tuh." "Delapan tahun, Tante." "Seumuran sama Heksa, berarti." Ucap Killa pada Barra. °°°°°°°°°° Setelah memberi ucapan selamat kepada Vero dan istrinya, Killa ingin cepat-cepat pulang. Ingin bertemu dengan anak-anaknya. Baru saja ia jauh dengan Rere, Al, dan Heksa tidak sampai dua jam, rasa rindunya sudah tak terbendung lagi. Apalagi, melihat Xaxa dan Xio masih berkeliaran di hadapannya. Killa seperti melihat anak-anaknya. Barra masih mengobrol dengan Xabiru dan rekan bisnis yang lainnya hingga lupa akan kehadiran Killa yang mulai merasa dongkol karena diabaikan. Tidak di rumah, di sini pun sama. Yang dibahas pekerjaan dan pekerjaan saja. Killa meraih segelas es buah yang sama, yang diminum oleh para tamu. Saat es buah pada gelasnya tinggal separuh, Killa merasakan kehadiran Xavira di sampingnya dengan kedua anaknya. "Xaxa, Xio, udah dong minum esnya. Nanti pilek. Di luar hujan, lho." Xavira menghalau tangan kedua anaknya yang akan mengambil es buah lagi. Killa baru sadar, jika di luar hujan. Bagaimana keadaan Al dan Rere? Mereka berdua takut bunyi petir dan kilat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD