06 - Terluka - √

1819 Words
Kediaman Williams. "Athasyia!" Victoria yang baru saja menuruni anak tangga lantas menghentikan langkahnya, lalu menoleh begitu mendengar panggilan dari Brian. "Ada apa, Kak?" tanyanya pada Brian yang saat ini sudah berdiri tepat di hadapannya. Brian menggaruk tengkuknya yang Victoria yakin sama sekali tidak gatal. "Anu," ujar Brian terdengar gugup dengan bola mata yang terus bergerak gelisah, sama sekali tidak berani beradu pandang dengan Victoria yang sejak tadi terus menatapnya dengan intens. "Ada apa sih, Kak?" tanya Victoria, mulai tak sabaran. Victoria kesal karena Brian sama sekali tidak menjawab pertanyaannya dengan jelas. Dari tadi hanya bilang anu-anu mulu, kan Victoria jadi kesal. Brian menghela nafas panjang, lalu menggeleng, mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Victoria. Setelah Brian pikir-pikir, akan jauh lebih baik kalau ia mengurungkan niatnya untuk curhat pada Victoria. Brian takut kalau Victoria malah akan memarahinya, lebih parahnya mengadukannya pada Pauline begitu ia menjelaskan masalah apa yang sebenarnya sedang ia hadapi. "Enggak jadi deh, Kakak takut kalau kamu ngadu sama Mommy," ujar Bian jujur apa adanya. "Enggak bakalan, Athasyia janji," ujar Victoria terdengar sungguh-sungguh. Brian diam, mengamati dengan seksama raut wajah Victoria yang tampak berseri-seri dan saat itulah Brian tahu kalau Victoria sama sekali tidak serius dengan ucapannya. Pasti Victoria akan mengadukannya pada Pauline jika ia menceritakan apa masalahnya pada Victoria, Brian yakin akan hal itu. Saat itu juga Brian sadar kalau yang bodoh itu adalah dirinya, sudah tahu kalau Victoria senang sekali mengadukannya pada Pauline dan melihat Pauline murka padanya, tapi ia malah berniat meminta saran pada Victoria tentang apa yang harus ia lakukan pada Brianna setelah kejadian di kantor kemarin. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall?" Brian sengaja mengalihkan pembicaraan agar Victoria tidak lagi bertanya tentang hal yang tadi ingin ia bahas dengan adiknya itu. Wajah Victoria semakin berseri begitu mendengar ucapan Brian dan tanpa ragu Victoria mengangguk. "Mau," jawabnya antusias. Victoria jelas tidak akan menolak ajakan Brian untuk pergi jalan-jalan ke mall. Sebenarnya Victoria sadar kalau Brian sedang mengalihkan pembicaraan, tapi itu sama tidak penting karena ada hal yang jauh lebih penting untuk ia dan Brian lakukan, yaitu pergi jalan-jalan mengelilingi mall. Menurut Victoria, jalan-jalan mengelilingi mall jauh lebih menarik dari pada ia bertanya tentang masalah Brian. Brian jarang sekali menawarkannya untuk pergi jalan-jalan ke mall, karena itulah ia sangat antusias. "Baiklah, ayo kita pergi." Tanpa menunggu jawaban Victoria, Brian berlalu begitu saja dari hadapan Victoria. Victoria bergegas menyusul Brian yang sudah menuruni anak tangga. "Kakak yang bayarin ya!" Brian menoleh lalu mengangguk, membuat Victoria langsung memekik kegirangan begitu ia melihat anggukan yang Brian berikan, itu artinya kalau Brian setuju untuk membayari semua belanjaan yang akan ia beli bukan? dan Victoria tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Brian berikan padanya. Setelah pamit pada Williams dan Pauline yang sedang asyik mengobrol di teras belakang, Brian dan Victoria akhirnya pergi jalan-jalan. Awalnya Pauline berniat untuk ikut pergi ke mall bersama dengan Brian dan Victoria, tapi Williams melarangnya dengan berbagai macam alasan yang menyertainya. Pada akhirnya, Pauline gagal untuk ikut pergi jalan-jalan ke mall bersama dengan Brian dan juga Victoria, padahal Pauline sangat ingin pergi jalan-jalan. 1 jam sudah berlalu, saat ini Brian dan Victoria sudah berada di mall yang Victoria tuju. Kedua tangan Brian sudah penuh dengan beberapa paper bag yang berisi barang belanjaan dan jelas saja itu semua milik Victoria, bukan milik Brian. Sepertinya Brian melamun sampai ia tidak fokus pada jalanan dan akhirnya ia menabrak seorang perempuan yang berjalan tepat di hadapannya, membuat perempuan tersebut hampir saja kehilangan keseimbangannya. Tapi Pria di sampingnya dengan cepat menahan tubuh si perempuan, membuat perempuan tersebut tidak terjatuh. "Maaf, saya enggak sengaja," ujar Brian merasa bersalah. Perempuan yang baru saja di tabrak oleh Brian lantas mendongak dan ia sangat terkejut saat tahu siapa pria yang baru saja menabraknya. Yang merasa terkejut bukan hanya Brianna tapi juga Brian, Brian tidak menyangka kalau perempuan yang sejak kemarin terus menganggu pikirannya adalah perempuan yang baru saja ia tabrak. "Brianna," lirih Brian yang mampu di dengar oleh Brianna dan juga pria yang sejak tadi berdiri di sampingnya. "Ayo kita pergi." Tanpa membalas ucapan maaf Brian, Brianna dan pria yang sejak tadi bersamanya lantas pergi meninggalkan Brian hang masih diam membisu. "Kakak kenal sama perempuan yang baru Kakak tabrak?" Pertanyaan dari Victoria sukses membuat lamunan Brian buyar. Brian mengerjap, baru sadar kalau kini Brianna sudah tidak ada lagi di hadapannya. "Apa kau mengenalnya?" Brian sontak menoleh, ia ingin tahu jawaban apa yang akan Brianna berikan pada teman prianya. Sebenarnya Brian sama sekali tidak tahu apa hubungan Brianna dan pria tersebut, tapi Brian berharap kalau pria tersebut adalah teman Brianna, bukan kekasih dari Brianna. "Tidak!" Singkat, padat dan jelas. Itulah jawaban yang Brianna berikan pada pria yang kini tangannya sedang ia gandeng. Tanpa sadar, kedua tangan Brian mengepal dengan kuat begitu ia mendengar jawaban yang Brianna berikan pada pria tersebut, semakin kuat saat ia melihat pria tersebut mengecup puncuk kepala Brianna, tepat di hadapannya. "Kak, Kakak enggak apa-apa? Ada yang sakit?" Nada bicara Victoria terdengar sangat cemas dan khawatir, bahkan bukan hanya nada bicaranya tapi juga ekspresi wajahnya yang kini terlihat cemas dan khawatir. Wajar saja kalau Victoria merasa cemas dan khawatir pada Brian, adik mana yang tidak akan merasa cemas dan khawatir begitu ia melihat raut wajah Brian yang tampak berubah pucat pasti, seperti orang sakit. Sebenarnya Brian memang sakit, tapi bukan sakit karena demam atau pun gejala sakit lainnya, tapi Brian sakit hati begitu mendengar jawaban yang Brianna berikan pada teman lelakinya, jawaban yang 100% salah karena jelas mereka saling mengenal. Brian tahu ia sudah memberikan kesan yang sangat buruk pada Brianna di pertemuan mereka sebelumnya, tapi Brian tidak pernah berpikir kalau dampaknya akan sampai sebesar ini. Dalam hati, tak henti-hentinya Brian mengumpat, merutuki dirinya sendiri yang sudah membuat Brianna berpikiran buruk tentangnya. Tapi, bukankah seharusnya Brian merasa senang dengan jawaban yang Brianna berikan, tapi kenapa ia malah membencinya. Brian jelas tidak terima dengan jawaban yang baru saja Brianna berikan pada teman lelakinya. Brian kembali fokus pada Victoria yang masih menatapnya dengan raut wajah cemas. "Kakak enggak apa-apa Athasyia, sebaiknya kita lanjut belanja lagi ya." Brian langsung menggandeng tangan kanan Victoria, mengajak Victoria kembali memasuki salah satu toko tas yang Brian tahu adalah salah satu brand ternama kesukaan Victoria. Setelah mengantar Victoria berbelanja, Brian mengantar Victoria pulang, tapi Brian memutuskan untuk pergi lagi. Brian jelas tidak memberi tahu Victoria ke mana ia akan pergi dan kali ini Brian berhasil kabur dari prngawasan anak buah Ayahnya yang sejak tadi selalu mengikutinya dan juga Victoria selama di mall. Tujuan Brian kali ini adalah apartemen Brianna dan tentu saja info itu Brian dapatkan dari Dave. Sejak dua hari yang lalu Brianna memilih tinggal di apartemennya, mengingat kedua orang tuanya sedang berada di luar negeri begitupun dengan Duke, karena itulah Brianna memilih untuk tinggal di apartemen dari pada di rumah kedua orang tuanya yang pasti terasa sunyi sepi. Brian tahu alamat apartemen Brianna dan itu semua dari info yang ia dapat dari Dave. Setelah menempuh perjalanan yang hanya memakan waktu tak kurang dari 15 menit, Brian akhirnya sampai di apartemen Brianna. Kini Brian susah berdiri tepat di hadapan pintu apartemen Brianna. Berkali-kali Brian menarik nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan, mencoba untuk menghilangkan rasa gugup yang kini ia rasakan. Tangan kanan Brian terulur, menekan bell apartemen Brianna. Menunggu pintu di hadapannya terbuka dengan jantung yang kini semakin berdebar tak karuan. Brianna yang baru saja selesai mandi mendengus kesal begitu ia mendengar bel apartemennya terus berbunyi. "Ck, siapa sih orang yang datang berkunjung? Kenapa tidak sabaran sekali?" gerutu Brianna yang kini sudah memakai piyama tangan panjang kesukaannya. Sebelum melanjutkan langkahnya untuk membuka pintu, Brianna terlebih dahulu melihat jam di dinding kamarnya, mencoba menebak siapa orang yang datang berkunjung di jam semalam ini. "Brian," gumam Brianna begitu ia melihat siapa orang yang sejak tadi terus menekan bel apartemennya dengan tidak sabaran. Bukannya membuka pintu, Brianna malah mundur beberapa langkah, panik saat tahu kalau ternyata Brian lah yang datang berkunjung di jam selarut ini. "Dari mana Brian tahu letak apartemen ini?" gumam Brianna panik, cemas dan juga khawatir. Pokoknya semua rasa, berkumpul menjadi satu. "Apa aku harus menghubungi Kakak?" tanya Brianna pada diri sendiri dengan nada cemas. Saking gugupnya, Brianna bahkan sampai menggigit ujung kukunya, kebiasaan buruk yang sejak dulu sulit sekali hilang. "Apa ia harus membuka pintunya dan menyapa Brian?" Brianna terus meracau, sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lalukan. Tapi bagaimana kalau Brian meminta untuk berbicara di dalam apartemennya. Duke akan sangat murka kalau tahu dirinya memasukan Brian ke dalam apartemennya. Brianna menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Brianna memutuskan untuk membuka pintu apartemennya, tapi ia tidak akan membiarkan Brian memasuki apartemennya. Begitu pintu terbuka, Brianna langsung terdorong karena Brian yang mendorong pintu apartemennya dengan kekuatan penuh. Brianna pasti akan jatuh kalau Brian tidak langsung memeluk erat tubuhnya. Belum sempat Brianna melepas tangan kanan Brian dari pinggangnya, tubuh Brianna kaku begitu ia merasakan deru nafas hangat Brian menerpa wajahnya. Mata Brianna sontak membola begitu ia merasakan benda kenyal yang kini mendarat di bibirnya, mulai bergerak dengan rakus, melumat bibir bawah dan atasnya dengan penuh nafsu membara. "Le-lepas," ujar Brianna di sela ciumannya. Brianna terus memberontak, mencoba melepaskan tautan bibirnya dari bibir Brian yang terus bergerak melumat bibirnya. Tapi tentu saja tenaga Brianna kalah kuat dari tenaga Brian yang kini malah menahan tengkuknya, semakin mengikis jarak di antara mereka. Mata Brian terpejam begitu pula dengan mata Brianna, Brianna tidak lagi memberontak, tapi ia juga tidak membuka mulutnya atau membalas ciuman Brian. Brian menjauhkan wajahnya begitu ia sadar kalau Brianna tidak lagi memberontak dan kesempatan itu benar-benar Brianna gunakan untuk lepas dari pelukan Brian. Plak... Brianna baru saja menampar pipi kanan Brian dengan kekuatan penuh, bahkan wajah Brian sampai berpaling karena kuatnya tamparan yang Brianna berikan. "Aku bukan perempuan murahan yang bisa seenaknya kamu sentuh," ujar Brianna lirih, mata Brianna memerah dengan air mata yang sudah tampak menggenang di pelupuk matanya dan kini mulai jatuh membasahi wajahnya. Brianna merasa terhina dengan apa yang baru saja Brian lalukan padanya, itu melukai hati dan juga perasaannya. Padahal masalah yang sebelumnya saja masih membekas dalam ingatan Brianna, tapi kini Brian malah kembali menorehkan luka di hatinya. Brian benar-benar pria kurang ajar! Brian memegang pipinya yang terasa panas, tapi ia memang pantas mendapatkannya. Brian menoleh dan ia benar-benar merasa bersalah saat melihat Brianna menangis. Sebenarnya apa yang sudah ia lakukan? Brian maju, mendekap erat tubuh Brianna, berkali-kali menggumamkan kata maaf dan Brianna tentu saja mencoba lepas dari pelukan Brian. Semakin kuat Brianna memberontak, maka semakin kuat pula pelukan yang Brian berikan pada Brianna. "Le-lepas!" Teriak Brianna di sela isak tangisnya yang semaikin lama semakin terdengar dengan sangat jelas. Brian menggeleng dan malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Brianna, mendekap dengan erat tubuh Brianna yang kini bergetar karena menangis. Semakin lama, tenaga Brianna semakin melemah dan pada akhirnya Brianna menangis dalam pelukan Brian, kedua tangan Brianna tak henti-hentinya memukul bahu Brian. Brian sama sekali tidak merasa kesakitan karena pukulan yang Brianna berikan sangat lemah, tapi hatinya sakit begitu mendengar tahu kalau alasan dirinyalah penyebab Brianna menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD