Jedidah duduk di meja makan panjang berlapis marmer hitam, di bawah sorotan chandelier kristal yang pantulannya menyerupai ribuan serpihan cahaya. Di hadapannya, Johannes menikmati hidangan dengan santai, sesekali menyesap anggur merah dari gelas kristal yang dipoles sempurna. Di antara dentingan perak dan porselen, seolah ada sejarah yang turut disantap di meja itu. Sebuah warisan aturan tak tertulis yang lebih tua dari siapapun yang duduk di sana—sebuah dogma yang menuntut kesempurnaan, menuntut darah mereka tetap bersih dari cacat, dari dosa, dari kelemahan yang mereka sebut ‘kemanusiaan’. Namun, tidak ada yang lebih ironis daripada kenyataan bahwa aturan itu sendiri adalah dosa terbesar. Bukan darah kotor yang membuat keluarga ini jatuh, bukan pula kesalahan individu yang melemahkan

