Anggasta Chapter 04

1053 Words
Pertama kali yang Angga lihat setelah pingsan tadi yaitu ruang yang bercat dinding putih. Lalu lintas beralih sambil melihat, menjelajah tempat ini lebih jauh. Begitu menerima dirinya tertidur di brankar UKS, Angga langsung mengambil duduk. Cowok itu paling anti jika berada di dalam ruangan seperti ini. Angga tidak suka bau obat-obatan. Angga berusaha mengingat kejadian sebelum dia berada di ruang keramat ini, lalu tak lama kemudian dia teringat maka dia pingsan di tengah lapangan. Lantas, siapa gerangan orang yang meminta tempat ini? Angga sempat mengira bahwa Ical dan Kribo lah yang membopong dirinya ke UKS. Namun estimasi itu salah besar. Jika memang benar kedua peserta itu yang diundang ke sini, sudah pasti mereka duduk tidak jauh dari dirinya. Dan sekarang Angga tidak melihat melihat di sekitar. Sedetik setelah Angga diangkat diangkat dari brankar, dia dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba muncul dihadapanya. Sontak, Angga terkejut dan melototkan mata disambut. Angga kembali menarik ke atas brankar. Sorot mata tajam menuju ke cewek yang tidak kalah berhasil Angga dengan hunusan mata hazelnya. "Lo belum pulih, mau berhasil melarikan diri?" ucap cewek cantik dihadapan Angga itu. "Bukan urusan lo," ketus Angga. Dia berusaha bangkit kembali, tetapi tetap saja mendorong Angga agar tetap diam di tempat. "Lo dibilangin juga ngeyel, ya?" Dia tersenyum miring. Angga melipat kedua lengannya, lalu berucap kembali, "terus, kembali sama lo itu apa, ha ?!" Cewek yang harus digelengkan. "Oke, kalo lo mau pergi, tapi sebentar lo harus minum obat ini dulu." Cewek itu mengambil obat dan segelas air putih yang disodorkan ke Angga. Angga membulatkan pandang lebar lantas melihat obat itu. Seumur hidup, Angga tidak mau membahas benda itu. Apalagi disuruh untuk meminumnya. Melihatnya saja dia sudah bergidik ngeri. Apalagi obat itu terlihat sangat besar, membuat nyali Angga turun menciut. Dia takut jika setelah meminunnya, obat itu malah tersangkut ditengeluaran. "Nggak!" tolak Angga cepat. Cewek itu menghela napas panjang, kedua pulih kembali obat dan segelas air itu di meja kecil disamping brankar. Dia kemudian berkacak pinggang. Baru kali ini dia melihat orang sekeras kepala itu. "Lo nggak mau pulih? Buruan minum!" Cewek itu nggak mau kalah. "Lo emang siapa sih nyuruh gue buat minum? Lo nyokap gue? Pacar gue? Atau nenek gue?" Cewek itu seketika bungkam. Ucapan Angga berhasil menyelesaikan seribu bahasa. Apa yang bisa saya lakukan dengan minum obat sama orang tedekat dia? Dasar sinting! "Gue anak IPA, anak PMR lebih jauh!" Cewek itu melotot dengan mata tajamnya. Kesal bukan main dengan cowok dihadapannya ini. Angga terdiam sesaat. Lalu dia memandangi cewek itu dari ujung kepala sampai ujung sepatunya. Memang dia terbilang cukup cantik, badannya bagus, tidak terlalu ramping. Sebelumnya, Angga sama sekali belum bertemu dengan cewek itu. Apalagi dia cewek IPA, yang didukung memiliki otak secerdas kancil. Mungkin, hobinya hanya berkutat dengan buku pelajaran. Tunggu sebentar, mengapa Angga jadi setuju semua itu? Lalu tatapan Angga mengaktifkan wajah cewek itu yang masih menampakkan wajah super juteknya. "Ish, dasar m***m lo!" Cewek yang mendorong d**a Angga ke belakang. "Apaan sih lo! Emang gue kenapa?" Tak mau dituduh sembarang, Angga berbicara dengan tegas. Entah kenapa dadanya memanas mendengar penuturan cewek dihadapannya ini. "Kenapa lo natap d**a gue dengan mata bulat lo itu !! Dasar mesuuumm !!" Cewek itu berteriak. Angga hanya bisa melongo mendengar tutur cewek dihadapannya ini, dia berteriak bak tidak ada orang lain selain percaya di dunia. Angga baru sadar bahwa cewek itu berteriak cukup nyaring. Lebih dari ini di dalam ruangan, otomatis suaranya akan menggema dan akan menjadi lebih besar. Untung saja bukan orang lain yang mendengar teriakan s***s itu. Jika memang ada yang mendengar, tamatlah berita Angga. Dia mungkin akan mempertimbangkan dan menuduh orang yang akan melakukan tindakan tidak senonoh. "Pelanin omongan lo b**o, kalo ada guru yang denger gimana? Bisa abis gue disidang!" Angga disetujui dengan tegas. "Bodo amatlah! Lagian salah lo sendiri, gue cewek baik-baik ya, jaga tuh mata jangan sampe berkeliaran lihat yang jorok-jorok." "Gue pingin guntung lidah lo itu, s***s banget mau ngomong. Lagian siapa juga yang melihat punya lo itu!" Angga berkata cukup keras. "Dapatkan gratis lihat nama diseragam. Lo aja yang berpikir negatif," lanjutnya tidak kalah menggenbu dari kata-kata sebelumnya. "Ouh jadi lo yang namanya Cherry anak IPA yang katanya juara olimpiade matematika tingkat nasional itu? Keren juga ya, lo?" Angga mengangkat alis kananya ke atas, lalu membuang muka sembari berdecih pendek. Yup, cewek itu bernama Cherry Laila Fanisa. Golongan siswa tepintar di sekolah ini. Bersarang di kelas XI IPA 1, yang hanya berisikan siswa terpilih, dia sekaligus anggota ekskul PMR. Sekarang Cherry hanya bisa diam. Mendengarkan Angga mengeluarkan suara lagi. "Jadi, lo yang bawa ke sini?" tanya Angga kemudian, ditatapnya Cherry dengan pandangan lamat-lamat. Lantas ceri menggelengkan cepat. "Bukan gue." "Terus, siapa?" "Pak Imron," jawab Cherry lugas dan terdengar padat dan jelas. Angga lalu manggut-manggut. Siapa yang tidak kenal dengan Pak Imron? Satpam sekolah yang poluler karena menguntungkannya itu. Dia selalu disegani oleh murid-murid yang langganan terlambat seperti Angga ini. Pak Imron akan dengan senang hati membuka gerbang sekolah. Entah itu karena takut untuk semua siswa atau apa. Yang semua siswa tahu, Pak Imron hanya satpam baik hati yang paling baik mereka segani. "Dapatkan tidur di lapangan, teruskan tuh, Pak, Imron, bawa, bawa ke UKS." "Emang gue anak ilang yang ditemuin lo di lapangan? Dasar!" "Tau ah, malah terima kasih atau apa gitu, lo malah marahin gue. Berasa sia-sia aja kalo gitu." Senyum kecut Angga tercetak. "Lo tau nggak, kedatang lo itu bikin hidup gue rusak tau, nggak?" "Emang gue punya salah apa sama lo? Gue rasa juga kita baru ketemu hari ini." Cherry langsung berucap, dia tidak tahu apa maksud dari ucapan Angga tadi. Kenapa cowok itu suka kata seperti itu. "Gue muak sama tingkah lo. Gara-gara kelakuan lo itu, semua guru jadi membandingi sifat gue sama lo." "Bagus itu, gue suka. Dan gue harap lo bisa peka sama diri lo sendiri," gumam Cherry masih tetap dihadapan Angga. Tatapan mereka terus beradu. "Maksud, lo?" "Nah, kalau semua guru sering membandingkan lo sama gue, ya harus lo bisa peka. Itu semua guru peduli sama lo. Mereka ngasih nasihat biar lo bisa mikir." Setelah itu, Cherry pergi meninggalkan Angga sebatang kara di UKS. Jujur, Angga masih bingung dengan ucapan Cherry barusan. Entah itu yang suka lemot untuk berpikir atau memang tuturan Cherry yang diterjemahkan. Angga turun dari brankar dan langsung berjalan menuju kelas, dia tidak memulai obat itu. Ucapan Cherry tadi juga tidak digubris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD