Saat ini keluarga inti kerajaan tengah berada di meja makan, tersaji banyak hidangan beraneka ragam yang sangat menggugah selera. Namun, keadaan terasa mencekam karena sempat terjadi pertikaian kecil di sana.
“Wilayah Saroja adalah hak milik putra mahkota, untuk apa Mahabala menginginkannya?” tanya Raja Rawindra menatap tajam pada selirnya.
Semua orang yang ada di sana terdiam menyimak jawaban dari Selir Jyotika, wanita itu terlihat gamang dan tak percaya diri saat mengatakannya.
“Suamiku, aku hanya ingin putra kita mendapat keadilan. Semua wilayah telah menjadi hak Pangeran Hansa, lalu bagaimana dengan Mahabala, ia juga putra kandungmu.” Akhirnya Jyotika memberanikan diri untuk mengucapkan hal yang bercokol dihatinya.
Si empunya nama yang menjadi pembahasan kali ini juga sama diamnya, tapi matanya tak pernah lepas dari pengamatan di sana, ia sangat tahu dengan karakter ayahnya yang pilih kasih. Hampir semua wilayah di kerajaan Narayana ini sudah diwariskan secara otomatis pada putra mahkota sah, lalu dirinya bisa memiliki apa?
“Selir Jyotika, jaga batasanmu! Apa selama ini aku berlaku tidak adil pada putraku Mahabala? Ingat bahwa adil bukan berarti sama, aturan mengenai pembagian wilayah sudah ada sejak zaman nenek moyang kerajaan Narayana, kau jangan seenaknya mengganti-ganti.”
Selir Jyotika mencebikkan bibirnya kesal, selalu saja seperti ini jika ia tengah memperjuangkan hak Mahabala. Hanya karena ia adalah selir dan bukan permaisuri sah, maka Jyotika selalu dikesampingkan.
“Sebagai raja di kerajaan yang mahsyur ini, kau sangat tidak adil!”
“Sembilanpuluh persen wilayah kerajaan negara Narayana akan jatuh ke tangan penerus takhta, sepuluh persennya dibagi menjadi beberapa bagian tergantung jumlah saudaranya.” Raja Rawindra menegaskan.
Peraturan mengenai pembagian wilayah kekuasaan sudah diatur dalam kitab-kitab pemerintahan, di sana tertera dengan jelas bahwa tiap saudara-saudari dari pangeran mahkota berhak mendapat sebagian kecil dari wilayah, itu pun hanya untuk dikelola dan dipimpin, bukan untuk dimiliki secara paten.
Kini Jyotika ingin mengajukan pengesahan wilayah Saroja, selain lancang karena berani meminta hak paten, Jyotika juga mengabaikan fakta bahwa Saroja murni menjadi Hansa selaku putra mahkota.
“Kau memang tidak pernah menganggap Mahabala sebagai putramu, hanya karena posisi selir ini.” Jyotika menatap suaminya dengan pandangan penuh kecewa.
“Cukup, Jyotika! Atas dasar apa kau menuduhku tidak adil dengannya? Kau perlu membaca seluruh isi rak buku kepemerintahan, di sana kau bisa melihat arti adil dalam pembagian wilayah. Hara dan Haridra tidak pernah iri dengan milik Hansa, justru kenapa kau yang sangat bersikeras mendapatkan Saroja?” Raja Rawindra terpancing emosi dengan sikap selirnya yang egois.
Jyotika terlihat menahan air matanya sekuat tenaga agar tidak tumpah, sedangkan Mahabala sendiri mengepalkan tangannya erat.
Ratu Daneswari tidak tega melihat adik madunya dimarahi oleh suaminya, ia pun menenangkan Raja Rawindra dengan menyentuh bahunya lembut.
“Yang Mulia, jangan memarahi adik, ia hanya melakukan yang terbaik untuk putranya.”
“Ratu, jangan membela hal yang salah. Wilayah Saroja mutlak milik Hansa, tidak ada yang boleh merebutnya.”
Selir Jyotika pun membanting sendoknya dan beranjak pergi dari meja makan, disusul dengan Mahabala yang mengekori ibunya.
Raja Rawindra menghela napas panjang, entah kenapa sulit sekali memberi pengertian pada selirnya. Dulu Jyotika tidak sekeras kepala ini, ada faktor luar yang membuatnya menjadi egois seperti ini.
Hansa, Hara dan Haridra saling melirik satu sama lain. Anak-anak itu tidak berani ikut campur masalah orang dewasa, apalagi ini menyangkut wilayah kerajaan. Sebenarnya Hansa sendiri tidak keberatan jika wilayah Saroja diberikan pada Mahabala, hanya saja jika menurut hukum kerajaan maka itu tidak lah benar.
“Aku tidak menyangka Jyotika akan mengungkit masalah wilayah, ia terlalu lancang meminta wilayah Saroja. Putraku Hansa, kau adalah penerus takhta kerajaan Narayana, ayah harap kau tidak berpikir untuk menyerahkannya pada Mahabala.” Seolah tahu isi pikiran putra sulungnya, Raja Rawindra memberi peringatan. Ia tahu betul sifat-sifat anaknya, Hansa adalah orang yang bijak saking bijaknya ia terlalu baik hati sehingga mudah dimanfaatkan.
Mendapat tatapan dari ayahnya membuat Hansa mengangguk tegang. “Baik, Ayah.”
“Lanjutkan sarapan kalian,” pinta sang raja.
Mereka semua pun makan dengan tenang setelah aksi menegangkan tadi.
Setelah sarapan usai, tiga saudara kandung itu kembali berkumpul bersama.
“Kali ini Selir Jyotika keterlaluan, meminta wilayah Saroja sama saja dengan merebut takhta kerajaan.” Hara berujar dengan kesal, ia adalah anak perempuan satu-satunya sehingga lebih speak-up mengenai kejadian di istana.
“Di satu sisi Selir Jyotika memang memperjuangkan hak Mahabala, tapi di sisi lain ada aturan yang tidak bisa diganti.” Hansa menjawab.
“Sejak dulu Selir Jyotika tidak suka dengan kita, tidak heran jika ia ingin menjatuhkanmu.” Hara menyahut lagi. Selir Jyotika memang berwatak jahat dan iri dengki, saat itu pernah ada p*********n di istana, Hara terluka akibat melawan penjahat. Namun, Selir Jyotika justru menyumpahkan dirinya mati, benar-benar tidak memiliki hati.
“Kita harus berhati-hati dengan Selir Jyotika.” Haridra menambahi.
“Bukan hanya Selir Jyotika, tapi juga Mahabala dan Paman Ankara. Ku rasa sejak ada Paman Ankara di sini ia memengaruhi mereka jadi jahat, apa hanya aku yang berpikir demikian?”
“Hara, tidak boleh seperti itu.” Hansa memperingati adik perempuannya.
“Kakak! Kau jangan terlalu baik menjadi orang, kita semua tahu betapa liciknya tiga orang itu.”
“Meskipun begitu kita belum mendapatkan bukti nyata atas kejahatan mereka, kita tidak bisa menuduhnya dengan sembarangan.”
Hara pun mengangguk lemah. “Kakak benar.”
Dari arah lain terdapat seseorang datang dengan tergopoh-gopoh hendak menyampaikan pesan, itu adalah prajurit pribadi dari Raja Rawindra.
“Salam hormat hamba pada Pangeran dan Putri,” ujar prajurit tersebut memberi salam.
“Ada apa, Paman?”
“Raja Rawindra meminta hamba untuk memberitahu mengenai kedatangan tamu dari kerajaan lain, para pengeran dan putri diminta untuk mempersiapkan diri.”
“Mendadak sekali, kerajaan mana yang hendak berkunjung?” Hara bertanya.
“Kerajaan Janardana,” jawab sang prajurit.
“Baiklah, terima kasih atas informasinya.”
“Saya permisi.”
Sepeninggalan prajurit itu, Hara pun mengetuk dagunya dengan pelan sambil mengingat-ingat nama kerajaan tersebut.
“Kerajaan Janardana merupakan sahabat baik dari Narayana, aku pernah bertemu dengan Putra Mahkota Laksmana.” Hansa memberitahu adiknya yang tengah berpikir keras.
“Ohh ya, aku ingat. Tapi sudah lama mereka tidak berkunjung, kenapa sekarang sangat tiba-tiba?”
“Ku dengar putra mahkota sedang mencari istri untuk dijadikan permaisuri kerajaannya, mungkin saja kedatangan mereka hendak melamar seorang gadis.”
Hara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ohh begitu.”
Haridra berceletuk, “Anggota kerajaan Narayana hanya memiliki Kak Hara, apa mungkin putra mahkota ingin melamar kakak?”
Hara melotot mendengar penuturan adiknya, ia belum memiliki niatan untuk menikah. “Jangan sembarangan, Haridra! Aku tidak ingin buru-buru menikah.”
“Aku hanya menebak saja, Kak.”
“Sudah-sudah, lebih baik ayo kita segera bersiap menyambut kerajaan sahabat.” Hansa menengahi sebelum terjadi keributan antar saudara.
Akhirnya mereka bertiga pun melenggang pergi dari taman, bersiap-siap untuk menyambut tamu yang agung.