2. Parkiran Perusahaan

1061 Words
                “Demi, Na?” Tika melebarkan mata hiperbolis ketika malam itu aku marah-marah di kamarnya. Nih ya, kalau bukan perkara pembalut punya Tika, aku tidak akan pernah merasa semalu ini! “Iya, Tika! Dia masih ingat, coba! Padahal udah berapa tahun kami nggak pernah ketemu. Nggak tahu deh, memori otaknya berapa juta giga!” “Sebentar, emang kenapa sih, kok kamu sampai berurusan pembalut sama pacar? Please deh, baru pacar, bukan suami. Ini malah udah jadi mantan. Hadeh!”                 Aku berguling lagi di ranjang milik Tika, sementara si empunya duduk di karpet bawah sambil nyemil kedelai goreng. “Ceritanya agak panjang, intinya mah kami ke PERPUSDA terus celanaku tembus. Jadilah dia anter aku beli pembalut. Waktu aku ambil merek pembalut, dia lihat. Nah, kaya gini terulang dua kali. Yang kedua waktu kami makan bareng, beberapa bulan sebelum putus.” “Kenapa nggak tiga kali sekalian biar afd— Nana kamprettt!” Tika langsung mengumpat ketika aku melempar bantal ke arahnya sampai kotak tempat kedelai gorengnya jatuh dan isinya berserakan di lantai.                 Tika mulai marah-marah tidak jelas gara-gara lantai kamarnya penuh biji kedelai goreng. Sementara itu, aku tak beranjak dari ranjangnya, dan memilih untuk tengkurap sembari menghentak-hentakkan kaki. “Kamu yang malu, aku yang repot!” keluh Tika, dan bersamaan dengan itu, aku merasakan kepalaku terkena lemparan bantal. “Yeee, Tik! Yang bikin malu kan pembalutmu!” “Anggap aja, itu pembalutku buat ajang kalian balikan.” “Sembarangan! Ogah!” “Sok-sokan! Awas aja kalau kalian sampai balikan, apalagi sampai nikah. Bisa-bisa aku minta dibeliin pembalut satu truk. Lumayan, buat jualan.”                 Aku sudah tidak menanggapi banyolan Tika karena saat ini aku kembali terbayang wajah Mas Arfa ketika tadi dia menarik sisi jaketku sampai wajah kami berjarak sangat dekat.                 Kenapa sih, orang kalau udah jadi mantan suka makin kinclong? Kenapa Mas Arfa tuh nggak makin buluk aja, biar aku nggak makin nyesel udah nyampakin dia?                   Oh iya, ngomong-ngomong, akhirnya aku cerita semua tentang Mas Arfa pada Tika. Itulah kenapa dia bisa menanggapi insiden malam ini dengan ‘epic’. Anak ini kalau udah terlanjur kepo, sekali mengintrogasi, bakal kebangetan. Pokokya tidak bisa tidak, atau dia akan terus menerorku sampai aku mau jujur.                 Drrrt!                 Aku mendengar ponselku bergetar, diringi nada dering lagu kesukaanku. Aku diam saja, tak berniat mengangkatnya. “Na, angkat kek, telfonnya!” “Biarin, ntar juga diem sendiri.”                 Benar saja, dering itu berhenti setelah beberapa saat didiamkan. Namun, tiba-tiba dalam jarak waktu kurang dari satu menit, dering ponselku kembali terdengar. “Hallo?”                 Aku langsung bangun dan menoleh, begitu mendengar Tika menyapa. Ini, anak! Malah diangkat! “Oh iya, saya Tika. Hm? Siapa? Heee? Ya ampun, maaf Mas Arfa, Nananya lagi ke toilet—“ aku langsung merebut ponselku dan buru-buru memutus sambungan. “Kamu bilang siapa, barusan? Mas Arfa? Serius? Kok dia tahu nomorku? Kenapa tiba-tiba bisa telfon?” aku memberondong Tika dengan pertanyaan. Tika yang tampaknya tidak tahu apa-apa hanya menatapku aneh, lalu menghempaskan diri di atas ranjang.                 Aku sendiri langsung mengambil belanjaanku yang masih tergeletak di dekat lemari baju, dan pergi begitu saja dari kamar Tika. “NANA! PINTUNYA KENAPA NGGAK DITUTUP, WOY?” ***                 Hari ini ini Tika sakit, jadi aku berangkat kerja sendiri. Padahal, semalam dia masih teriak marah-marah karena aku lupa menutup pintu. Tadi pagi, begitu aku ke kamarnya, dia masih tidur dan suhu badannya sangat panas. Belum lagi dia juga sedang haid, makin-makin dia tidak bisa kemana-mana.                 Untung saja, perusahaan memberi kelonggaran izin untuk alasan sakit, bukan karena alasan lain. Itu pun, harus ada bukti kongkrit dan izin langsung ke kepala divisi. Selain itu, biasanya langsung dihitung absen. Terus bagaimana kalau kalau izinnya di luar sakit? Jawabannya jelas langsung dihitung cuti, dan tiap karyawan memiliki jatah cuti maksimal dua hari dalam satu bulan, ini di luar libur weekend. Untuk yang cuti panjang semisal karena menikah atau melahirkan, nanti ada peraturannya sendiri. Aku pribadi belum tahu detail tentang cuti panjang karena belum ada rencana  ke sana. Sebenarnya, peraturan perusahaan cukup fleksibel asal alasan jelas dan berani nego langsung dengan kepala divisi. Akan tetapi, kalau terlalu sering izin, nanti juga berpengaruh pada penilaian performa kerja. Ya gitu lah, pokoknya! “Aduh, rambut kenapa pake nyangkut, sih!” Aku menggeram kesal ketika rambutku jadi super berantakan setelah melepas helm. “Sabar, sabar, orang sabar pantatnya lebar—“ “Oh, jadi gitu, rumusnya?”                 Aku berjengit kaget ketika ada suara asing yang tiba-tiba menyahut. Praktis saat itu juga aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Mataku seketika mendelik begitu melihat siapa yang saat ini duduk di dalam mobil hitam yang terparkir jarak tiga motor dari motorku.   “Penguntit ya? ” tuduhku sambil menunjuk mukanya dengan telunjuk. Bukannya menjawab, Mas Arfa malah keluar dari mobilnya. Ya, tanpa kujelaskan sekalipun, dari awal kalian pasti sudah tahu siapa pemilik suara itu.   “Na, kenapa nomorku kamu blokir lagi?” tanyanya begitu berdiri tepat di samping motorku. Seketika itu, parfum maskulin laki-laki langsung menusuk indra menciumanku. “Kenapa kok masih nanya? Aku jelas udah nggak mau berurusan sama yang namanya man—“ “Manten*?” “Kok manten, sih? Mantan sama manten, beda jauh!”                 Mas Arfa malah tersenyum, sementara aku buru-buru merapikan rambut, lalu berniat kabur. Namun, lagi-lagi, dengan semena-menanya manusia satu ini menahan tasku ketika aku baru berjalan beberapa langkah.  “Setahuku, karyawan kantor ini mulai aktif bekerja jam delapan lebih lima belas menit. Dan sekarang masih jam setengah delapan lebih sedikit. Kamu sejak kapan jadi orang rajin?”                 Mendengar itu, praktis aku langsung menepis tangan Mas Arfa dari tasku lalu balik badan. “Kok sejak kapan? Aku kan memang sudah rajin dari dulu. Memangnya nggak ingat, dulu siapa yang rutin bangunin tiap pagi lewat telfon?” “Oh iya, bener. Jadi, kapan kamu mau kembali rutin bangunin aku lagi?” “Mimpi!” Aku berdecak kesal, sebelum akhirnya ngacir pergi meninggalkan Mas Arfa yang entah kenapa hari ini terlihat rapi sekali. Dia kerja di mana sih, berpakaian serapi itu? Setahuku, tidak ada info apapun tetang reshuffle atasan. Kalau misal dia kerja di sini, aku jamin dia langsung jadi atasan. Tidak mungkin kan, cucu dari pemilik kok merangkak dari bawah seperti yang lain? “Na! Kamu melupakan sesuatu!”                 Mendengar itu, praktis aku berhenti dan kembali menoleh. “Apa?” “Senyummu. Kamu lebih cantik kalau tersenyum.”                 Demi apapun, ingin rasanya aku melempar wajah Mas Arfa dengan sepatuku! Kapan sih, sifat jahilnya itu hilang? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD