BAB-3. ELEVEN CAFÉ.

1261 Words
BAB-3.  ELEVEN CAFÉ. PAGI harinya Reta menjalani hari-hari seperti biasa. Bangun pagi, pergi ke kantor untuk bekerja, makan siang bersama Kia, dan pulang pada sore hari. Tidak ada yang istimewa hari itu. Kecuali pertemuannya dengan Raka. Reta berjalan keluar dari kantornya bersama Kia. Sore itu suasana kantor lebih sepi dari sebelumnya. Keduanya memasuki lift secara bergantian. Tidak ada orang lain selain mereka berdua di sana. Reta memberanikan diri untuk menceritakan pada Kia mengenai pertemuannya dengan Raka. “Ada masalah?” tanya Kia saat melihat sikap Reta yang sedikit aneh. Reta menyandarkan punggung di sofa. Ia beruntung karena kehamilannya tidak terlalu merepotkan. “Aku berencana menemui Raka,” ujarnya singkat. Kia menelengkan kepala. “Raka?” tanya gadis itu tidak percaya. “Ya. Raka.” Sahut Reta sembari memijit pelipisnya yang mulai pening. Reta mengambil ponsel yang ia simpan di dalam tas lalu memeriksa pesan yang dikirim oleh Raka. “Dia menungguku di Eleven Café sekarang.” Bahu Kia merosot saat mendengar ide gilanya. “Kenapa kamu mau menemuinya?” “Raka tidak akan berhenti menerorku sebelum aku menemuinya. Setelah hari ini kuharap dia tidak mengangguku lagi.” Kia hanya bisa memutar bola matanya. “Bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya? Bagaimana jika dia justru tergila-gila padamu? Kenapa kamu tidak mengatakan padanya kalau kamu sudah punya kekasih, Reta? Dengan begitu dia tidak akan mengganggumu lagi.” “Seharusnya begitu. Hanya saja…” ia terdiam sejenank. “Sudahlah.” Kia memasukkan ponsel ke saku jaketnya. “Apa Radit tahu soal ini?” Reta menggeleng. “Tidak. Dia sangat sibuk. Aku tidak mau menggangunya.” “Jika dia mengetahui apa yang kamu lakukan, Radit pasti akan sangat marah.” “Aku tahu.” Reta membalas DM yang dikirim oleh Raka. “Maka dari itu aku berniat mengajakmu. Kita tahu kalau jaman sekarang banyak sekali kejahatan yang berasal dari social media. Setidaknya jika terjadi sesuatu padaku ada kamu yang bisa menjadi saksi kunci,” Katanya sambil tersenyum lebar. Kia menonyor kepala Reta. “Itu sama sekali tidak lucu.” Pintu lift terbuka setelah mereka sampi di lantai dasar. Reta bergegas melangkah keluar dari lift dengan diikuti oleh Kia. Keduanya lalu berjalan menuju basement sambil terus berbincang mengenai pekerjaan mereka hari ini. Jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam Reta ingin sekali mengatakan pada Kia kalau saat ini dia tengah hamil. Dia butuh teman untuk berbagi apa yang saat ini dia rasakan. Namun entah mengapa dia tidak cukup mempercayai Kia untuk saat ini. “Itukah alasan kenapa hari ini kamu tidak membawa mobil?” tanya Kia begitu mereka sampai di mobilnya. “Berapa lama kamu merencanakan semua ini?” Reta mengabaikan protes Kia. Ia membuka pintu mobil dengan hati-hati lalu mengambil duduk di kursi penumpang. “Sebenarnya sejak semalam, Kia.” Ia memasang sabuk pengaman. “Aku hanya tidak sanggup menolak permintaannya. Raka laki-laki yang baik tapi meski begitu aku tidak bisa menemuinya sendiri. Aku butuh dirimu untuk kasus ini.” “Bagaimana jika aku mengadukan pertemuanmu dengan Raka pada Radit?” Kia menyalakan mesin mobilnya. Ia melihat melalui kaca spion kemudian membawa benda beroda empat itu keluar dari tempat parkir. Mobil yang mereka tumpangi melaju di jalanan. Jarak antara kantor mereka dengan Eleven Café hanya sekitar sepuluh menit. Sore ini jalanan tidak terlalu macet. Kia membawa mobilnya dengan kecepatan konstan. Reta mengibaskan sebelah tangan. “Aku tahu kamu tidak akan melakukannya.” Sejak awal Reta mempercayai Kia. Pertemanan mereka terjadi sejak keduanya menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Tinggal bersama selama empat tahun, bekerja di satu kantor yang sama, berbagi kisa masong-masing cukup membuat Reta mempercayai Kia. Bagi Reta Kia lebih dari sekedar teman dekat. Dia adalah sahabat yang akan selalu ada dan tidak akan tergantikan. Setidaknya itulah yang dia rasakan. “Aku mempercayaimu.” “Bagaimana jika aku melakukannya? Apa yang akan kamu lakukan?” “Tidak ada,” ujung bibir Reta terangkat melihat wajah masam Kia. “Tidak ada yang perlu aku lakukan.” “Bahkan jika Radit memergokimu bersama laki-laki lain?” Reta mengangguk. “Tidak ada. Aku mengenal Radit dengan cukup baik. Dia laki-laki yang bijak.” “Dan kamu mempermainkannya.” Tuduh Kia tanpa basa-basi. “Hei, aku sama sekali tidak mempermainkannya. Aku serius bersamanya. Jika aku mempermainkannya hubungan ini tidak akan berjalan lebih dari tiga hari. Kita berdua tahu kalau aku dan Radit sudah menjalin hubungan selama empat tahun.” Reta kembali melihat dari kaca spion. “Ya… ya… ya…” Ia membawa mobilnya menuju tempat parkir di Eleven Café. “Kita sudah sampai, Nyonya.” “Jangan meledekku. Kalau nanti kamu jatuh cinta lagi, akulah orang pertama yang akan meledekmu habis-habisan.” “Oh, silakan!” Kia membuka pintu mobil, diikuti oleh Reta. “Aku sama sekali tidak keberatan.” “Tolong catat ini,” Reta menutup pintu mobil. “Aku tidak sedang jatuh cinta dengan Raka. Aku hanya menemuinya.” Kia mengambil ponsel dari saku jaketnya. Ia menekan keyboard pada benda pipih tersebut selama beberapa saat. “Sudah kucatat!” katanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Sialan!” umpat Reta lirih. ** Suasanya Eleven Café sore itu tidak terlalu ramai. Reta melihat sekeliling saat memasuki café dan sialnya dia tidak menemukan laki-laki bernama Raka yang dia temui di **. Mungkinkah dia berbohong? Tanyanya dalam hati. Jika perkiraannya benar, seharusnya Raka berada di meja nomor lima belas dan sedang meminum secangkir kopi. Dan meja nomor lima belas kosong. Tidak ada siapa pun di sana. “Di mana dia?” di sisinya Kia bertanya dengan rasa penasaran yang tak terbendung. “Kuharap dia tidak membohongimu.” Kia meringis saat mengucapkan kata-kata terakhirnya. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat tatapan sinis dari Reta. “Aku akan memblokirnya jika dia berani membohongiku.” Reta memeriksa ponsel, membaca pulang pesan yang dikirim oleh Raka dan tidak menemukan tanda-tanda kalau pria itu akan menghilang dari muka bumi. “Kalau dia tidak datang, aku tidak harus meladeninya lagi, bukan?” Kia mengangguk penuh semangat. “Nah, itu terdengar hebat. “Bagaimana jika kita duduk di meja nomor lima belas sebelum ditempati oleh orang lain lalu memesan dua gelas moccacino dan makan malam untuk kita berdua. Kebetulan perutku sangat lapar.” Sekali lagi Reta memeriksa ponselnya, masih belum ada tanda-tanda Raka akan muncul. “Ide bagus.” Ia melangkah menuju meja sebelum orang-orang mulai melihat mereka berdua seperti dua ekor domba yang sedang tersesat di tengah rawa. “Apa menu makan malam kita?” “Ayam. Aku tidak punya rekomendasi lain. Bagaimana denganmu?” Karena terlalu sibuk berbincang dengan Kia, Reta sampai tidak memperhatikan ada laki-laki yang saat ini telah berjalan ke arahnya. Sialnya laki-laki itu juga sibuk dengan ponselnya dan tidak memperhatikan Reta. Keduanya lalu bertabrakan, membuat ponsel laki-laki tersebut terjatuh ke lantai. “Oh, maafkan aku!” Ujar Reta sambil berusaha meraih ponsel si pria. Pria itu pun mengucapkan hal serupa. Dia mendongak, menatap tepat di wajah Reta. “Reta?” “Raka?” Ucap mereka bersamaan. Reta lalu memberikan ponsel milik Raka dan berdiri dengan anggun. “Aku minta maaf atas kecerobohanku.” Raka mengibaskan sebelah tangan. “Oh, akulah yang seharusnya minta maaf. Aku tadi buru-buru dan tidak memperhatikan langkahku.” Ia melirik sekilas pada Kia yang saat itu melihat dirinya dengan ekspresi datar. “Kupikir kamu tidak akan datang.” “Aku selalu berusaha menepati janji,” sahut Reta ramah. “Meja nomor lima belas.” Raka menunjuk dengan dagunya, meminta Reta untuk duduk di meja yang sudah dia pesan sebelumnya. Reta hanya mengangguk melihat kode yang diberikan oleh Raka. “Ya.” Mulai hari ini Raka tidak akan pernah melupakan Meja Nomor Lima Belas di Eleven café.                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD