PROLOG

627 Words
Takdir datang tanpa perlu memandang bulu. Tidak peduli manusia yang dikunjunginya lemah. Terkadang, takdir bisa datang membawa kebahagiaan atau malah sebaliknya. Namun apa jadinya jika takdir datang membawa sejuta luka kepada manusia lemah? Manusia yang terus berlari ke mana saja, bersembunyi, namun dengan mudah takdir menemukannya dan mengejutkannya. Seperti aku contohnya. Aku memiliki hati yang terus saja dipermainkan oleh takdir tanpa mengenal ampun. Sanggupkah aku  menyambut datangnya takdir kali ini yang membawa sejuta luka?  ***   Ruangan ini mendadak dingin. Padahal di sudut ruangan, pendingin menunjukkan suhu 16 derajat Celcius, suhu rata-rata tiap ruangan di kantor ini. Pandanganku masih terfokuskan pada berkas-berkas tebal di atas paha. Tiap tulisan dengan teliti terbaca tanpa ada yang tertinggal sedikit pun. Aku tengah duduk di kursi empuk dan langsung berhadapan dengan meja pimpinan. Di sana, atasanku masih menungguku memberikan tanggapan. “Hmm.” Aku masih terus membacanya. Mungkin ini sudah menginjak menit kesepuluh aku terus bertatapan dengan tumpukan berkas-berkas tebal. “Jadi, bagaimana?” tanya Mita, sang pimpinan redaksi buku yang sepertinya sudah tidak sabar lagi menunggu tanggapanku. “Tidak.” Berkas itu kututup. Dengan wajah datar, aku menatap wajah Mita yang menyemburatkan rasa kecewa. “Tidak? Bukan itu yang aku butuhkan. Yang aku butuhkan, kapan kamu akan menghubunginya kemari?” Aku terdiam. Suhu dingin itu kembali menyayat kulit. Semakin memperjelas rasa sakit yang telah lama terkubur. Kini rasa sakit itu kembali hadir dalam tumpukan berkas-berkas tebal ini. “Ayolah, Van. Ini kesempatan emas dan nggak pernah bisa muncul dua kali. Pihak kita berhasil mengundangnya untuk diwawancarai penerbit kita. Dan nggak semua redaksi bisa seperti ini, apalagi dia paling tidak suka untuk dipublikasikan.” Mita berusaha untuk membujukku. “Lantas, mengapa dia memperbolehkan kita untuk mempublikasikannya?” Kini Mita terdiam. Gadis cantik di belakang meja pimpinan ini merupakan sahabatku selama bertahun-tahun sejak SMA. Dan sekarang dia menjadi atasanku. “Karena…” Kalimat Mita berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang-panjang, kemudian menatapku. “Ia ingin bertemu denganmu.” Aku terperanjat. Jantungku seperti berhenti berdetak. Tubuhku mendadak kaku. Untuk beberapa detik, aku hanya mampu berdiam diri dan merasakan darahku mengalir begitu cepatnya. “Dan ini satu-satunya cara agar ia bisa bertemu kembali denganmu, Vania.” Kata-kata Mita seperti tombak yang tanpa basa-basi menusuk paru-paru. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini aku mati-matian menghindarinya dengan terbang kembali ke Indonesia, kampung halaman yang sudah lima tahun tidak kutinggali. Berita kepulangan mendadakku saja masih aku simpan rapat-rapat. Hanya Mita dan keluarga kecilku saja yang tahu. Dan kini, dia yang aku hindari kembali hadir dalam waktu yang tidak terduga. Aku tahu, cepat atau lambat aku akan kembali bertemu dengannya. Namun tidak dalam kondisi seperti ini. Aku belum siap. Luka yang pernah tergoreskan di hati masih belum siap untuk tersayat lagi. “Tetapi, ingat Vania, di sini kita berbicara tentang profesionalitas. Ini bukan tentang masa lalu kalian, ini tentang bagaimana cara kita agar penerbit ini bisa mengalahkan penerbit-penerbit buku lainnya di penjuru Indonesia. Bukankah itu tujuan kita?” lanjut Mita memasang tampang serius. Aku mengangguk lemah. Terdengar bunyi roda kursi yang terseret ke belakang, menunjukkan bahwa Mita sedang melangkah mendekati kursiku. Benar saja. Kini Mita sudah berada di depanku dengan menyandarkan pinggangnya pada meja pimpinan di belakangnya. “Dengar Vania, sebagai sahabat lo, gue tahu betul apa yang saat ini sedang lo rasakan. Tetapi mau bagaimana lagi? Semakin lo menghindar, semakin lo tidak bisa menghilangkan rasa sakit itu. Yang harus lo lakukan adalah menghadapinya. Face your problem. Menghadapi untuk melepaskan.” Mita tersenyum ke arahku. “Sebagai atasanmu, aku memaksamu untuk mengeluarkan sikap profesionalmu dalam hal memilah mana urusan pribadi dan mana urusan bersama. Aku harap kamu mengerti itu.” Aku mengangguk kembali. Wajahku tertunduk. Mita benar. Semakin aku berlari, semakin rasa sakit itu terasa. Semakin aku bersembunyi, semakin banyak cara rasa sakit itu mengejutkanku. Seperti saat ini. Mungkin, memang inilah waktu di mana aku harus kembali berhadapan dengannya. Menyelesaikan semua permasalahan serta rasa sakit yang terus menghantuiku di mana pun aku berada. Baiklah, siap tidak siap, aku harus tetap profesional. Menghadapi untuk melepaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD