PART 6 - SAMA-SAMA JATUH CINTA.

1998 Words
Biasanya jika pertemuan pertama berkesan baik, maka tak salah jika kita berharap akan pertemuan yang kedua. Pepatah yang bagus untuk pertemuan dua insan yang sudah memiliki bibit-bibit rasa dalam hati. Bagi Echa mungkin masih terlalu dini menyimpulkannya sebuah rasa yang baru saja menyelusup ke dalam hatinya. Tapi tidak bagi Dhiyo. Sejak melihat gadis ini pertama kalinya masuk ke dalam restoran, hatinya sudah memindai. Itu sebabnya, ada keengganan ketika ia harus pamit pulang pada akhirnya. Jadilah, walau sudah duduk di atas jok motor, nyatanya Dhiyo belum juga mau menyalakan kendaraan roda dua besinya itu. Seolah roda ini menghormati tuannya agar bisa berlama-lama di tempat ini. Dhiyo memang sudah pamit pada Tama, yang kini menatapnya dari jarak jauh. Sekilas saja, Dhiyo sudah bisa memastikan jika tatapan itu sarat akan ancaman. Gak apa sih, gak membahayakan untuk saat ini. Entah nanti! Begitu hati Dhiyo berbisik. Padahal Dhiyo sudah berusaha bersikap baik dan sopan pada Tama, begitupun saat dia pamit untuk pulang. "Berhubung sudah malam saya pamit." Itu ucapan Dhiyo pada Tama. Dan kakak laki-laki Echa hanya menjawab. "Oke." Paling tidak, bisakah dia sedikit ramah dengan menawarkan menginap di sini gitu? Oh Dhiyo terlalu berharap. "Kak Tama. Echa antar Dhiyo ke depan ya." Echa tetap meminta izin. "Jangan lama-lama, sudah malam ini." "Iya kak. Ke depan saja kok." Kayak Echa mau antar sampe rumah Dhiyo saja. Ya kali Echa antar Dhiyo dan Dhiyo antar Echa lagi. Gak beres-beres dong. Jika akhirnya Dhiyo enggan pergi, begitupun Echa. Gadis dengan tubuh mungil itu tadi memang berniat mengantarkan si penolongnya sampai depan halaman. Tapi sampai beberapa saat lamanya, mereka masih sama-sama berdiri. "Terima kasih ya sudah antar Echa," ucap Echa dengan perlahan. Angin malam menerbangkan anak-anak rambutnya ke pipi. Membuat gadis ini harus menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Andai boleh, ingin sekali tangan Dhiyo yang menggantikannya. "Dan maaf kalau perlakuan kak Tama buat kamu gak nyaman." Echa sungguh tak enak hati akan sikap Tama pada Dhiyo. Dhiyo tersenyum. Melirik lagi ke arah dalam, dan masih menemukan tatapan mata Tama yang menghunus tajam. Gimana kalau aku bawa kabur adiknya, ya. Galak amat sih! "Gak apa kok Cha, aku mengerti. Kamu kan adiknya, wajar dia kayak gitu." Senyum Dhiyo kian menambah kadar ketampanan lelaki ini. Sayang rambutnya berantakan. Andai dia mau rapi sedikit saja? Echa sungguh gemas melihat rambut gondrong milik Dhiyo ini. Gemas ingin memotong dan gemas ingin merapikannya dengan memberi minyak rambut. Ya ampun, kok Echa udah mikir kemana -mana sih. Siapa tahu Dhiyo sudah punya pacar. "Cha, kamu jadinya putus dong sama Ramdan." Kembali Dhiyo berucap. Sengaja membahas kekasih gadis itu. Echa menunduk, meremas kedua telapak tangannya. Tanda ia gugup. Sungguh, ia malu sekali. "Iya, mau gak mau kan?" Dhiyo mengangguk dan mengulum senyum. "Lagian Echa kan gak mungkin paksa Ramdan untuk terus sama Echa. Echa juga gak mau hubungan Ramdan sama orang tuanya berantakan karena Echa." Bagus dong. Dhiyo makin tersenyum di dalam hati. "Iya juga sih Cha. Pilihan kamu tepat kok." Lalu keduanya hening. "Kamu mau janji gak Cha?" "Apa?" Mata Echa mengerjap indah. "Kalau ada masalah, jangan nekad kaya tadi ya? Coba kalau gak ada aku, kamu sekarang ada di rumah sakit lho tertabrak mobil." Mulut Echa mencebik. "Iya, Echa kurang hati-hati. Padahal Echa gak niat kok buat bunuh diri. Lagian putus cinta saja, masa pakai nyawa melayang. Rugi dong Echa. Nanti Echa mati, Ramdan tetap bahagia sama calon istrinya." "Nah pintar kamu." Keduanya sama-sama melempar senyum. Begini saja sudah merasa dunia milik bersama. Baik Dhiyo maupun Echa tampaknya memiliki rasa yang perlahan-lahan mulai sama. Hening terjadi beberapa saat, sampai suara seseorang terdengar dengan nada tinggi. Dan itu mengganggu kediaman kedua sejoli yang sama masih malu-malu ini. "Ya ampun babang ganteng gondrong!" Jono memekik dengan raut wajah tak percaya. Sebentar saja lelaki kurus ceking itu sudah mendekati Echa dan Dhiyo. "Sejak eike pulang ke rumah Mak anter sate dari kang sate kumis tebal yang berasal dari kota garam, sampai eike ikut makan tuh sate dan mau balik lagi ke toko Nanaz, yey masih di sini sama si mungil?" Jono berdiri dengan berkacak pinggang. "Kalau masih mau ngobrol ngalor ngidul, kenapa gak duduk di dalam sih?" "Lumayan anginnya kenceng di sini, nanti si mungil masuk angin kan repot. Udah badannya kecil tipis pula dia punya kulit. Repot kalau tiba-tiba datang angin malam dan tubuhnya terbang melayang ke angkasa." Echa memutar bola matanya dengan malas. Lalu kepala Jono menoleh ke dalam rumah. "Oala si babang tampan memberikan tatapan maut toh." Jono terkikik geli. "Babang gondrong, sebenarnya yey gak usah takut, walaupun babang tampan matanya kayak kucing garong yang minta kawin, tapi hatinya selembut putri salju." "Mas Jono!" Echa protes. Masa Kak Tama disamain sama kucing! "Memang Mas Jono tahu apa kucing garong yang minta kawin kayak apa?" "Ya kayak babang tampan yey itu. Coba lihat. Setel tivi tapi matanya menatap bak laser paling ampuh." "Gak apa Mas Jono, saya mengerti kok. Namanya sama adik apalagi perempuan wajar Tama begitu sama Echa. Saya juga punya adik dan sama lah seperti Tama gitu." Jono merangkum wajahnya. "Oh my god! Yey punya adik? Ganteng gondrong apa ganteng cepak?" Dhiyo tergelak. Baru tahu kalau yang namanya Jono ini bisa melawak. "Adik saya perempuan Mas Jono." "Oala!" Jono menepuk kening dengan bahu lunglai. "Lho kok Mas Jono kecewa? Memang masih mau mencari yang ganteng?" "Alamak! Gak mungil! Eike cuma tanya! Eh iya adik yey cantik kah?" "Cantik sih, tapi sudah punya pacar kayaknya." "Terlambat dong eike!" "Eh iya, jadi beneran yey mau kerja sama si mungil ini?" tanya Jono lagi. Sepertinya dia lupa jika mau pulang ke toko. Malah ikutan ngobrol di depan. "Jadi, nanti kabari saja ya Cha, lewat ponsel. Kamu sudah save nomer aku kan?" Echa mengangguk. "Iya tenang saja. Nanti Echa kabari secepatnya kok." "Ya salam, dia sudah tukeran nomer hp diam-diam!" "Hey babang ganteng gondrong! Yey gak mau save nomer eike? Kali yey kangen sama eike gitu?" Dhiyo lagi-lagi tersenyum. "Kalau aku kangen, aku bisa kirim pesan sama Echa saja." Kangen sama Echa maksudnya. Dan seolah Echa bisa membaca lirikan manik hitam milik Dhiyo, gadis itu tersipu. "Huh modus, nanti yey berdua yang kangen-kangenan!" Lalu Jono menoleh lagi ke arah Echa. "Eh Cha-Cha Maricha mungil, yey ceritanya sudah move-on nih sama si babang rujak itu?" Echa cemberut. "Ih Mas Jono, namanya Ramdan, bukan rujak!" "Gak apa, lidah eike sudah mahir sebut dia rujak, ogah ganti. Biar kalau eike ketemu, eike ulek sekalian mukanya yang sok ganteng itu." "Pokoknya lain kali, eike gak mau kasih yey izin keluar begitu saja. Yey ternyata pintar bohong.' "Iya maaf Mas Jono, lagian Echa gak mau-mau lagi ketemuan sama Ramdan. Sudah cukup sampai di sini saja." "Bagus itu. Yey gak tau, babang tampan nyaris cekik eike dengan tatapan mautnya. Eike mau ngomong ngeri, diem pun lebih ngeri lagi. Kapok eike." "Iya Mas Jono." Echa sungguh menyesal sekali. "Terus eike mau tanya, hati Yey itu sudah berubah haluan gitu, dari babang rujak ke babang ganteng gondrong? Sudah cilokpanama model Nanaz dulu sama pak ganteng gemes?" Mata Jono berkedap-kedip. "Cilokpanama?" Dhiyo keheranan. "Cinta lokasi pada pandangan pertama. Uhuy!" Jono bertepuk tangan. "Ih Mas Jono, apaan sih!" Echa menunduk menyembunyikan rona wajahnya yang bersemu. Ekor mata Dhiyo melirik dan menangkap pipi Echa yang malu-malu. Ah, gadis ini cantik sekali. Mau tak mau Dhiyo mati-matian menahan senyum yang mau keluar. "Gak apa-apa kalau babang ganteng gondrong masih jomblo! Heh, yey masih jomblo kah?" Astaga Mas Jono! Echa kan jadi malu! "Saya pengangguran Mas Jono, mana ada yang mau sama saya." "Ahay!!!! Jala ditebar gayung bersambut. Cinta sudah menyebar, lalu hati menjemput. Ahhh eike jadi penyair sekarang." Jono heboh sendiri. "Ehmmm!" Suara Tama yang berdehem terdengar oleh mereka bertiga, bak alarm yang sudah menandakan waktu habis. "Eh sudah-sudah, ini sudah jam ...." Jono menarik lengan Dhiyo dan menemukan jam tangan, lalu melirik dan matanya melotot. "Ya ampun lima menit lagi sudah jam dua belas malam! Astaga! Pantes Babang tampan sudah mengaum, bukan lagi mengeong. Ini tandanya yey harus pulang. Nanti yey akan shock melihat si mungil berubah sebentar lagi." "Memangnya Echa upik abu?" Gadis itu kembali protes. "Yey bukan upik abu, tapi kawan-kawannya putri salju." "Mas Jono! Masa Echa disamakan dengan temannya putri salju sih? Orang tuh kayak putri saljunya kek!" "No, di sini gak ada salju. Mau jadi Putri hujan sekalian? Yey kan cengeng, bentar-bentar nangis. Siapa yang patah hati, yey yang nangis. Hadeh Eike jadi ikutan cengeng jadinya deket sama yey!" "Sudah ayo ganteng gondrong, eike numpang ya ke depan, ke toko Nanaz." Lalu tanpa malu-malu Jono naik ke atas motor Dhiyo. "Aduh ini motor kok nungging sih? Eike peluk gitu?" Echa tergelak sudah. "Mas Jono pegangan, nanti Dhiyo ngebut lho." "Aish jangan ngebut. Eike takut nyungsep ke belakang!" Dhiyo tersenyum pada Echa untuk yang terakhir sebelum dia pulang. Akan dia ingat wajah imut gadis ini. "Echa aku pamit ya." "Hati-hati Dhiyo, nanti aku kabari ya mengenai pekerjaan buat kamu." Motor itu sudah berbunyi dan tak lama membawa Dhiyo dan Jono pergi. Echa masih mendengar suara pekikan Jono. "Uhuyyy akhirnya eike bisa peluk babang ganteng gondrong!" Sambil menggeleng, Echa masuk ke dalam rumah. Ia terkekeh geli melihat Jono benar-benar memeluk erat pinggang Dhiyo. Matanya bertemu dengan mata Tama yang sejak tadi memperhatikan interaksi Echa. "Echa, kakak gak mau kamu sembarangan bergaul." Echa menghela napas. "Kakak gak usah khawatir, Echa sudah putus kok sama Ramdan." "Bukan cuma Ramdan. Tapi laki-laki tadi juga, si Dhiyo-Dhiyo itu." Mata Echa mengerjap. "Memang Dhiyo kenapa kak? Dhiyo kan sudah bantu Echa." "Kamu gak tahu siapa dia Echa, bisa saja dia itu-" "Dhiyo bukan orang kaya, kak. Dhiyo pengangguran." Tama terdiam. Dia masih belum percaya, apalagi melihat jenis kendaraan roda dua yang dimiliki lelaki itu. "Terus, kamu mau masukkan dia kerja ke gudang tempat kamu kerja gitu?" Echa menunduk sambil meremas kedua telapak tangannya. "Ya memang ada lowongan kok Kak." Tama bangkit berdiri. "Pokoknya kamu inget kata-kata kakak. Jangan dekati lelaki dari kalangan sultan. Kamu harus sadar diri, kita bukan tandingan mereka. Kita hanya debu buat mereka. Kecuali kamu mau dipermainkan sama mereka." "Iya kak." Tak ada yang bisa Echa lakukan selain mengangguk. Ia menatap kakaknya masuk ke dalam kamar belakang, sementara Echa menempati kamar Nazla. Echa tahu, kakaknya masih menyimpan rasa tak sampai pada Nazla, padahal Nazla sudah menjadi milik Dayan. Bukan berarti kakaknya mau merebut Nazla, Echa yakin kakaknya tak seperti itu. Tapi imbas pengalaman pribadinya, Tama menjaga sekali supaya adiknya tidak kecewa seperti dirinya. Echa menghembuskan napas. Ia kan baru mau berteman dengan Dhiyo, apa salahnya? Memasuki kamarnya, Echa meletakkan tasnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Bayangan bagaimana Dhiyo membelanya tadi membuat sudut bibir Echa tertarik ke samping. Ck, masa semudah itu aku melupakan Ramdan sih? Tapi, Dhiyo itu memang lebih ganteng sih. Echa mengatupkan bibirnya. Dhiyo-Dhiyo. Bibir mungil milik Echa, terus saja mengucapkan nama Dhiyo. Mungkin berharap akan bertemu Dhiyo di dalam mimpinya. Echa, untuk pertama kalinya merasakan jatuh cinta pada penolongnya, lelaki tampan dengan rambut gondrong bernama Dhiyo. Echa yakin Dhiyo bukan Ramdan, yang berasal dari keluarga mampu, juga bukan Ramdan yang bisa membuatnya jatuh cinta sekaligus membuatnya terluka. Echa hanya ingin bahagia bersama orang yang tepat. Sementara Dhiyo menghentikan motornya tepat di depan toko Bunga Alina. "Terima kasih babang ganteng gondrong." Jono segera turun dari motor sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Mata Dhiyo menatap toko di depannya. "Mas Jono tinggal di sini?" "Iya, tapi ini bukan toko Eike. Sudahlah, Eike nanti saja cerita. Ini sudah malam, yang ada Eike gak bisa tidur karena cerita tentang toko ini. Hati-hati di jalan dan langsung pulang ya. Jangan ngebut dan jangan meleng." "Oke Mas Jono." Dhiyo kembali menjalankan motornya. Menembus malam dengan angin yang terasa menerpa tubuh dan wajahnya. Malam ini ia kesal luar biasa, karena sudah rela datang ke restoran tapi yang ajak ketemuan justru gak datang karena anaknya rewel. Tapi imbasnya, bibir Dhiyo terus saja tersenyum. Siapa sangka malam ini ia bertemu gadis itu. Alesha Izza Azzahra. Echa, mulai malam ini, kita akan terus bertemu. Aku yakin kamu memang ditakdirkan untuk menjadi milikku. Segudang rencana sudah Dhiyo siapkan untuk menjalani hari bersama Echa. Gadis yang sudah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD