2. Bertaruh Hati

2688 Words
Akhirnya acara resepsi yang hanya dihadiri keluarga, dan rekan-rekan dekat kedua mempelai selesai juga. Hari yang melelahkan, bahkan Ardi merasa tidak pernah merasa selelah ini saat sedang jaga di rumah sakit. Ia akhirnya mengerti kenapa teman-temannya di RS memperingatkan agar Ardi menyiapkan staminanya. Sesederhana apa pun pernikahan, agaknya akan selalu melelahkan terutama untuk mempelai. Diam-diam Ardi menghela napas. Rumah Zia, yang menjadi tempat akad sekaligus resepsi pernikahan akhirnya sepi dan hanya menyisakan kedua keluarga yang baru saja menjadi besan. Mereka duduk di ruang keluarga yang masih berantakan dengan sisa-sisa pesta. Ngobrol ngalor-ngidul sampai tidak terasa hampir tengah malam. Ardi melirik Zia yang duduk di sampingnya, mengamati gadis itu yang sepertinya sudah tidak nyaman dengan pakaian pengantin yang masih dikenakannya, raut lelah juga terlihat jelas di wajah gadis itu. “Semuanya, aku pamit ke kamar duluan ya,” ucap Ardi setelah dirasa memiliki cela. Setelah berjam-jam tertahan menemani orang-orang itu mengobrol akhirnya Ardi memberanikan diri untuk pamit. Ia sudah benar-benar lelah hari ini, jadi tidak ada salahnya kan undur diri? Lagi pula istri kecilnya sepertinya merasakan hal yang sama, hanya saja gadis itu terlihat tidak tahu bagaimana mengatakannya di hadapan para tetua. “Nah penganten baru udah nggak sabar nih pengen masuk kamar.” Seloroh Papa Ardi terkekeh, melirik putranya penuh maksud yang justru ditanggapi Ardi dingin. Itu sama sekali tidak lucu, tapi entah mengapa orang-orang yag duduk di ruangan itu justru tertawa, termasuk Zia yang lebih terlihat memaksakan tawanya. Ardi berusaha tersenyum menanggapi gurauan keluarganya, namun memilih untuk tidak berkomentar. Lebih baik ia segera menyingkir dari sana, mandi dengan air hangat lalu tidur di ranjang yang empuk. Dengan membayangkannya saja Ardi sudah tidak sabar bergelung di balik selimut, meski entah ranjang Zia yang Ardi maksud itu empuk atau tidak ia tidak benar-benar tahu sebelum melihat dan merasakannya sendiri. Melangkahkan kaki ke lantai dua rumah Ayah mertuanya, Ardi sebenarnya tidak tahu pasti di mana kamar Zia. Tapi toh akan terlihat dengan dekorasi ala penngantinnya bukan? Itu bisa menjadi petunjuk yanh cukup untuk Ardi. “Lho, Zia kok masih di sini? Udah sana kamu juga masuk kamar gih,” suara Ayah mertuanya membuat Ardi menghentikan langkah, menoleh menatap Zia yang masih duduk dengan wajah menunduk, gadis itu terlihat gelisah meremas kedua tangannya sendiri. Tidak lama Zia bangkit dan berjalan mendahului Ardi, tidak ia dengar Zia mengatakan apa pun saat melewatinya. Membuat Ardi hanya bisa mengekor di belakang Zia mengikuti, tentu saja diiringi suara-suara yang masih bisa Ardi dengar dalam langkahnya. “Zi nggak apa-apakan ya, Yah?” Itu suara Kak Veli, Ardi dengan yakin menerkanya. “Dia cuma gugup, Ve, nanti juga terbiasa. Malah mungkin bahagia bisa nikah muda.” Ayah tertawa ringan diikuti yang lain. Membuat Ardi menghela napas tertahan. Hatinya perlahan mengukir perasaan bersalah, mengumamkan maaf berkali-kali dalam hati. Sebelumnya Ardi tidak ingin merasa begitu, toh ia pikir pernikahan tanpa rasa yang dijalaninya bukan salahnya. Ardi hanya menuruti keinginan sang Papa yang mendesaknya untuk segera berkeluarga, permintaan yang sudah bosan Ardi dengar sejak beberapa tahun lalu. Dan alasan serupa yang Ardi tahu tentang Zia yang menerima lamarannya. Sebelumnya Ardi tidak pernah tertarik dengan komitmen. Pria satu itu hanya ingin mementingkan karir dokternya tanpa pernah berpikir untuk berkeluarga. Tapi melihat papa begitu cemas dengan masalah percintaannya membuat Ardi tidak punya pilihan ketika mendengar permohonan orang tua tunggal yang kini dimilikinya itu. Ardi tidak pernah dibebani permintaan Ibu yang tidak pernah dilihatnya secara langsung, jadi ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatannya untuk menuruti semua kehendak Papa yang seorang diri merawatnya sejak ibunya meninggal bersama kembarannya dulu. Lamunan Ardi terpecah begitu Zia membuka pintu kamarnya dan kembali menutupnya dengan suara yang cukup keras. Membuat Ardi mengerutkan kening lantas beberapa detik setelahnya berhasil membuatnya dongkol. Mungkin untuk permintaan papanya yang satu ini bukan hal mudah yang bisa Ardi lalui dengan santai seperti kasus-kasus sebelumnya. Ada satu kepala yang harus ia hadapi mulai hari itu. Satu kepala yang bisa jadi merubah hari-hari tenangnya selama ini. *** Dari dalam kamar Zia bergerak gelisah. Bagaimana ini? Zia sudah membanting pintu kamarnya keras-keras agar Ardi cukup tahu diri untuk tidak memasuki zona kamarnya. Zia harap pria itu mengerti, lantas memilih tidur di kamar lain bersama Papa atau entah anggota keluarganya yang lain yang berencana menginap di rumahnya untuk hari ini. Zia masih berjaga di balik pintu—lebih tepatnya menahan pintu agar Ardi tidak masuk—tapi sepertinya pria itu terlalu bebal untuk bisa memahami harapan terpendam Zia yang tidak mengizinkannya masuk. Buktinya, sekuat apa pun Zia berusaha bertahan, Ardi justru meringsek memaksa masuk. “Zi, buka pintunya! Gue mau masuk!” geram Ardi tidak ingin menggunakan seluruh tenaganya terhadap wanita. “Nggak! Lo tidur aja di mana kek, gue nggak mau sekamar sama lo!” Ardi masih mencoba mendorong, mencoba tak acuh dengan seruan Zia yang menolaknya mentah-mentah. “Heh? Dari tadi aja lo diem-diem, ternyata sifat lo kayak gini, ya? Pakek bahasa lo-gue pula, panggil gue yang sopan bocah!” Zia mencibir, dia sendiri bahasain dirinya lo-gue. Dasar! “Memang! Mau apa lo? Mau cerein gue setelah tahu gue kayak gini? Itu yang gue tunggu!” Ardi melepaskan dorongannya. Berdiri dengan tangan berkecak pinggang menatap pintu kamar Zia dengan tatapan tak percaya. Tidak, sebenarnya tatapan itu ingin Ardi jatuhkan pada Zia, hanya saja karena masih ada pintu yang menghalangi mereka membuat Ardi jadi terkesan menatap pintu dengan sorot aneh itu. “Cerai? Kalau lo mau cerai lo aja sono yang bilang sama orang tua kita! Dasar anak kecil, belum apa-apa ngomongnya udah cerai-cerai,” gerutu Ardi tidak habis pikir. Apa istri kecilnya itu pikir menikah dan bercerai adalah sesuatu yang bisa gampangnya dilakukan? Serupa dengan hubungan tanpa janji di atas kertas juga di hadapan Tuhan yang bisa kapan saja dibangun lantas diputuskan begitu saja? Apa istrinya itu juga berpikir keputusannya untuk menerima permintaan papanya untuk menikahi Zia yang dilalui dengan pertimbangan panjang dan pergoakan batin yang rumit bisa dengan mudah diakhiri begitu saja? Ardi menggeleng, tidak mengerti dengan cara Zia dalam mengahadapi permasalahan mereka ini. “Lupa kali ya? Ayah pernah masuk rumah sakit? Mau Ayahnya kayak gitu lagi kali?” gerutu Ardi tidak habis-habis, dan ucapan pria itu didengar jelas Zia dari dalam kamarnya. Gadis itu terdiam, mengingat persis bagian terpenting yang membuatnya bisa ada di posisi sekarang ini. Ardi berhasil menyinggung sisi sensitif Zia. Dan itu tentang ayah mertuanya. Perlahan pertahanan Zia pada pintu kamarnya terlepas. Sempat terdiam sejenak, Zia lantas memutar kenop pintu kamarnya hingga terbuka sedikit. Melihat celah itu Ardi tidak menyia-nyiakannya begitu saja. Dengan cepat ia dorong pintu itu hingga terbuka cukup lebar untuk ia lewati. “Tenaga lo gede juga yah anak kecil,” ujar Ardi begitu ia sudah aman di dalam kamar itu. Mata mereka bertemu, dan terlihat sekali ada perbedaan yang cukup jelas di sana. Raut wajah Zia yang murung, sementara Ardi terlihat biasa-biasa saja. Setelah menyinggung sisi sensitifnya, bisa-bisanya pria itu bertingkah seolah tidak mengatakan apa-apa! Membuat Zia jengkel saja. “Lo tenang aja, gue nggak nafsu ngapa-ngapain lo. Lagian masa baru nikah kita udah pisah kamar? Apa yang bakal ortu kita sangka coba?” Zia masih diam, ada benarnya juga perkataan pria ini. Mungkin Zia patut mencoba mengenal sosok suaminya ini lebih jauh. Meski tingkahnya yang terlihat sibuk mengamati kamar Zia sambil terus berceloteh, lalu duduk di tempat tidur membuat Zia lama-lama jengah juga. “Gue tau lo nggak suka pernikahan ini. Begitu pun sama gue, tapi seenggaknya lo harus mikir kenapa kita bisa jadi kayak gini, apa alasan lo di balik itu coba? Buat ortu kita kan? Kalau baru sehari lo udah minta cerai, sekalian aja lo kabur tadi sebelum akad!” Sekali lagi Zia mengakui, setiap kata yang Ardi utarakan memang banyak benarnya. Kalau belum sehari mereka sudah cerai, sama aja mengantar Ayah ke rumah sakit lagi. Tidak, hal seperti itu berani melintas di benaknya saja sudah membuat Zia parno bukan main. Jadi jangan sampai itu terjadi. Begitu Zia selesai merenung dengan pikirannya, gadis itu baru sadar bahwa Ardi tidak lagi mengoceh seperti beberapa menit lalu. Suaminya itu terlihat asik mengamati setiap jengkal kamarnya. Zia sendiri kini justru mengamati setiap gerak-gerik Ardi, Jaga-jaga kalau pria itu tiba-tiba melakukan hal tidak senonoh padanya. Tapi baru beberapa detik mereka tenang, kelakuan Ardi selanjutnya malah membuat mata Zia terbuka lebar! Masalahnya Ardi membuka kancing kemejanya satu persatu, membuat Zia terkejut hingga detik selanjutnya gadis itu tersadar dan dengan cepat memalingkan pandangannya dari pemandangan menyegarkan itu. “Heh mau ngapain lo?” Zia membentak, tanpa memandang objek yang dibentaknya. Tidak Zia dengar jawaban dari Ardi, yang ia dengar hanya pintu kamar mandi di kamarnya yang tertutup lalu suara shower yang mengucur deras di dalam sana. Zia menghela napas lega, untuk sesaat ia merasa hidupnya terselamatkan. Gadis itu duduk di depan meja rias, terdiam cukup lama. Entah apa yang ia pikirkan, otaknya mungkin terlalu banyak mencerna informasi hari ini, hingga Zia sendiri tidak bisa menentukan mana yang seharusnya jadi prioritasnya untuk dipikirkan. Dan ketika tersadar dari lamunan, Ardi justru sudah keluar dari kamar mandi menyentak lamunan Zia. “Lo nggak mandi?” Tanpa pertahanan Zia berbalik menatap suaminya, dan apa yang gadis itu lihat kemudian membuat wajahnya kini semerah tomat, dalam hati beristigfar berkali-kali berusaha mengendalikan akal sehatnya. Detik berikutnya setelah tersadar lagi-lagi Zia melempar pandangannya ke arah lain. Apa yang baru saja ia lihat? Kenapa pria itu hanya keluar mengenakan celana selutut? Bukankah kalau dia bawa celana logikanya dia juga harus membawa baju? Lalu kenapa tidak Ardi kenakan di kamar mandi? Kenapa harus bertelanjang d**a begitu? Zia merasa matanya sudah ternoda saat ini. “Kenapa sih lo?” Zia menggeleng cepat, berjalan miring menuju kamar mandi tetap menghindari untuk bersitatap dengan suaminya. Menutup pintu—hampir membanting—kamar mandi rapat-rapat. Ia basuh wajahnya dengan air yang mengalir di wastafel, menghapus bayangan di otaknya tentang apa yang baru saja ia lihat beberapa detik lalu. “Sadar Ziiiii, lo nggak boleh terlena sama bentuk tubuhnya yang perfect itu! Lo masih waras Ziiii, lo harus waras!” Zia membatin sendiri. Ini pasti gara-gara Jeje dan Meta yang sudah terlalu banyak mengkontaminasi pikirannya dengan hal-hal yang berbau m***m, membuat dirinya kini memikirkan yang tidak-tidak hanya karena ia melihat pria bertelanjang d**a di depannya. Zia menggeleng kuat-kuat, berusaha mengenyahkan apa pun racun yang Jeje berikan di otaknya. Mungkin lain kali, kalau Jeje mangatakan hal yang tidak-tidak ia patut memukul kepala sahabatnya itu keras-keras. Ini membawa efek tidak bagus pada diri Zia, membuat pikiran polosnya terganggu! Zia sengaja berlama-lama di kamar mandi, berharap saat keluar nanti Ardi sudah pulas jatuh ke alam bawah sadarnya. “Zi! Lo nggak apa-apa, kan? Ngapain sih di kamar mandi lama-lama? Zia!” panggilan Ardi membuat harapan gadis itu runtuh seketika. Entah mengapa apa pun yang direncanakannya hari ini tidak ada yang berjalan sempurna. Bahkan ketika berharap Ardi mengacaukan prosesi ijab qobul tadi pagi pun harapan itu tidak terkabul. “I—iya, gue keluar bentar lagi. Lo tidur aja!” Zia mau tidak mau menjawab, dari pada Ardi mendobrak pintu kamar mandinya? “Ck, gue kan udah bilang nggak bakal ngapa-ngapain lo, jadi lo keluar aja. Ngapain sih ngerem di kamar mandi.” Tepat sasaran! Ardi amat tahu apa yang Zia pikirkan. Mau tidak mau gadis itu memutuskan untuk keluar dari sana. Mendapati Ardi yang duduk di sisi ranjangnya sudah mengenakan piama yang disiapkan oleh Veli sehari sebelumnya. Zia berjalan menuju meja rias, masih menghindari untuk bersitatap dengan Ardi yang menyipit mengamati sikap Zia. Cukup lama mereka saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing dalam keheningan yang melingkupi kamar itu. Sampai suara Ardi kembali terdengar di udara. “Jangan sampai lo jatuh cinta sama gue,” ucapan Ardi itu sontak membuat Zia menganga. Meski itu hanya terjadi di benaknya seperti yang ada di komik-komik yang sampai saat ini masih sering Zia baca. “Tenang aja! Gue nggak akan jatuh cinta sama lo! Pede banget sih jadi orang?!” cibirku Zia kesal. Bersungut-sungut di cermin menatap bayangan pria itu dari sana. “Bukan gitu, makanya kalau orang lagi ngomong dengerin dulu sampai selesai. Maksud gue, gue nggak akan bilang hal kayak yang tadi gue omongin, gue nggak bakal ngelarang lo jatuh cinta sama gue kayak yang sering kejadian di sinetron-sinetron. Ya secara gitu banyak cewek di luar sana yang ngeliat gue aja mereka langsung jatuh cinta. Masa iya gue ngelarang istri gue sendiri jatuh cinta sama gue, iya nggak? Jadi kalau lo cinta sama gue bilang aja, mungkin bakal gue pertimbangkan,” cerocos Ardi semakin membuat rahang Zia jatuh karena mendengar kalimat panjangnya. Ya Tuhan... rasanya ingin sekali Zia melempar sisir yang kini ada di tangannya hingga mendarat di mulut pria itu. Kok ada sih spesies macam dia? Jadi suami Zia pula. Tatapan Zia masih mengarah tajam pada sosok Ardi, hingga pria itu dengan santainya justru merebahkan diri di ranjang, mengambil bantal yang terjangkau kemudian melemparnya pada Zia. “Hei!” Zia berteriak tidak terima, mengusap hidungnya yang terkena lemparan Ardi itu. “Berisik. Gue mau tidur.” Tidak harus mencerna lama Zia sudah berdiri dari duduknya. Menghampiri Ardi yang sudah bergelung nyaman di antara bantal dan guling yang biasa ia pakai setiap malam. “Tapi itu tempat tidur gue! Dan gue nggak ngizinin lo tidur di situ. Terserah deh lo mau tidur di mana.” Ardi diam. Apa pria itu tidur? Tidak mungkin... Masa iya secepat itu. Zia gerakan telapak tangannya di depan wajah Ardi, memastikan pria itu benar-benar sudah tidur atau hanya pura-pura. Dalam hitungan detik Ardi meraih tangan istrinya yang mengibas di depan wajah, mata pria itu masih terpejam. “Kalau lo mau tidur di kasur, ya tidur aja. Kasur lo ini kan lumayan lega, jadi lo bisa tidur di sebelah gue. Dan nggak perlu ganggu gue lagi, gue bener-bener capek anak kecil,” gumam Ardi lemah, seolah ia benar-benar sudah tidak ada tenaga meski hanya sekedar untuk bicara. Ardi melepaskan pergelangam tangan Zia. Mengambil guling kesayangan istrinya lantas memeluknya erat. Membuat Zia sukses manyun tidak punya pilihan lain selain membiarkan suaminya tidur di ranjang. Menghela napas pasrah gadis itu mengalah kali ini. Entah bagaimana Zia merasa dirinya belum bisa tidur di samping suaminya. Entah mengapa, sudut hatinya yang tersembunyi mengatakan hal itu. Gadis itu berjalan ke arah lemari, mengambil badcover yang tersimpan di dalamnya untuk ia pakai di lantai. Merenggangkan otot-otot tubuh yang sudah menegang sejak tadi pagi, lantas berbaring di sana. Tanpa butuh waktu lama gadis itu pun terlelap. *** Ardi mengerjapkan matanya menerima cahaya yang perlahan masuk. Ia bangkit dari tidurnya melirik jam dinding yang masih menunjukan pukul tiga pagi. Pria itu menggaruk keningnya berusaha mengenali sekitar, lantas memorinya memutar semua ingatan yang berlangsung sebelum ia terbangun di kamar itu. Melihat sisi tempat tidurnya yang kosong mata Ardi refleks melongok ke lantai. Dan benar saja dugaannya bahwa istri mungilnya itu belum bersedia tidur di sampingnya. Dalam hening Ardi mengukir senyum pertamanya setelah seharian bersama gadis yang baru dinikahinya itu. Ardi turun dari ranjang, menghampiri Zia dan mengamati wajah mungil itu lekat-lekat. Tanpa babibu ia angkat tubuh Zia yang kini berada dalam gendongannya, memindahkan gadis itu untuk melanjutkan tidurnya di kasur empuk miliknya. “Nggak nyangka gue bakal kayak penganten normal yang gendong-gendong istri, walau dalam konteks yang beda.” Ardi terkekeh dengan pikirannya sendiri. Kembali berbaring di ranjang yang kini mereka bagi berdua, belum sempat Ardi memejamkan mata Zia justru menendangnya hingga pria itu jatuh dari tempat tidur. Ardi meringis memegangi bokongnya yang baru saja jadi sasaran tendangan gadis itu. “Nih anak bukan sifatnya aja yang amburadul, tapi tidurnya juga berantakan!” Zia terlihat menggeliat-menggeliat di kasurnya, bergumam jurus-jurus bela diri yang mungkin gadis itu pelajari. Sampai setelah beberapa menit dalam pengamatan Ardi, akhirnya gadis itu kembali pada posisi tenang. Kini menghadap samping, tepat berhadapan dengan wajah Ardi yang masih terduduk di lantai. Menghela napas, Ardi memandang Zia dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Kedua tangannya ia taruh di sisi tempat tidur, menjadi tumpuan dagunya yang kini makin mendekatkan jarak wajah keduanya. Pria itu mengamati setiap garis wajah Zia yang polos, kembali menghela napas tanpa menolehkan pandangannya dari wajah mungil Zia di hadapannya. “Gue harus cepet buat lo jatuh cinta sama gue, Zi. Dengan begitu hati yang udah gue pertaruhkan untuk pernikahan ini nggak sia-sia.” Bisik Ardi lemah, tidak lama kembali terlelap masih dalam posisi yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD