BAB 2: Leonardo Pulang

2247 Words
Hidung Rosea mengerut tidak suka, melihat kotak makanan Prince yang di penuhi buah-buahan segar dan spaghetti yang sudah dingin. “Siapa yang suka saus tomat? Lebih enak saus mie instant,” gerutu Rosea tidak suka dengan isi kotak makanan milik Prince. “Nenek yang menyiapkannya.” “Nenek kamu tidak asik.” Samar bibir Prince tersenyum, alih-alih marah karena ada yang tidak berkata baik tentang neneknya, justru Prince senang karena ada yang berpikiran sama seperti dirinya. “Rumah kamu di mana?” Tanya Rosea lagi sambil memetik beberapa buah anggur dan memakannya. Rosea hanya bisa memakan buah-buah segarnya saja di dalam kotak karena lidahnya tidak terbiasa dengan makanan bercita rasa tidak kuat. “Jauh.” “Bagaimana kamu bisa ada di sini?” Prince menelan makananya dan mengusap bibirnya yang berkilauan dengan punggung tangannya. “Semua toko-toko di belakang itu milik nenekku,” Prince menunjuk semua deretan toko yang sempat Rosea kagumi. Rosea memutar tubuhnya dan melihat ke belakang, bola mata Rosea membulat sempurna. Rosea tercengang melihat deretan toko mewah yang berjajar berada di belakangnya. “Kamu serius?” tanya Rosea lagi dengan terbata. Prince mengangguk, “Karena itu aku ada di sini, taman ini juga milik nenek, dia membangunnya agar aku tidak kesepian,” dengan entengnya Prince menunjuk lapangan dan seluruh taman besar di depannya. “Uhuk,” Rosea tersedak sampai-sampai harus memukul dadanya beberapa kali agar bisa bernapas dengan normal lagi. Semua yang keluar dari mulut Prince terdengar sangat mustahil dan lebih mirip seperti dongeng hayalan anak-anak pada umumnya. Akan tetapi, bila menilik penampilan dan tampangnya Prince, Rosea bisa merasakan getaran banyak uang pada anak itu. “Kamu kenapa?” tanya Prince. “Tidak apa-apa.” Rosea mengatur napasnya beberapa kali sambil mengusap tenggorokannya yang masih menyisakan rasa sakit karena batuk, keterkejutan Rosea teralihkan pada kotak makanannya yang kini kosong, Prince menghabiskannya dengan baik. “Kamu sudah selesai?” tanya Rosea. “Ya, ini” Prince segera mengembalikan kotak makanan Rosea dan menukarnya kembali. Rosea memasukan kotak makananya ke dalam tas, sekilas dia melihat arah jarum jam yang terpasang di pergelangan tangannya. “Aku harus segera pulang.” Prince terdiam memeluk kotak makananya sendiri, anak itu tiba-tiba menatap Rosea dengan sedih, padahal Prince senang berbicara dengan Rosea, namun teman bicaranya itu terburu-buru harus pulang. Rosea beranjak dari duduknya dan segera menggendong tasnya lagi, wanita itu tersenyum dengan tulus menatap lembut Prince. “Prince, terima kasih atas makanannya.” Prince mengerjap bingung, diam-diam tangan mungilnya mengepal kuat meremas permukaan celananya, Prince terlihat kebingungan karena tidak tahu harus menjawab apa. “Kenapa kamu berterima kasih?” tanya Prince. Rosea tersentak kaget, pertanyaan sederhana Prince membuat Rosea merasa sedih karena anak itu belum mengetahui arti sebuah terim kasih. Sejenak Rosea terdiam, memikirkan kata yang pantas untuk dia ucapkan agar Prince langsung memahami perkataannya. Rosea berdeham, “Prince,” panggil Rosea dengan lembut. Prince semakin mengangkat wajahnya dan menatap lekat Rosea, menunggu Rosea berbicara. “Kita harus mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang sudah berbuat baik kepada kita. Itu adab menghargai kebaikan yang di berikan orang lain kepada kita,” jelas Rosea memberitahu. Prince terpaku kaget mendengarnya, Rosea menjelaskan semua yang tidak Prince ketahui dengan senyuman lebar tanpa ada nada mendikte sedikitpun, cara Rosea berbicara sangat berbeda jauh dengan cara berbicara neneknya yang terkadang membuat Prince merasa takut. “Ehm.. kalau begitu, terima kasih,” ucap Prince dengan suara yang sedikit bergetar. Bibir Rosea menyunggingkan senyuman semakin lebar, wanita itu segera melambaikan tangannya. “Sama-sama Prince. Sampai jumpa,” pamit Rosea sebelum memutuskan pergi. Kepala Prince bergerak memutar melihat kepergian Rosea, tanpa terduga Prince meletakan kotak makanannya di kursi dan berlari melintasi jalan untuk mengejar Rosea yang belum jauh darinya. “Tunggu!” teriak Prince memanggil. Langkah Rosea terhenti, dalam satu gerakan dia membalikan badannya dan melihat Prince lagi yang kini ada di hadapannya. “Kamu suka makanan apa?” tanya Prince penasaran. “Aku suka makanan berwarna merah muda,” jawab Rosea terdengar mengasal. “Apakah besok kamu akan datang ke sini lagi?” “Aku tidak tahu.” “Kalau kamu datang ke sini lagi dan bertemu lagi, apa kita bisa bertukar makanan lagi?” Tanya Prince lagi di penuhi oleh banyak harapan. “Ya, selama makanan yang kamu bawa enak,” jawab Rosea dengan spontan. “aku harus pulang, berhati-hatilah saat menyebrang.” Rosea kembali berbalik dan pergi meninggalkan Prince yang kini berdiri dan memperhatikan kepergian Rosea. *** “Pah, lihatlah.” Seorang wanita paruh baya meletakan document di depan suaminya. “Ini hasil dari les Prince dua minggu terakhir.” Abraham menyesap kopinya, pria itu melirik isterinya yang kini menarik kursi dan segera duduk di sampingnya memasang raut wajah kecewa. Abraham mengambil document itu dan membacanya. “Kenapa lagi dengan hasilnya?” tanya Abraham. “Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan, jika seperti ini terus Prince bisa di pindahkan masuk ke sekolah anak-anak khusus dan tertinggal dengan anak-anak normal lainnya. Sepertinya kita harus mengganti guru les untuk Prince.” Abraham segera menutup kembali dokumentnya, “Tidak perlu Mah. Tidak perlu terlalu serius dengan hal ini, kita harus lebih memikirkan psikolog anak dan pengasuh yang cocok untuk Prince. Prince masih anak-anak, dia sedang mau berkembang.” “Mamah paham Prince masih anak-anak, tapi jika di biarkan seperti ini, bagaimana dengan masa depan dia? Satu tahun terakhir ini kita sudah menggantinya lebih dari empat guru karena Prince membuat ulah. Mamah benar-benar tidak mengerti. Dulu, Leo tidak seperti ini.” “Jangan samakan Leo dan Prince, mereka jelas berbeda. Bersabarlah,” nasihat Abraham begitu tenang sangat berbeda jauh dengan Berta isterinya. “Nenek” Suara Prince terdengar memanggil dari kejauhan, Prince berlari membawa kotak pensil warna. Pembicaraan serius di antara Abraham dan Berta langsung selesai, begitu pula dengan ketegangan di bahu Berta yang kini mengendur karena Prince berada di sekitarnya. “Jangan berlari seperti itu! Nanti kamu jatuh,” kata Berta dengan sedikit teriakan, Prince yang berlari tersentak kaget dan langsung berjalan dengan normal. “Ada apa?” Tanya Berta begitu cucunya sudah berada di sampingnya. Prince berjinjit dan membuka kotak pensil warnanya di atas meja makan. “Mana warna merah muda?” tanya Prince. Dengan cepat Berta menunjuknya tanpa mempedulikan untuk apa cucunya bertanya warna itu. Kaki Prince berhenti menjinjit, Prince langsung teringat macaron yang pernah di makannya memiliki warna yang sama degan warna yang Berta tunjuk. “Besok aku mau membawa macaron dengan warna seperti ini.” “Rima akan menyiapkannya besok. Sekarang kamu pergilah ka kamar dan belajar.” “Baik, Nenek.” “Prince.” Suara familiar seorang pria terdengar memanggil namanya, Prince langsung berbalik dan melihat ke arah Pintu, Prince melihat kehadiran ayahnya yang sudah satu minggu ini berada di Berlin untuk keperluan bisnis. “Ayah,” sapa Prince dengan kaku, anak itu sedikit terkejut karena Leonardo pulang lebih cepat dari apa yang di jadwalkan. Leonardo melangkah lebar dan membuka tangannya hendak memeluk, namun Prince masih berdiri di tempatnya, kaki kecilnya ragu untuk mendekat dan menyambut kedatangan Leonardo. Leonardo yang melihat keraguan Prince memutuskan untuk semakin mendekat, dia memahami kecanggungan puteranya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Prince, hay jagoan,” sapa Leonardo dengan senyuman menawannya, pria itu segera membungkuk, meraih tubuh Prince untuk dia gendong dan di peluknya. “Hay,” balas Prince seraya memeluk leher Leonardo. “Bagaimana kabarmu?” “Baik.” “Ayah membawa hadiah untukmu.” Leonardo menunjuk beberapa kotak mainan yang di bawa Adam. Prince tersenyum samar menatap tumpukan mainan baru yang di bawa oleh Adam. “Terima kasih, Ayah.” Leonardo menegang kaget, sekilas pria itu melihat Berta dan Abraham dengan tatapan penuh tanya karena tidak seperti biasanya Prince mengucapkan terima kasih ketika di beri mainan. *** Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan berisi sebotol anggur dan gelas kosong, wanita itu meletakannya di meja dekat balkon dan segera menuangkannya, lalu memberikannya kepada Leonardo yang kini tengah berdiri bersandar pada pagar tengah melepas rasa lelah dan penatnya usai melewati perjalanan panjang. Sepasang mata berwarna biru milik Leonardo bergerak menatap tajam ke penjuru tempat. Hembusan angin menggerakan rambut halus Leonardo yang kini sedikit memanjang dari sebelumnya. Ekspresi di wajah Leonardo tidak berubah sejak dia berdiri di tempat itu beberapa menit yang lalu. Sangat di sayangkan, Leonardo menyia-nyiakan ketampanan di wajahnya karena pria itu minim ekspresi. “Bagaimana pekerjaan kamu?” Tanya Abraham selepas kepergian pelayan rumahnya. Leonardo menyesap anggurnya perlahan, pria itu segera menjawab, “Seperti biasa, sedikit melelahkan.” “Apa ada masalah?” “Masalah bisnis selalu sama, yaitu tantangan.” “Mengenai Prince, ibumu memberikan laporan jika pembelajaran Prince, dia tidak memiliki perkembangan sedikitpun, dan tiga hari yang lalu, pengasuhnya mengundurkan diri karena Prince sudah membuat keributan. Kamu harus mencari jalan keluarnya, jika di biarkan lebih lama mungkin akan menjadi masalah.” Leonardo tersenyum samar, “Satu-satunya yang menjadi masalah adalah ibu yang terlalu ikut campur dengan Prince.” Abraham langsung terdiam, dia tidak menyangkal perkataan Leonardo karena selama ini Berta selalu mengatur Prince secara berlebihan. “Leo” Abraham kembali angkat suara setelah beberapa menit diam. “Sebaiknya kamu liburan bersama Prince, sudah tiga tahun ini kamu tidak mengambil cuti sama sekali.” “Kami bisa liburan sambil bekerja saat dinas ke luar negeri.” Abraham menghela napasnya dengan berat, “Waktu untuk keluarga dan waktu untuk berbisnis itu berbeda Leo. Ini untuk kebaikan Prince, dia membutuhkan banyak waktu denganmu,” koreksi Abraham. Abraham tidak habis pikir dengan Leonardo sangat gila kerja, seluruh waktunya dia dedikasikan hanya untuk pekerjaan dan Prince. Abraham sangat bangga dengan sifat pekerja keras yang di miliki Leonardo. Kecerdasan Leonardo dalam mengelola perusahaan dan kepribadian yang bekerja keras selalu berhasil menguntungkan perusahaan, namun sayangnya di balik cemerlangnya karier Leonardo, ini sama sekali tidak terlalu menguntungkan kehidupan pribadi Leonardo. Leonardo sudah berusia tiga puluh lima tahun, bila sepanjang hidupnya Leonardo hanya memikirkan pekerjaan, ini akan menjadi masalah bagi keluarga besar Abraham karena Leonardo adalah putera tunggalnya. Tidak mungkin Leonardo selamanya sendiri dan tidak memiliki pasangan meski kini sudah ada calon penerus selanjutnya, yaitu Prince. Abraham berdeham tidak nyaman, sesekali dia melihat Leonardo dan menimang-nimang sesuatu yang ingin dia tanyakan. “Leo, tidakkah kamu sekarang sudah memikirkan seorang pasangan?” tanya Abraham dengan hat-hati. “Aku sudah memiliki pasangan, Ayah.” “Bukan wanita simpanan yang kamu bayar Leo. Wanita yang bisa kamu jadikan secara resmi.” Leonardo mengusap rambutnya ke belakang, pria itu tersenyum dengan tenang. “Aku belum menemukan wanita yang sesuai dengan standarku,” jawabnya terdengar congkak. Jawaban singkat Leonardo berhasil membuat Abraham bungkam, jika menyangkut standar puteranya, Abraham memilih untuk tidak ikut campur lagi dan hanya bisa bisa menantikan kapan Leonardo akan memperkenalkan wanita yang benar-benar bisa dia ajak serius. Abraham membuang napasnya dengan berat, pria paruh baya itu menepuk bahu puteranya beberapa kali. “Segeralah pulang sebelum Prince tertidur,” ucap Abraham sebelum memutuskan pergi ke dalam rumah meninggalkan Leonardo sendirian. Sebuah hembusan napas kasar terdengar dari mulut Leonardo, pria itu menengadahkan kepalanya, melihat langit malam ini yang terlihat gelap pekat tanpa bintang. Leonardo bersedap, perlahan dia memejamkan matanya hanya untuk menyingkirkan sisa-sisa rasa lelah yang masih dia rasakan di pundaknya. Kakinya yang panjang itu sedikit menyilang menopang berat tubuhnya, sementara punggung kokohnya bersandar pada pagar kaca di belakangnya. Keterdiaman Leonardo yang terlihat merenung di bawah gelapnya langit dan di antara cahaya-cahaya lampu taman membuat pria itu terlihat seperti lukisan yang berada dalam kanvas, indah untuk di pandang. Namun, ketika dia kembali membuka matanya lagi, Leonardo terlihat seperti langit yang cerah dan tinggi, begitu mustahil untuk bisa di gapai oleh sembarangan orang. Leonardo Abraham, dia adalah seorang pengusaha perbankan. Sejak beberapa tahun terakhir ini Leonardo meminpin perusahaan keluargnya untuk menggantikan posisi ayahnya yang pensiun. Leonardo terlahir sebagai putera tunggal, sejak kecil dia di didik dan di asuh dengan cara berbeda dan menjalani kehidupan yang berbeda dari anak-anak biasanya. Sejak kecil Leonardo hanya di ajarkan berbisnis dan mengelola keuangan karena dia memang di siapkan untuk menjadi peminpin. Karena didikan itu, karakter Leonardo yang mendominasi, tegas, ambisius dan juga cerdas terbentuk. Leonardo terlahir dari kalangan keluarga yang jauh dari kata biasa, pria itu sudah terbiasa dengan uang dan kemewahan sejak kecil. Kakek buyut Leonardo adalah seorang direktur bank, sementara nenek buyutnya adalah seorang manajer di kilang saham. Keduanya memulai bisnis pribadi mereka dengan membangun sebuah kantor keuangan sendiri dan membuka konsultasi keuangan di negara Prancis tepat ketika ekonomi dunia mulai pulih. Bisnis yang di mulai oleh kakek dan nenek buyut Leonardo di masa lalu berjalan naik turun dan kini berakhir dengan hasil yang bagus. Kini bisnis itu memiliki beberapa cabang, salah satunya di Indonesia yang kini di pimpin oleh Leonardo. Leonardo sempat memiliki bisnisnya sendiri yang di bangun di Prancis, namun pria itu tidak memiliki banyak pilihan dengan kariernya karena posisinya sebagai seorang anak tunggal apalagi Prince membutuhkan banyak perhatian untuk untuk perkembangannya. Prince, anak itu terlahir mengidap disklesia, kondisinya yang tidak begitu baik karena dia terlambat dalam belajar dan kesulitan berinteraksi dengan orang baru. Perbedaan special yang di miliki Prince akhir-akhir ini membuat hubungan Leonardo dan ibunya memburuk. Leonardo sangat tidak suka karena Berta terus mendorong Prince melakukan banyak hal, mempertemukan Prince dengan beberapa guru les dan juga psikolog anak secara beruntun. Berta mendidik Prince seperti Leonardo di masa lalu, dia menjadikan Prince seperti asset yang akan menjadi penerus perusahaan. Alih-alih membaik, apa yang di lakukan Berta memperburuk keadaan Prince. Karena hal itu, akhirnya Leonardo berusaha menjauhkan Berta dengan Prince meski terkadang harus dengan perdebatan dulu. Kebahagiaan dan kebebasan Prince adalah segalanya untuk Leonardo, dia tidak ingin puteranya seperti dirinya di masa lalu yang tidak sempat menikmati masa kanak-kanak dengan normal karena tekanan dan aturan Berta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD