Kecelakaan

1658 Words
Di sebuah jalanan cukup lengang, dan sepi. Terlihat seorang pemuda kira-kira berumur 16 tahun tengah berdebat dengan pria dewasa bernama Hans. Hans merupakan supir pribadi keluarga Kusuma Wijaya, sekaligus pelindung dari pria muda di hadapannya. Tidak bisa berbuat apa-apa, saat tuan mudanya meminta sesuatu padanya. Hans yang memiliki tubuh yang besar, dan kekar. Serta pakaian serba hitam, layaknya seorang bodyguard. Saat ini hanya bisa menatap pemuda di depannya, dengan tatapan sulit di artikan. Karena tuan mudanya terus saja berusaha keras merampas sebuah kunci dari tangan Hans, yang sengaja Hans sembunyikan di balik punggungnya. Hans tidak bisa berlaku kasar pada tuan mudanya, yang bisa ia lakukan hanya bisa menyembunyikan kunci itu di balik punggungnya. Akhirnya Hans berusaha menggenggam kunci itu kuat-kuat. Namun, tetap saja kunci itu bisa diraih oleh pemuda di depannya dengan mudah. Mengingat kecepatan tangan pemuda di depannya, sangatlah cepat. "Ayolah Paman Hans, berikan kunci itu padaku," pinta pemuda itu dengan berusaha meraih kunci di tangan kekar Hans. "Jangan, Tuan Muda. Kalau Anda menaiki mobil ini sendiri, saya takut sesuatu yang buruk bakal terjadi nanti," larang Hans, mencoba memberi pengertian pada tuan mudanya. "Aku yakin bisa mengendarainya, Paman. Bukankah selama ini Paman telah mengajariku, dan aku sudah merasa bisa. Makanya sore ini aku ingin mencobanya sendiri, tanpa Paman temani," sanggah pria muda itu, tetap bersikeras. Pemuda yang dipanggil tuan muda itu terus saja bersikeras meminta kunci, dan merasa yakin kalau dirinya pasti bisa mengendarai mobil itu sendiri. Tanpa di dampingi oleh Hans, seperti biasanya saat belajar mengendarai mobil. Arsen Kusuma Wijaya, yang biasa dipanggil Tuan Muda masih saja bersikeras, meskipun sudah Hans diperingatkan. Akhirnya Hans, mulai memikirkan cara apa agar tuan mudanya mau menuruti nasehatnya. 'Aku harus mencari kata yang tepat, agar Tuan Muda mau mengerti, dengan apa yang kukatakan. Aku ingin Tuan Muda mengurungkan niatnya mengendarai mobil itu sendirian. Meskipun aku yakin Tuan Muda sudah bisa melakukannya, tetap saja dia masih terlalu kecil menurutku,' monolog Hans dengan melamun. Hans terus saja melamun, lalu kunci dalam genggamannya mulai longgar. Saat ia tengah lengah dan melamun, ia tetap tidak akan memberikan kunci mobil itu dengan mudah pada tuan muda. Meskipun Hans tahu kalau mobil itu milik tuan mudanya sendiri, tapi saat ia yang bertanggung jawab atas keselamatan Arsen. Hal ini selalu tertanam dalam benak, serta pikirannya kalau tuan mudanya masih terlalu kecil dihadapannya. Menurut pemikiran Hans untuk tidak memberikan kunci itu dengan mudah, agar tuan mudanya berada dalam masalah. Jika sampai itu terjadi, maka akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri nanti. Selain Hans akan di pecat dari pekerjaannya, ia juga akan mendapatkan hukuman berat karena telah lalai dalam menjaga pewaris utama dari keluarga Wijaya. Karena tidak kunjung mendapatkan respon dari Hans, Arsen langsung meraih kunci dari tangan Hans yang saat ini tengah melamun. 'Yes! Ini kesempatanku, untuk mengambil kunci itu dari tangan Paman Hans,' batin tuan mada, detik berikutnya dengan gerakan cepat ia berlari lalu masuk ke dalam mobil, dan mengunci mobil dari dalam. Ketika Hans tersadar, kunci itu telah raib dari tangannya. Ia langsung melihat ke arah depan, begitu terkejut saat tuan mudanya sudah masuk ke dalam mobil. "Tuan Muda! Jangan mengendarai mobil sendirian, saya mohon keluarlah," mohon Hans, seraya mengetuk kaca jendela pintu mobil. Hans berusaha membuka pintu, tapi pintu itu telah terkunci. Tuan muda yang berada di dalam mobil langsung tersenyum, seraya melambaikan tangan ke arah Hans. Kemudian tuan muda itu mulai melajukan mobil, dengan sedikit kecepatan di atas rata-rata. Merasa jalanan cukup lengang, dan sepi tuan muda itu menambah kecepatan mobilnya. Ia merasa senang, begitu ia merasa dirinya bisa mengendarai mobil dengan sempurna seperti saat ini. 'Akhirnya aku bisa mengendarainya, ya, aku sudah bisa,' teriak tuan muda, dengan bahagianya. *** Saat tuan muda mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, dari arah berlawanan terlihat mobil berwarna merah tengah melaju dengan sedikit kecepatan. Pria yang mengemudikan mobil itu sekitar berumur sekitar 30-an, istrinya umur 28 tahun. Sedangkan putrinya kini berumur 12 tahun. Pria itu bernama Pak Amir Ahmad, istrinya Bu Rina Ahmad dan putrinya bernama Namira Larasati. Mereka bertiga baru saja pulang dari bertamasya ke pantai, sebagai hadiah ulang tahun sang putri yang sekarang genap berumur 12 tahun. Pak Amir dan Bu Rina, begitu bahagia ketika melihat sang putri dengan senyum bahagianya di dalam kaca spion seraya memegangi boneka panda yang menjadi hadiah ulang tahun tadi. "Lihatlah Bu, Namira terlihat begitu bahagia sekali. Ayah merasa tidak sia-sia izin cuti kerja hari ini, demi menghabiskan waktu bersamamu dan Namira. Apalagi Ayah bisa melihat senyuman lepas Namira, indah, bukan senyumannya," bahagia Pak Amir, ketika ia bisa sedikit membahagiakan kedua orang terkasihnya. Meskipun itu hanya sekadar jalan-jalan ke pantai. "Iya, Ayah benar. Baru kali ini Ibu melihat senyuman lepas dari bibir Namira. Semoga kehidupan Namira kelak akan selalu dilimpahi kebahagiaan oleh Allah, dan di jauhkan dari segala penderitaan," doa tulus Bu Rina. "Aamiin ...." Sambung Pak Amir, dengan doa yang sama baiknya seperti Bu Rina. Namira mulai merasa bosan bermain boneka sendiri sedari pantai tadi, kini ia telah menaruh boneka panda itu di sudut kursi. Kemudian ia sedikit maju, dan mencondongkan tubuhnya di tengah-tengah ayah-ibunya. "Bu, Namira sudah bosan bermain boneka sendiri," rajuk Namira, dengan wajah cemberutnya. Bu Rina seketika tersenyum simpul, mendengar kata polos putrinya. Lalu ia mengulurkan tangan kanannya, untuk membelai puncak kepala Namira penuh sayang. Pak Amir, yang berada di sebelah Bu Rina terus melihat interaksi antara anak dan ibunya. "Tapi, Namira senang 'kan bisa merayakan ulang tahun di pantai seperti tadi?" tanya Bu Rina penasaran, ia ingin mencari tahu isi hati putrinya ketika hari ulang tahunnya dirayakan. Mengingat selama ini, ulang tahun Namira tidak pernah dirayakan. Namun, sebagai orang tua Pak Amir dan Bu Rina tidak pernah berhenti mendoakan kebaikan dan kebahagiaan Namira. "Iya, Namira sangat senang sekali. Ini adalah kali pertama ulang tahun Namira dirayain. Jadi, Namira sangat senang." "Apalagi saat Namira dapat kado boneka ini dari Ayah sama Ibu, Namira sangat-sangat bahagia," polos Namira, dengan kata jujurnya. Bu Rina memberikan kecupan kecil di dahi sang putri, ia bersyukur memiliki putri cantik yang tidak banyak menuntut. Ketika anak seusia Namira meminta ini--itu sama kedua orang tuanya, Namira hanya menunggu saat ayah atau ibunya menawari sesuatu. Tapi, saat Namira tahu kalau kedua orangtuanya tidak memiliki cukup banyak uang. Maka yang bisa Namira lakukan hanya diam dan bilang tidak perlu. "Syukurlah ... Ibu bahagia, jika kamu senang dengan yang kami lakukan hari ini untukmu," syukur Bu Rina dengan mengecup puncak kepala putrinya. Merasa jalanan cukup sepi, Pak Amir terus saja mendengar dan sesekali melihat interaksi antara anak dan ibunya. "Maafkan Ayah sama Ibu, ya, Sayang. Kalau selama ini kami tidak bisa memberikan sesuatu seperti orang tua yang lain. Mengingat kondisi keuangan keluarga kita yang cukup belanja kebutuhan makanan, dan sisanya untuk tabungan masa depan kamu, Nak," sambung Pak Amir, dengan nada sedih. Namira yang mulai paham, dan mengerti ucapan orang dewasa. Merasa kalau kedua orang tuanya tidaklah bersalah, dan ia memahami betul situasi keluarganya yang memang pas-pasan. Mengingat Pak Amir sendiri yang harus banting tulang untuk menafkahi istri, anaknya dan juga Ibu Pak Amir, adik serta istri dari adik kandungnya. "Sssttt ... jangan katakan itu lagi, sudah cukup sering Ayah meminta maaf pada Namira. Apalagi saat Namira tertidur, Namira juga sering melihat Ayah menangis," adu Namira, karena ia tidak suka melihat ayah-ibunya menangis atau pun sedih. Karena tidak bisa membahagiakannya layaknya teman-teman seusianya. "Kamu memang gadis yang baik, Sayang, Ayah sayang kamu," gumam Pak Amir seraya menoleh ke kiri, lalu mengecup pipi putrinya penuh sayang. Pak Amir melupakan kalau saat ini ia tengah berada di jalan, dan masih mengendarai mobil. Hingga ia tidak melihat ke arah depan di mana ada tikungan, begitu ia menyadari ia langsung membanting setir ke arah kanan. Bertepatan saat itu ada mobil yang dikendarai tuan muda tengah melaju dengan sedikit kecepatan, sedangkan Pak Amir sudah tidak bisa mengendalikan laju mobilnya. Sore itu, dalam suasana langit mendung telah terjadi sebuah kecelakaan besar antara mobil tuan muda dan mobil yang dikendarai Pak Amir. "Ayah, awas!" teriak Namira mengingatkan, begitu ia melihat tikungan di depan. Seketika itu Pak Amir membanting setir ke arah kanan. Bu Rina langsung meraih putrinya, dan mendekap erat dalam pangkuannya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu. 'Semoga Engkau selamatkan kami dari segala marah bahaya, Ya Allah,' doa Bu Rina dalam hatinya. "Hati-hati, Ayah!" sambung Bu Rina, dan langsung menarik Namira ke dalam pangkuannya. Sesaat sebelum kecelakaan, lantunan doa dari Pak Amir serta Bu Rina panjatkan agar mereka diselamatkan dari mara bahaya. Sedangkan Namira yang mulai merasa takut, seraya memeluk tubuh sang ibu dengan pelukan eratnya. "Tidak apa-apa, Sayang, jangan takut," gumam Bu Rina di atas puncak kepala Namira berusaha menenangkan putrinya. Namun, harapan itu sirna saat mobil Pak Amir menghantam mobil tuan muda dari arah berlawanan. Brakk! Suara hantaman mobil itu cukup keras, hingga terdengar dari kejauhan. Hans yang berada di dalam taksi, saat itu mengikuti mobil tuan mudanya sudah merasakan firasat buruk. 'Suara apa, itu?' batin Hans seraya mencari sumber suara. Merasa hanya halusinasi saja, Hans pun menanyakan pada sang supir apakah mendengar suara keras tadi. "Apa Bapak mendengar suara keras tadi, seperti suara kecelakaan?" tanya Hans, dengan sedikit mendekat ke arah kursi kemudi. Supir taksi, yang kebetulan berada dekat dari lokasi kejadian kecelakaan. Tentu saja mendengar suara keras itu, dan ia pun menjadi penasaran. Apakah benar ada kecelakaan sedang terjadi. "Iya, saya mendengarnya. Semoga saja itu bukan kecelakaan, seperti yang kita pikirkan Tuan," jawab sang supir, seraya fokus mengendarai mobil. Tidak lama terlihat sebuah kecelakaan di depannya, dengan posisi mobil tidak berjauhan. Hans yang melihat itu langsung mengetahui salah satu mobil di depannya, dan itu mobil tuan mudanya. 'Tidak mungkin! Itu bukan mobil Tuan Muda, tidak mungkin,' monolog Hans, dan meminta supir taksi menghentikan mobilnya. "Pak! Berhenti, Pak!" teriak Hans, tidak lama ia langsung membuka pintu dan langsung turun. Sebelum itu, Hans tidak lupa membayar ongkos taksi. Hans mulai mendekat ke arah dua mobil habis bertabrakan itu, dan mencari tahu apakah di dalam mobil yang ia kenali ada tuan mudanya. Degh! Benar saja, ada tuan muda di dalam mobil itu. Terlihat kepala tuan mudanya banyak mengeluarkan darah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD