Kenapa Gak Mas Aja?

1358 Words
"Kenapa, Om, kok kaget banget kayaknya?" tanyaku yang keheranan melihatnya terus tersedak-sedak begitu. Aku gak merasa bicara hal yang gak masuk akal. Aku berdiri lalu duduk di kursi sampingnya, tanganku mengusap-usap bahu suamiku perlahan. "Kalau Om vasektomi, aku kan gak mungkin punya anak, Om. Seperti papa aku contohnya. Papa vasektomi karena mama terus keguguran tiap hamil adik-adikku, dan setelah papa vasektomi, Mama gak hamil. Jadi, Om aja yang vasektomi," kataku mencari jalan keluar. Angkat rahim? Hiii, aku gak maulah. Pertama, aku takut jarum suntik. Jarum suntik aja takut apalagi sampai operasi angkat rahim perut dibelek. Kedua, angkat rahim itu artinya menghilangkan ciptaan Allah dan aku pasti akan jadi mandul. Dan yang ketiga, belum tentu aku dan Om Angga jodoh sampai maut memisahkan. Memiliki suami ganteng dan tajir melintir sepertinya, aku sungguh was-was. Aku takut nanti seperti kisah bibi yang terlihat saling mencintai dengan suaminya tapi berakhir perceraian. Tangan Om Angga menuding dadanya sendiri. "Kamu menyuruhku vasektomi, Din? Aku ... vasektomi?" tanyanya terlihat tak percaya. Ia menggeser piringnya menjauh lalu mencelupkan tangannya ke kobokan setelah itu mengelap tangannya dengan tisu. Sepertinya, ia sudah tak berselera makan. Kebalikannya dengannya, aku justru mencubit daging ayam lalu memasukkannya ke mulut, sungguh rasanya enak sekali. Daging ayamnya terasa lembut dengan rempah-rempah yang terasa. "Iya." Aku menganggukkan kepala. Lagi-lagi menyuap. Om Angga kembali menuding dadanya sendiri dengan tatapan tak percaya seolah ucapanku hal yang ngawur. "Apanya yang salah dari ucapanku, Om? Kan sama aja intinya. Seandainya aku angkat rahim, atau Om vasektomi, intinya sama, kita gak akan punya anak. Karena aku hanya melakukannya dengan Om," kataku memberinya penjelasan. "Mana mungkin aku vasektomi, Din. Jika aku vasektomi ... begini, katanya, jika lelaki vasektomi, maka keinginannya untuk membahagiakan istri di tempat tidur akan berkurang. Temanku yang pernah vasektomi yang memberitahuku," jelasnya. Lalu ia menghela napas. "Emangnya, angkat rahim gak ada dampaknya, Om? Pasti ada juga." Berkata begitu, aku berdiri. Aku masuk ke kamar lalu kembali lagi duduk di samping suamiku dengan membawa HP. "Angkat rahim juga pasti ada dampaknya. Sebentar aku lihat google dulu," kataku sambil menyentuh benda yang kupegang hingga layarnya menyala terang. Aku mengetik di pencarian, Dampak Angkat Rahim. Banyak sekali artikel bermunculan dan aku menekan satu setelah itu, aku membacanya lalu menghadapkannya pada suamiku. "Sama saja. Vasektomi membuat keinginan di ranjang menurun, begitu pun angkat rahim, Om. Jadi, aku gak mau angkat rahim," putusku. Dia menarik napas panjang. "Dinda, jangan jadi istri durhaka," katanya. "Om baca sendiri kan dampaknya? Aku takut, Om. Kalau Om benar-benar gak ingin punya anak lagi, Om kan bisa pakai kond0m." Dia menarik napas. "Banyak yang kejadian, sudah pakai pengaman tapi istrinya tetap hamil." "Ya mungkin bocor," kataku yang membuatnya langsung tertawa kecil. "Nah, itulah. Sangat mengerikan bukan jika aku pakai pengaman dan ternyata pengamannya bocor? Nanti bisa-bisa, kamu hamil, Din-daaa," ucapnya dengan suara ditekan. "Ya hamil gak papa kan aku punya suami," balasku. Sepertinya ia takut sekali aku memiliki anak padahal kami kan sudah menikah, sah secara hukum juga agama. Kedua tangannya terangkat lalu masing-masing mendarat di pundakku, ia menatapku lekat. "Biar kujelaskan lagi siapa tahu kamu belum paham ucapanku semalam. Begini, Dinda. Aku tidak ingin punya anak lagi. Dua anak itu sangat merepotkan apalagi tiga. Jadi, aku tidak mau punya anak." "Sekarang, Om bilang begitu. Tapi siapa yang akan tahu jika 5 tahun lagi Om berubah pikiran?" Tatapku. Dia menggeleng tegas. "Tidak, aku tidak akan berubah pikiran," katanya dengan wajah sungguh-sungguh, begitu meyakinkan. "Tapi aku gak mau angkat rahim, Om. Tapi, aku bisa KB suntik atau KB lainnya. Pokoknya, aku gak mau angkat rahim." "Dinda," katanya. Dia menghela napas tampak mencoba sabar. "Banyak orang yang KB dan dia kebobolan. Seperti bundaku contohnya. Sebenarnya Bunda hanya ingin dua anak saja makanya KB suntik, tapi apa? Bunda kebobolan makanya Bunda akhirnya punya 3 anak." "Kan gak semua orang yang KB pasti kebobolan." Aku terus bersikukuh gak mau angkat rahim. Lalu lanjutku saat ia hendak kembali berkata, "Kalau Om benar-benar udah gak ingin punya anak lagi ya seperti yang aku bilang tadi, Om vasektomi saja." Dia menggeleng dengan wajah bergidik. "Tidak, Dinda. Tidak. Sudah kujelaskan kan, tadi, jika aku vasektomi maka dampaknya ...." "Sayangnya, itu akan terjadi padaku jika aku angkat rahim!" Balasku dengan jengkel. Ia tidak mau vasektomi, tapi terus ngotot ingin aku angkat rahim. Itu artinya ingin menang sendiri kan, ya? "Jangan jadi istri durhaka, Din. Dulu kan kamu yang ngejar-ngejar aku. Jadi kalau kamu benar-benar mencintaiku, maka turuti kata-kataku, Din. Aku adalah suamimu." Dia memang suamiku, tapi aku bukan perempuan bodoh yang akan langsung menuruti perkataannya sekalipun aku sangat mencintainya. Aku tetap menggunakan logika. Bibi kujadikan contoh, terlihat saling mencintai dengan suaminya tapi akhirnya bubar. Aku tak berharap hubunganku dan Om Angga akan begitu, tapi kan aku jaga-jaga. Karena takdir, maut, itu rahasia Allah. Manusia kan hanya menjalani saja. Kedepannya kita gak tahu apa yang akan terjadi. "Dinda, kamu tahu aku mencintaimu, kan? Tapi secinta-cintanya aku pada istriku, kalau kamu tidak menuruti apa kataku, maaf saja aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Sana menikah dengan orang lain saja." Aku ternganga tak percaya. DAAR!! Bagai disambar petir di siang bolong rasanya. Apa maksudnya barusan, menyuruhku menikah dengan orang lain? Aku benar-benar syok kaget sekaget-kagetnya. Aku memang sangat-sangat mencintainya. Tapi kalau sebelum menikah ia mengatakan tak ingin memiliki anak dari pernikahan kami, aku pasti akan pikirkan 100 ribu kali untuk menikah dengannya. Walau cinta, aku tetap berpikir logis. Tak masalah dia duda tiga kali, tak masalah ia memiliki dua anak, tak masalah ia dipandang jelek oleh Papa mama, aku tetap menerima dia apa adanya. Tapi mengiyakan permintaannya untuk angkat rahim ... aku menggeleng tegas, tidak sudi. Bodoh sekali jika aku mau. "Ingat kamu sudah janji akan menjadi istri yang baik dan penurut, kamu juga berjanji akan fokus pada anak-anak, Din. Kalau kamu tidak mau angkat rahim, aku lepas tangan. Silakan cari lelaki lain saja yang mau memiliki anak. Aku hanya ingin memiliki istri yang penurut. Kalau kamu masih mau menjadi istriku, maka angkat rahim. Kalau tidak mau lagi menjadi istriku yang penurut, silakan pergi. Banyak perempuan yang mau denganku. Kamu tahu sendiri aku tidak jelek, kan?" Ucapannya bagai ribuan anak panah yang terus menerjang dadaku tiada ampun, sakit pedih perih rasanya tak berkesudahan. Aku yang tadinya begitu bahagia karena perhatian kecilnya, kini menangis tersedu-sedu mendengar ucapannya yang sangat menyakitkan. Sangat sangat menyakitkan. "Jadi, kamu mau angkat rahim atau tidak?" "Gak!" Aku menjawab tegas diiringi isakan. Tangan Mas Angga bergerak mempersilakan. Sambil terisak, aku beranjak berdiri, lalu setengah berlari masuk ke dalam kamar. Ia menyusulku. "Kamu mau apa ke kamar?" tanyanya keheranan. Oh iya, ya? Kenapa aku ke kamar bukannya lari keluar? Tidak ada pakaian atau benda yang kubawa dari rumah ke rumah ini. Semua baju cewek yang ada di sini, semua dipersiapkan oleh Mas Angga yang tentu saja menggunakan uangnya. "Lupa!" jawabku jutek, lalu dengan hati pedih dan hancur berkeping-keping aku keluar kamar. Setelah malam pertama yang indah bagai dunia milik berdua, maka inilah yang terjadi. Biarlah aku hancur saat ini, tapi aku gak mau tambah hancur dengan angkat rahim yang akan menjadikanku perempuan rusak yang tidak akan bisa memiliki keturunan. Orang selagi bisa, maka dia harus memiliki keturunan. Aku berlari cepat ke jalanan. Langit yang begitu pucat menurunkan rinai-rinai kecil. Aku mengetik pesan Mama jemput aku, Ma. Ma jemput aku, aku nyesel nikah dengan Om Angga Aku membaca ulang kalimat yang keketik lalu menepuk jidat. Bodohnyaaa. Mama pasti akan tertawa jika membaca pesanku karena aku dulu begitu ngeyel padanya. Dengan cepat, aku menghapusnya. Malulah pada Mama juga pada Papa jika aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Pasti mereka akan mengejekku. Lebih baik, aku naik angkot saja, bilang saja kangen pada mereka jadi ingin main. Tapi, aku gak memiliki uang untuk naik angkot, maka aku kembali ke rumah. Om Angga yang kulihat tengah termenung di kursi, langsung menatapku antusias saat melihatku mendekat ke arahnya. "Kamu pasti berubah pikiran kan, Sayang?" tanyanya dengan senyum terkembang. "Aku gak berubah pikiran, kok. Aku mau pulang ke rumah Mama tapi aku gak punya uang. Pinjam uang 10 ribu, besok uangnya aku ganti." Dia ternganga tak percaya. Aku nyengir. Kan gak mungkin aku ke Simpang Kampus ke rumah mama dengan jalan kaki. #Coba tebak, bakalan dikasih uang gak yaaa sama Om Angga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD