Mengenal memang bukan suatu perkara sulit namun kebersamaan ini belumlah menemukan arti pasti dari masa yang terlewati saat di mana ia tahu jika pemahaman balita Ella terbatas, namun James sudah memastikan seberat apapun usahanya ini akan menjadi sebuah perjanjian diri dan Darius. Menjaga Ella adalah bagian yang penuh tantangan karena artinya James akan melibatkan segala urusan hidup gadis kecil itu ke dalam masalah baru yang sangat besar.
Hari keempat Ella bersamanya kali ini James berhasil membujuk, tapi bukan itu saja yang dilakukan pria berdarah Amerika-Mesir itu untuk mengawasi Ella lebih dalam lagi karena James sudah menugaskan beberapa anak buah untuk terus berada di dekat Ella radius 10 meter. Itu bukan ide bagus tetapi James tidak akan mungkin menjaga sedekat itu karena pasti menimbulkan banyak pemahaman lain, bahkan ia juga tidak sanggup menghadapi tatapan wanita di kampus Ella.
Sudah hampir 2 jam lamanya James berada di dekat alat canggih yang baru beroperasi 30 menit lalu, ia tidak terlalu mahir dalam memainkan teknologi bahkan menggunakan ponsel dalam perangkat modern saja baru-baru ini ia bisa melakukannya. Hidup berpuluh-puluh tahun dengan segala ilmu yang ada pada dirinya memang cukup mempersulit keadaan, tapi ini sudah menjadi pilihan karena James akan merubah segalanya dan ia akan menjalani kehidupan saat ini demi berada di samping Ella.
“Sudah siap bos.”
Suara itu membuka peluang bagi pikiran James untuk tetap tahu bagaimana sisi tidak dapat dijangkau penglihatan kini ia bisa tahu jika ada gerakan membahayakan, bukan tidak mempercayai akan keadaan keluarganya yang terus mengintai hanya saja James ingin Ella tidak terlibat di dalamnya.
“Ya, aku ingin kau mengawasi sepanjang waktu. Kau dan tim mu ini akan mendapat masalah jika lengah sedikit saja!” tutur James tidak main-main jika mengenai Ella.
“Siap bos!”
Sebuah kesanggupan akan dipertaruhkan, karena James tahu bagaimana kekuatan itu akan dibentuk dan ia sudah berkomitmen agar tidak menggunakan ilmu bela diri khas negeri sakura itu ada di sini. James benar-benar ingin menjadi pria pada umumnya dan jauh dari segala ancaman.
Sekiranya semua bisa diandalkan James pun berlalu dari ruang khusus IT, ia merasakan lelah hari ini karena jujur saja kegiatan menjadi pribadi seorang pria dengan segala bisnis yang sudah diberikan padanya menguras pikiran. Tidak sulit memang karena selama 3 tahun ini James sudah belajar banyak hal dan itu tidak sulit mengingat waktu 20 Tahun lalu ia masih hidup di lingkungan orang-orang pada umumnya.
“Bagaimana hari ini Tuan Samurai?”
James sama sekali tidak terkejut karena ia sudah tahu jika Alessa berada di belakangnya. “Apanya yang bagaimana? Sudah berapa kali aku katakan kau tidak boleh menyebutku dengan sebutan seperti itu di sini.”
“Mengapa tidak? Ella pun hanya akan tahu mungkin itu sebuah julukan saja, kau jangan cemaskan itu James karena… Jika saja Ella mendengar percakapan kita ini, aku bisa membuat ingatannya hilang. Hm… Maksudku, dia bisa melupakan memori yang baru saja terjadi.” Penjelasan itu keluar dari mulut yang tengah menghisap rokok, Alessa terlihat sangat santai.
“Tidak,” James menyudutkan tubuh Alessa ke dinding. “Jangan lakukan apapun kepadanya, kau jangan macam-macam Alessa!”
“Ah, ayolah James kau ini. Jangan terlalu serius, kau sudah belajar menjadi manusia ‘kan?” Goda Alessa seperti biasa, ia mengepulkan asap rokok tepat ke wajah James.
Bercanda bukan satu solusi saat ia memikirkan bagaimana ke depannya menjadi seseorang yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap Ella, karena sehari bersamanya saja James sudah dua kali mencelakai. “Aku… Cuma ragu dengan kemampuanku ini, mungkin kah aku bisa menjaganya? Bahkan dari diriku saja dia masih terluka.”
“Apa yang sudah kau lakukan lagi hah?” Alessa tahu ini kembali terulang.
“Pergelangan tangannya terkilir karena aku hampir memutarnya.” Ah, James merasa ini tindakan paling bodoh dalam hidupnya.
Alessa kembali membuat ruangan dipenuhi asap rokok tapi kemudian ia membuang puntung itu ke dalam asbak “Kau hanya perlu membiasakan diri bersamanya James, kau lupakan semua yang mengganggumu saat ini! Jangan samakan Indonesia dengan negara di mana kau dibesarkan, itu akan sia-sia kau menjadi James yang sekarang!”
“Dia akan datang, aku tahu itu!” James menatap wajah Alessa lekat-lekat. “Mengambil apa yang menjadi kelemahan ku, aku yakin!”
“Hei,” Alessa menangkap wajah James dengan kedua tangan, mengunci tatapan mereka menjadi satu. “Prasangka hanya akan menghancurkan pikiranmu, kau harus yakin dengan janjimu kepada Darius. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali… Kau.”
Sebenarnya memang keyakinan sudah lama timbul dalam dirinya sejak James melihat gadis itu tumbuh dewasa, tapi tidak juga membuatnya tenang ketika teringat akan sebuah organisasi yang akan tetap mengintai dan menuntutnya kembali pulang. Allighiero. Salah satu perusahaan di mana mereka memiliki komplotan paling kuat dan berbahaya, geng yang paling membawa pengaruh di Italia berada di bawah kekuasaan adik tiri James. Charles Emanuele Allighiero.
“Begitu juga denganku yang tidak punya siapa-siapa kecuali, adikku.” James menjelaskan meski ini tidak cukup benar.
“Sudahlah James, kita lupakan itu dan memang kau sudah berhasil melewatinya selama 3 tahun ini ‘kan? Kau dan Darius merupakan sahabat yang akan terus ada, meski aku tidak mengenalnya tapi aku percaya dia pria yang sangat hebat dan itu terlihat dari usahamu.”
“Darius pria yang tanggung jawab, dia rela melakukan apapun demi kebahagiaan Delia dan Ella dulu.” James masih ingat betul saat-saat ia membantu Darius mendapatkan pekerjaan.
Apa yang ditanam itulah yang akan menuai segala resiko, James tidak ingin berlama-lama dalam keraguan hanya karena ia memahami menjaga Ella merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Ia pun memaksakan diri untuk tenang dan kembali pada tujuan awal menjadi orang tua bagi Ella.
“Sudah saatnya.” Alessa meneliti arlojinya, ia berusaha menghafal keadaan dan kegiatannya.
“Saatnya untuk apa?” James tidak mengerti.
“Hari ini Ella pulang lebih cepat, dan dia mengatakan akan ada kegiatan les pribadi. Aku akan menjemputnya.”
Langkah Alessa baru saja akan menjauh tetapi James sudah mencegahnya dengan mencengkram lengannya, ia pun hanya memahami melalui sorot mata itu. “Kau masih tidak percaya denganku?”
“Tentu saja aku tidak mudah percaya dengan orang sepertimu, tapi… Aku tahu kau bukan seseorang yang akan berkhianat.” Tandas James sambil membebaskan lagi Alessa.
“Aku mempertaruhkan nyawaku untukmu James, kau sudah berkorban banyak untukku dan ini saatnya…,”
Alessa tidak menyelesaikan semua ucapannya dan pergi begitu saja. Sementara itu, James berharap Ella tidak akan mengalami hal buruk karena tindakannya yang ceroboh dalam menjaga kekuatannya.
[...]
Menunggu memang bukan kegiatan mudah karena Ella sudah berada di halte selama 30 menit dan kelas musik akan dimulai 5 menit lagi, ia merasa kesal karena bis sekolah belum juga datang terutama Alessa yang berjanji akan menjemput tidak terlihat hingga saat ini. “Ih, kenapa sih kelasnya harus outdoor? Kan aku jadi telat, nggak sempat belajar dulu ‘kan jadinya!”
Belum lama ia bergumam dan merasa kesal, Ella mendapati mobil sport berwarna merah darah berhenti tidak jauh dan di sana Alessa melambaikan tangan. Ella pun merasa tidak enak jika mengacuhkan sikap itu, ia terpaksa membalas meksi kesal.
“Hai, maaf terlambat. Jadi berangkat sekarang ‘kan?” tanya Alessa sambil menutupi wajah dengan telapak tangan, bermaksud menghalangi sinar panas matahari mengenai kulit wajah.
Ella pun langsung berlari ke arah mobil. “Ayo, aku sudah terlambat.”
Menit sudah terlalu adil hingga Alessa pun mengikuti apa kemauan itu, ia kembali menghidupkan mesin mobil sambil melihat peta ke mana arah yang harus dituju karena ini tugas pertama ia bekerja. Ya, menjadi pribadi yang baru tidak mudah tapi Alessa yakin semuanya akan berjalan dengan baik demi melupakan kisah hidupnya yang pelik.
Sepanjang mobil itu melaju ke arah jalan yang tidak terlalu padat Ella memilih diam karena rasa sakit di pergelangan tangan masih sangat terasa, 2 hari terakhir ia harus berjuang melakukan kegiatan dibatasi oleh memar. Bahkan rasa kesal masih saja timbul dalam diri Ella mengenai James.
“Apa aku nanti menunggumu selesai les?” tanya Alessa tiba-tiba.
Ella pun terkejut dan kembali mengendalikan sikap. “Um, aku akan ke rumah teman. Nanti aku bisa pesan taksi saja.”
“Tidak bisa Ella, kau harus minta izin dari James!” Saran Alessa justru seperti tuntutan.
“Kenapa aku harus meminta izin darinya? Dia bukan siapa-siapa aku ‘kan?” Ella menegaskan rasa tidak suka.
“Hei, dia itu ayahmu!”
Telinga Ella seakan-akan mendapat suara dahsyat. “Apa? Dia ayahku? James ayahku?”
Sial yang berujung dengan kesalahan dan Alessa mendadak menekan pedal rem. “Ah, bukan-bukan. Itu… b******k! Maksudku James sudah menjadi orang tua angkat mu bukan, lagipula kau tahu siapa James kenapa harus terkejut begitu dengan ucapanku yang salah?”
“Tidak, aku tidak akan pernah menerima dia sebagai orang tuaku sampai kapanpun!” Ella menolak keras apa yang ia alami saat ini.
“Lalu kau maunya bagaimana huh? Kau ingin jadi istrinya?” Alessa pun asal menanyakan hal itu.
Arti itu sudah kedua kalinya ia dengar, Ella seperti merasa aneh sekaligus ini membuat jantungnya kembali berdebar-debar. “Tidak! Dia datang secara tiba-tiba, dan aku sama sekali tidak pernah mengenalnya.”
“Kau, masih belum yakin dia itu Paman James mu?”
Ella bimbang karena dari sorot mata hazel itu ia dapat mengenal dengan baik sikap dan perhatian yang dulu tertuju pada sosok James, meski samar-samar terlupakan dalam ingatan. “Aku tidak tahu, kan aku masih sangat kecil saat itu.”
Jawaban itu terus terang saja membuat Alessa merasa lucu, mengenal dan berbaur dengan orang-orang baru ternyata sangat mengasyikkan. “Di dalam perasaanmu bagaimana?”
“Perasaan apa? Kenapa kau tanya begitu?” Ella ingin tahu alasan Alessa membuat pertanyaan itu.
“Ah lupakan! Ini, kau jadi ke tempat les ‘kan?”
“Hei, aku terlambat. Ayo cepatlah, bawa aku ke taman!” Ella baru saja melupakan waktu, hanya karena membicarakan James ia kini melewatkan sebagian pikirannya yang fokus.
Jarak yang ditempuh tidak terlalu menguras waktu sehingga Ella datang tepat saat kelas akan dimulai, tempat yang tersedia sempat akan digantikan namun itu hanya rencana karena Ella segera berlari sambil berteriak kepada guru les piano. Ia terengah-engah saat duduk di depan sebuah alat musik favoritnya.
Selama les berlangsung Ella hanya memainkan beberapa irama pada tuts untuk memberikan nada dasar pada piano sebagai contoh kepada anak-anak baru, ia sempat merasa bosan karena yang diharapkan adalah sebuah pengalaman baru dari guru les yang sudah berpengalaman, juga Ella sempat merasa senang karena terpilih sebagai murid yang berkompeten tahun ini.
“Ella, kamu kenapa diem aja Nak?”
Lamunan Ella terjaring oleh suara itu, ia pun sempat menekan tuts dan menimbulkan kegaduhan sementara. “Ah iya, ada apa Bu? Maaf, aku… Tadi nggak denger Ibu bilang apa.”
“Ibu nggak bilang apa-apa kok, cuma tanya kok tumben kamu anteng gitu? Biasanya kan kalau ada kelas outdoor begini kamu paling semangat.”
“Aku semangat kok Bu, nih buktinya aku udah siap dengan nada yang kemarin Ibu kasih ke aku.” jawab Ella berusaha melupakan lamunan tentang apapun.
“Ya udah, coba Ella kamu beri irama yang kemarin sempat Ibu kasih! Nanti kita dengar sama-sama ya!” Saran guru les itu terlihat semakin semangat.
Tuts pada pola birama yang terlalu merdu di telinga menjadi perilaku Ella sampai akhirnya harus berhenti begitu saja karena ia menemukan James duduk santai tidak jauh dari kelas berlangsung, Ella pun melupakan ketukan nada berikutnya dan suara itu menjadi kacau. Ella segera meminta maaf dan terus mencuri pandangan ke arah James, ia melihat pergelangan tangan mulai pulih tapi melihat pria itu merasa bersalah Ella pun menjatuhkan tangannya di bawah dashboard.
“Ella?”
Sontak Ella terperanjat saat guru les memberi teguran dan membuat beberapa anak menertawakannya. “Maaf, aku… Salah.”
Dari jarak sejauh 20 meter Ella tak dapat berpikir mengenai materi hari ini, apalagi membawakan nada dalam irama yang menurutnya sangat mudah. Tempat James berdiri memang sudah menyia-nyiakan pikiran mengenai semua yang dialami tetapi kemudian Ella mengabaikan dan tetap mengikuti apa permintaan dari guru les.
Termasuk rasa kagum singgah dalam diri James karena ia tahu bakat itu sudah lama tumbuh sejak Ella berusia 4 tahun, di mana dirinya telah pergi jauh berada di negeri tirai bambu demi mengemban sebuah amanat juga tugas dari ayahnya, Samuel Heatrix Allighiero.
“Paman selalu dukung kamu Ella,” James sesekali melambaikan tangan meski Ella tidak menanggapi semua perilakunya. “Sampai kamu benar-benar menjadi orang yang bisa membuat kedua orang tuamu di sana bangga, terutama… Aku.”