MAHKOTA ESYALLA - 2.3

2690 Words
     Semua yang bersangkutan tentang wajah mungil itu memang ia tidak akan pernah main-main, raut yang dulu menjadi semangat James saat belajar mencari pekerjaan bersama Darius kini sudah tumbuh menjadi gadis begitu cantik dan ia rasa sosok Ella kecil masih sama-sama menggemaskan, dari sikap juga pertanyaan yang terkadang membuat James gila karena sulit menemukan pertanyaan. Saat ini pun ia tengah dibuat bingung karena sikap itu kembali murung, enggan menjawab sapaan ketika James mengetuk pintu bermaksud ingin bertanya warna yang gaun yang pas untuk pesta nanti malam.      “Paman nggak boleh masuk ya?” sudah berulang kali James berusaha membuka panel itu tapi terkunci. meski ia dapat mendengar suara di dalam kamar entah Ella sedang sibuk melakukan apa.      “Cuma mau ganggu sebentar aja kok Ella sayang, Paman cuma mau tanya sesuatu buat nanti malam.” James terus membujuk, ia berusaha memahami sifat gadisnya.      Baru saja ucapan itu selesai beberapa detik pintu terbuka sedikit, tapi rupanya Ella tetap tidak ingin menunjukkan wajahnya. James hanya tersenyum kecil karena tingkah manja Ella. “Ok, jadi… Paman udah pesan ke salah satu desainer di sini, tapi… Warna nya Paman mau kamu yang milih sendiri.”      “Mana bisa pesan sekarang nanti malam jadi,” Ella hanya menampakkan separuh wajahnya di balik pintu. “Paman pikir orang-orang di sini penyihir?”      “Ada salah satu model gaun yang Paman suka, sepertinya sangat pas buat kamu pakai tapi Paman lihat lumayan longgar dan warnanya… Ada beberapa di butik itu, dan… Hanya tinggal pilih warna juga perlu menyesuaikan lekuk tubuh kamu aja sayang. Mau ‘kan?” tanya James entah tidak dapat menemukan penjelasan yang tepat.      Ella membuka pintu kamar lebih lebar lagi. “Paman jadi buat pesta ulang tahunku ya?”      James berharap saat ini ia tidak menemukan kemarahan Ella lagi. “Jadi dong, kamu mau ‘kan?”      Tampak wajah itu sangat lucu ketika mendongak menatap tak tentu arah karena terlihat memikirkan sesuatu, James menanti jawaban ‘ya’ meski itu tidak menutup kemungkinan Ella menolak karena sifat yang masih tidak bisa menerima semua ini. “Gimana? Mau ‘kan? Kalau iya, sekarang kita pergi ke butik!”      Kepastian bukan yang ingin didengar terutama mengenai pesta yang sudah melewati hari istimewa, Ella masih saja memikirkan tentang kemesraan James dan Alessa seminggu yang lalu. “Hari ulang tahunku sudah lewat Paman, tidak perlu repot-repot!”      Pintu hampir tertutup namun James berhasil menahannya dengan satu kaki. “Boleh Paman tanya sesuatu?”      “Bukannya Paman dari tadi udah banyak tanya ya?” jawab Ella sinis.      “Apa kau membenciku?”      Bahasa itu merubah segala yang tengah terjaga dalam pikirannya, Ella menatap warna indah kedua mata itu bahkan ia mampu menemukan maniknya yang tegas dan itu membuat ragu jika tetap diam. “Ya, aku benci Paman. Karena waktu aku harus kehilangan fakta yang ada, kebohongan dan keberadaan Paman. Kenapa kita harus ketemu lagi? Keadaan dan… Orang tuaku?”      Tak ada bahasa apapun lagi yang mampu James berikan, ia meraih jemari lentik itu kemudian ia mengusap puncak kepala Ella, hanya senyuman saja yang mampu terurai lalu James menundukkan kepala sampai akhirnya ia mengubah posisi dengan perasaan lelah juga ingin bertahan karena sebuah kesalahan.      Langkah itu pelan menunjukkan James tidak sanggup mengutarakan isi hatinya yang kacau, tapi ia berhenti saat Ella meraih tangannya dan seketika James menatap wajah tersenyum sangat cantik ke arahnya.      “Tapi Paman nggak akan pergi lagi ‘kan?”      Bukan sekadar harapan semata, terutama mendengar ungkapan itu tentu James sangat bahagia. Ia langsung memeluk dan mengecup kening Ella, semua itu belum terbayar tapi janji kepada sahabatnya dulu akan sanggup dipenuhi dengan mempertaruhkan semuanya termasuk nyawanya.      “Kali ini Paman bukan cuma janji,” James memainkan ujung rambut panjang Ella. “Tapi Paman selalu ada buat kamu Rabbit.”      Ella mencakup tubuh besar tidak setara dengannya, meski kedua tangannya sulit tapi ia sanggup memeluk James sambil bermanja di d**a terasa keras dan hangat tapi sekali lagi Ella merasa kesulitan saat akan bernapas, terpaksa ia mencubit pinggang James meski itu tidak memberikan pengaruh karena perlakuan itu semakin menjadi bahkan James kini menggendongnya.      Tawa keduanya saling mengisi situasi di mana mereka sangat merindukan momen ini, bahkan James yang sudah menghapus beberapa memori dalam otak Ella mengenai Darius dan Delia. Tak jarang James ingin menghukum dirinya sendiri karena berbuat hal yang telah merenggut hak-hak Ella kecil. [...]      Tak ada yang mampu membatasi rasa senang dan senyuman itu ketika mendapat sebuah hadiah-hadiah, James bahkan ingin terus melihat lekukan pipi itu karena Ella terus menimang sebuah kado. “Sekarang kita ke mana? Pasti lapar ‘kan?”      Ella masih saja sesekali mengintip sebuah boneka kelinci dan aksesorisnya. “Um… Ke mana aja yang penting sama Paman.”      James tertawa lirih seperti mendengar suara manja Ella kecil. “Tapi Paman nggak bisa tentukan tempat yang bagus sayang, ini… Karena peta nya mati. Sinyalnya bikin pusing.”      “Gimana kalau nonton? Ada film bagus loh.” seru Ella memberikan ide.      “Non...ton? Nonton apa maksud kamu?” James berpikir keras untuk memahami tapi tidak lama ia pun sadar akan maksud itu. “Ah ya, paham. Boleh, ini belok ke mana?”      Suara tertawa Ella terdengar puas dan semakin keras saat ia merasa James menunjukkan sikap lucu, terutama saat ia mendengar bahasa dengan logat tidak sesuai. “Enggak usah belok! Lurus aja terus nanti ada bioskop lagi, Paman bisa lihat nanti mungkin sekitar 100 meter sebelah kiri jalan.”      James mengiyakan saran itu, ia tidak peduli jika Ella terus memberikan ejekan karena keterbatasan memahami lokasi di Indonesia terutama bahasanya. Tidak lama mobil berada di arena batas parkir dan lobi menuju pintu masuk, tanpa menanti lebih lama lagi James memutar arah roda empat untuk berada di area yang diarahkan oleh salah satu petugas. Kemudian ia membantu Ella melepas sabuk pengaman tapi entah Ella mencegahnya.      “Paman, aku bisa sendiri kok. Lagian aku kan bukan anak kecil yang apa-apa serba dibantu.” Sungguh aroma tubuh itu mengganggu pikiran, Ella tidak terbiasa dengan laki-laki dengan jarak sedekat ini.      “Bukan anggap kamu seperti anak kecil sayang,” James berhasil melerai sabuk pengaman dari pinggang Ella. “Karena memang kamu sangat berharga buat Paman.”      Ella mengatur napas ketika wajah James mendekat bahkan begitu dekat karena ujung hidung mereka hampir saling menyatu, degup jantungnya semakin cepat berurusan dengan wajah sangat tampan itu hampir berada.      “Nih, pakai jepitan rambutnya! Kan dulu kamu suka sekali pakai jepitan rambut atau kuncir dua kanan dan kiri, terlihat lucu seperti kelinci.” ungkap James memakaikan jepitan rambut yang ia pesan khusus untuk Ella.      Hampir saja d**a Ella meledak karena sikap James. “Kok Paman punya jepitan rambut sih?”      James hampir tersedak oleh ludahnya sendiri karena Ella memberikan pertanyaan yang sangat lucu, ia pun tiba-tiba tertawa sulit untuk memberi jeda. “Ya ampun, kenapa kamu selalu bikin Paman tertawa? Iya, kan Paman pesan buat kamu. Bukan Paman yang pakai.”      Jujur saja Ella masih terbayang akan kejadian beberapa detik lalu. “Oh, aku pikir itu punya pacar Paman.”      “Apa? Pacar?” James memperjelas ucapan Ella.      Ella mengangguk dengan polos karena tidak sadar mengajukan tanya sekaligus ingin tahu kepastian mengenai Alessa dan James, tapi Ella sama sekali tidak menemukan apapun kecuali James mulai membuka pintu dan berjalan memutar arah membukakan pintu untuknya. Ella pun semakin diberi pendapat membingungkan karena selama ini sikap James sangat manis padanya.      “Paman nggak punya pacar,”      Sontak Ella menjatuhkan kado di pangkuan karena lamunannya hilang saat suara James mengejutkan, ia pun menyanggupi uluran tangan James saat ia akan turun dari mobil. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan ke arah loket bioskop. Satu tujuan memang menuruti permintaan Ella tapi setelah tahu sebuah genre saat itu tidak sesuai James mendadak malas, tapi melihat semangat Ella ia tidak tega menghancurkan.      Dua tiket sudah berada di tangan namun James sangat malas karena tatapan para wanita di bibir pintu, bahkan sepanjang koridor itu James menundukkan kepala hingga ia hampir menabrak sebuah banner iklan jika saja Ella tidak menghalanginya.      “Paman kenapa?” Ella mendongak untuk melihat lebih jelas wajah James.      “Eh, enggak apa-apa sayang. Ayo masuk!” James berjalan sambil mengemas tubuh itu di punggung bermaksud tidak akan membiarkan pasang mata para pria lebih jeli melihat Ella.      Sangat nyaman bahkan Ella dapat merasakan punggung lebar dengan tinggi yang menurutnya lebih dari 2 meter itu sangat hangat, ia merasa aneh atas perlakuan James hingga ia menemukan tempat duduk. Meski Ella ingat ada bagian yang terlupakan, camilan. Tapi ia tidak memikirkan itu lagi karena sibuk dengan perasaannya, Ella duduk tepat di sebelah sepasang kekasih dan ia kemudian menoleh James yang ternyata juga menatapnya, mereka hanya saling menukar senyuman mencari kenyamanan saat film akan segera diputar.      Menit pertama intro James sudah menahan rasa malas tapi ia tahu jika Ella menikmati adegan romantis di sana, bukan menutup kemungkinan James akan mengakhiri segera tetapi ia bertahan demi membuat Ella senang, tak lama hawa redup ruangan itu membuat matanya terasa berat dan James hanya sibuk meneliti ponsel kemudian jam di tangannya. Sial, suara yang menekan pendengaran itu menghalangi semangat namun melihat wajah yang tampak serius dengan acara di depannya James mulai memejamkan mata.      Dalam menit ke 60 Ella dapat menjelaskan pada dirinya sendiri akan acara itu, kemudian ia terkagum-kagum dan bermaksud membaginya bersama James tapi pria itu hanya diam. Ella sadar jika James tengah tertidur, tapi saat akan berusaha mengganggu ia teringat jika James bisa melukainya saat terkejut.      Tak lama di menit ke 30 film sudah dinyatakan selesai, Ella menatap orang-orang yang mulai keluar tapi ia ragu jika membangunkan James. Karena sudah berulang kali ia memanggil namun tak ada reaksi apapun, sampai akhirnya James membuka mata dan seketika menatapnya.      “Sudah selesai?” tanya James menyingkirkan helai rambut menutupi wajah Ella.      “Udah dari tadi selesai,” Ella melihat layar lebar sudah menampilkan beberapa iklan karena pemutaran sesi selanjutnya akan segera dimulai. “Paman tidur ya?”      “Enggak, Paman denger kamu manggil. Cuma… Biar kamu tonton sampai habis dulu, kenapa? Bagus tidak?”      “Bagus,” Ella bangkit dan mengulurkan tangan sebagai kode agar James bangun dari tempat duduk. “Bangku akan segera diisi oleh penonton lain, buruan Paman!”      James meraih jemari lentik itu untuk kembali mereka berjalan saling bergandengan, namun di tengah-tengah para penonton lain ia berusaha memeluk Ella karena lorong menuju pintu keluar penuh sesak. Sempat James menyapa wajah yang tersenyum ke arahnya, dan ini artinya mereka sudah kembali akrab. [...]      Malam semakin menunjukkan arti yang sulit dipahami bahkan kenangan itu terpatri sangat lama, tak ingin kehilangan dan kali ini James harus yakin jika ini akan terus terjalin dan baik-baik saja.      Di depan pintu, James menunggu Ella keluar dari kamar. Ia tidak sabar melihat gadisnya yang sudah dewasa itu mengenakan gaun hadiah pertama darinya secara nyata, James pun menatap sebuah benda kenang-kenangan milik Darius yang seharusnya sudah ia berikan kepada Ella 3 Tahun lalu.      “Kau tahu, dia begitu cantik. Bahkan lebih cantik ketika aku melihat foto juga video-videonya waktu kecil hingga remaja,” James mengusap bagian angka melekat pada arloji terukir nama ‘Hans’. “Aku pasti bisa membuat putrimu bahagia Darius, kau jangan cemas dan tenanglah di sana.”      “Maafkan aku.” Imbuh James mengecup jam tangan sahabatnya, juga James melekatkan ke d**a menyimpan jantung milik Darius di tubuhnya.      Saat hampir James berkata pada dirinya sendiri, pintu terbuka dan ia segera menyusupkan benda itu ke dalam kantong jas, James bersikap biasa seolah semua ini baik.      Mungkin bukan terpana, lebih tepatnya kedua mata James tengah disuguhkan sesuatu yang indah saat melihat Ella dengan gaun krem terdapat manik-manik mengelilingi lekukan tubuh. James bangga karena gadisnya kini tumbuh sangat cantik.      “Paman udah lama nunggu ya?” tanya Ella dengan memasang senyuman.      “Sekitar 10 menit,” James menawarkan lengan nya sebagai tempat Ella berpegangan. “Sudah siap sayangku?”      Masih saja Ella tidak percaya tengah mengenakan gaun pesta mewah, bahkan membayangkan saja belum sempat. "Sudah, memangnya kita mau ke mana?"      “Hm… Nanti juga tahu.”      “Paman jangan bikin aku penasaran!” Ella berjalan pelan karena hak tinggi yang ia pakai.      Tak ada jawaban dan James hanya menyimpan sebuah kejutan itu sampai nanti beberapa menit lagi, ia membawa manusia bak peri itu turun hingga ke halaman tepat di mana mobilnya di parkiran. [...]      Hotel bintang lima di tengah pusat kota menjadi pilihan James untuk memeriahkan acara pesta ke-20 Ella, meski sudah berlalu baginya itu lebih baik daripada sama sekali ini terabaikan. Khusus lantai 15 sudah menjadi tempat semalam James memberikan kesenangan untuk Ella, bukan hanya hadiah piano dengan kualitas dan harga fantastis tetapi sebuah kertas berwarna coklat.      “Apa ini Paman?” tanya Ella penasaran, ia terus melihat ke arah Lisa dan Gadis karena mereka terus memberinya semangat untuk membuka kado dari James.      “Kamu bakal tau kalau sudah buka!” jawab James mematuhi saran Alessa agar tetap menjaga kejutan tersebut.      “Ok, aku buka.”      Bentuk tipis itu berjumlah 2 lembar tertera nama universitas besar di New York, Ella gemetar membaca satu persatu kalimat tertata rapi terdapat stempel sah jika ia bisa melanjutkan kuliah S2 jurusan seni musik. “Ini… Untuk aku?”      Salah satu maksud agar Ella bisa menemui makam Darius dan Delia kini tertata rapi dan James ingin terus berada di samping gadisnya. “Di sana… Tertera nama Esyalla Nastusya Hans, yang artinya itu kamu sayang.”      Titik kecil air mata jatuh begitu saja pada rona pipi Ella, ia diam tanpa bisa berkata-kata lagi. Pelukan James pun justru membuatnya menangis karena ini bukan suatu mimpi, jika pun benar ia ingin terus berada di mimpi malam ini.      “Jangan menangis atau menolak lagi ya! Kamu pantas buat dapatkan itu Ella.” Ya, James sudah membolak-balikkan kehidupan gadisnya. Dulu, ia memang membuat sebuah kesederhanaan mengenai Ella karena ia tidak ingin ada seorang pun tahu siapa Ella dan keluarga Darius baginya.      Hidup mengenai belasan tahun memang tidaklah mudah, James harus tetap memantau Ella kecil dulu dari jarak ribuan mil hanya dibantu anak buah kepercayaannya. Tapi kali ini bukan suatu yang harus bertahan akan keadaan lain, James ingin Ella mendapatkan segalanya yang dimiliki termasuk kasih sayang darinya.      Kemeriahan pesta terus merujuk pada rasa senang Ella, bukan mengenai teman-teman baru dari kalangan kelas atas tetapi ia juga berhasil membuat teman satu kampusnya terpukau. Meski Ella memahami keadaan sangat aneh karena James datang di saat yang tidak pernah diduga, terutama Ella menyiapkan mental jika ada berita buruk mengenai ini semua.      Dari jarak 10 meter James malas melepas tatapan ke arah lain kecuali dari gadis yang dulu sering merengek menjelang tidur, ia masih saja mengingat masa lalunya bersama Darius. “Terima kasih kau sudah memberikan hidup ini untukku, tanpamu aku… Hanya laki-laki lemah sok jagoan. Maaf, aku belum memenuhi janjiku.”      Alessa menyapa melalui sebuah belaian di punggung sahabatnya, ia tidak pernah ingin James mengingat hal yang memang sudah sepantasnya untuk dikenang. “Itu bukan kesalahan James, Darius merupakan takdir untukmu. Dan kau, masa depan bagi dirimu sendiri dan Ella.”      James menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, lalu ia merangkul Alessa. “Hei dengar! Aku ini bukan menangis sedih, aku… Hanya merasa bangga dengannya. Kau, tidak memiliki sahabat seperti yang aku miliki bukan?”      Merasa ucapan itu hanya memberikan sebuah ejekan, Alessa melepaskan tangan James dari pundak lalu memukul lengan keras itu. “Aku punya kau yang rela mati untukku bukan?”      James kembali merangkul Alessa hingga membuat jeratan di leher dan tidak memberi kesempatan Alessa untuk bebas. “Terima kasih kau sudah mendukungku Alessa,”      Sekali lagi Alessa melawan sambil ia tidak dapat menahan tawa karena James selalu saja menggodanya. Keakraban itu terlihat dari jauh dan Ella kembali memiliki banyak pertanyaan mengenai Alessa bagi James, tapi kemudian ia menganggap ini tidaklah penting karena sebuah pertemanan malas mengenal basa-basi.      Pesta berjalan sesuai dengan yang telah dirancang, Ella merasa puas dan ini merupakan pesta paling mewah dalam sejarah hidupnya juga hal paling memilukan karena ia harus melupakan sosok orang tua yang hanya disewa James untuk merawatnya. Pada pembatas balkon itu Ella memandang gedung-gedung tinggi berjejer disertai cahaya kecil di langit itu Ella berdoa untuk ayah dan ibu kandungnya. Berusaha tegar merupakan jalannya saat ini, bahkan berusaha mengingat tentang memori kedua orang tua kandung merupakan perjuangan keras Ella meski terlalu sulit dan menyiksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD