Bab 2

1059 Words
Aku terbangun tepat ketika suara azan Subuh berkumandang. Bergegas aku menunaikan salat, setelah itu menuju dapur. Aku segera mengambil sayuran dan bumbu dapur yang telah kusiangi semalam. Pagi ini aku akan memasak sayur bening bayam dan bakwan jagung. Untuk siang nanti, aku telah menyiapkan ayam ungkep yang bisa digoreng Mbak Narti. Mbak Narti lah yang selama ini mengasuh Satria dan Elok selama aku bekerja. Tentu saja yang menggaji Mbak Narti adalah Pram. Karena dengan gajiku yang tak seberapa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur aku dan kedua anakku. Seperti biasanya, sebelum berangkat bekerja, aku sudah menyiapkan sarapan untuk Satria dan Elok. Aku juga telah merapikan rumah, mencuci pakaian dan menjemurnya. Meski hal itu kerap dikeluhkan oleh Mbak Narti, karena menurut wanita bertubuh mungil itu, semua yang aku kerjakan adalah tugasnya. Akan tetapi aku tak menggubris keluhan Mbak Narti, karena aku tidak ingin Mbak Narti terbebani dengan pekerjaan rumah. Yang terpenting bagiku adalah, Mbak Narti menjaga dan merawat Satria dan Elok dengan baik selama aku bekerja. Sembari mencuci pakaian, aku kembali ke kamar untuk membangunkan Satria dan Elok. Keduanya segera bangun begitu aku bangunkan. Setelah mandi dan berpakaian, aku menuntun mereka menuju meja makan minimalis yang hanya ada tersedia empat kursi. “Ayo, berdoa dulu sebelum makan,” ucapku pada Satria dan Elok. Kedua buah hatiku segera mengikuti apa yang aku perintahkan. Si Sulung Satria mulai menyantap makan paginya begitu selesai berdoa. Elok pun demikian, meski sesekali masih kubantu untuk menyendok atau memotong-motong lauk miliknya. Kami bertiga menikmati makan pagi dengan tenang sembari diselingi obrolan ringan seputar liburan Satria dan Elok akhir pekan kemarin. Menurut cerita Satria, mereka menginap di sebuah hotel tepi pantai di Bali. Baik Satria dan Elok begitu antusias menceritakan liburannya kemarin dengan ayah dan mama sambungnya, serta adik mereka yang baru berumur dua bulan. “Kalian senang bisa naik pesawat?” tanyaku pada kedua buah hatiku. “Senang, Ma. Kapan-kapan kita jalan-jalan bareng ya, Ma. Naik pesawat, naik kapal laut. Seru sekali, deh.” “Tentu. Tapi Mama harus nabung dulu kalau mau jalan-jalan naik pesawat karena biayanya mahal, Sayang,” ujarku memberi pengertian. “Nanti kita nabung sama-sama ya, supaya cepat kekumpul uangnya.” “Nanti biar Elok minta ke Papa saja, Ma, uangnya,” ucap puteri bungsuku. Aku tersenyum getir mendengar kalimat yang meluncur dari bibir mungil Elok. Dia jelas belum mengerti betul dengan apa yang terjadi antara papa mamanya. Yang ia tahu, hanya papanya hanya pindah rumah karena harus menjaga adek bayi yang tak lain adalah bayi hasil perselingkuhan Pram dengan Ayu. Niatku untuk menjawab kalimat Elok kuurungkan begitu mendengar suara Mbak Narti mengucapkan salam. Dengan senyum cerahnya seperti biasa, perempuan berkulit sawo matang itu memasuki rumah menghampiri kami. “Yah, Mbak telat. Padahal Mbak bawakan gado-gado untuk Kak Satria dan Kakak Elo dan Ibu. Tapi sepertinya sudah sarapan semua ya?” Mbak Narti menunjukkan kantong plastik yang ditentengnya dengan raut kecewa. “Sudah, Mbak, Mama yang masak.” Satria menjawab. “Nanti biar saya bawa saja ke tempat kerja, Mbak,” kataku pada Mbak Narti. Meski rasanya mungkin sudah tak enak sekarang, akan tetap kumakan agar aku bisa berhemat. “Tapi kalau untuk siang pasti rasanya sudah nggak enak, Bu.” “Nggak apa-apa, yang penting masih bisa dimakan.” Tanganku terulur ke hadapan Mbak Narti. “Mana sini, Mbak.” “Ibu benar mau bawa gado-gadonya ke tempat kerja?” tanya Mbak Narti masih tak percaya. Ragu-ragu ia memberikan bungkusan gado-gado tersebut padaku. “Kamu mau bawa gado-gado ke tempat kerja, Lin?” Tiba-tiba saja Pram sudah berada di ruang makan. Entah kapan pria itu memasuki rumah ini, hingga ia bisa tahu apa yang aku dan Mbak Narti bicarakan. “Iya,” jawabku singkat memandangnya sekilas. Aku kemudian berdiri dan meraih bungkusan gado-gado dari genggaman Mbak Narti. “Mbak Narti tolong siapkan keperluan sekolah anak-anak ya. Saya juga mau siap-siap,” kataku pada Mbak Narti. “Baik, Bu,” jawab Mbak Narti yang lantas bergegas menuju lantai dua untuk mengambil keperluan sekolah Satria dan Elok. “Ayo, Kak Satria dan Kak Elok ke mobil dulu. Mulai hari ini, Papa yang akan antar kalian sekolah,” ucap Pram pada kedua buah hati kami. “Apa maksud kamu?” tanyaku marah sekaligus terkejut. Sejak kami berpisah tiga bulan lalu, aku yang kerap mengantar Satria dan Elok ke sekolah karena Pram terlalu sibuk dengan keluarga barunya. Sementara itu, Mbak Narti yang bertanggungjawab menjemput Satria dan Elok. “Kakak tunggu di mobil dulu ya. Papa mau bicara dulu dengan Mama,” pinta Pram pada kedua buah hati kami. Dengan patuh Satria dan Elok berlari-lari kecil menuju teras yang lantas disusul oleh Mbak Narti yang membawakan keperluan sekolah keduanya. Kini hanya ada aku dan Pram yang berada di ruang makan. Posisi kami berhadapan dan saling melempar tatapan sengit. Aku tentu saja marah, karena Pram mengambil keputusan sepihak tanpa mendiskusikannya lebih dulu padaku. “Mulai sekarang, aku yang akan mengantar jemput Satria dan Elok,” ucap Pram mengulang perkataannya. “Kenapa tiba-tiba begini? Bukannya waktu itu kamu pernah bilang kalau kamu kerepotan kalau harus mengantar mereka ke sekolah?” “Karena aku nggak ingin mereka malu dengan penampilan ibunya yang seperti ini.” Pram menghunusku dengan tatapan meledek. Telingaku panas dan dadaku bergemuruh hebat. Marah sekali aku mendengar nada sindiran dari mantan suamiku ini. Pram, sialan! “Aku kan sudah bilang kalau aku akan menerima uang itu kalau Ayu sendiri yang memberikannya padaku, Pram,” kataku pelan. Sekuat tenaga kucoba menekan emosiku, karena tidak ingin anak-anak mendengar pertengkaran kami. “Kenapa harus bawa-bawa Ayu? Dia tidak ada urusannya dengan hal ini.” “Jelas ada, Pram. Dia istrimu sekarang,” kataku penuh tekanan. Geram. “Tunggu, dengarkan aku dulu.” Kuacungkun jari telunjukk ke arahnya, ketika kulihat bibirnya yang hendak berbicara. “Jangan ulang kebodohanmu untuk kedua kalinya, Pram, dengan memberikan uangmu pada orang lain secara diam-diam tanpa sepengetahuan istrimu.” “Aku pernah di posisi Ayu, jadi aku sangat tahu bagaimana sakitnya ketika suamiku memberikan uangnya pada perempuan lain secara diam-diam. Bagimu mungkin ini tidak masalah, tapi bagi kami para perempuan itu adalah masalah besar. Karena itu sama halnya kamu tidak menganggap keberadaan kami sebagai istri.” “Perlu kamu tahu juga. Aku bahkan sudah membicarakan hal ini dengan Ayu jauh-jauh hari,” ucap Pram dengan seringai kecil di sudut bibir. “Lintang, Lintang, kamu pikir kamu sepenting apa sampai aku harus membohongi istriku?” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD