Bab 5 Domino yang Jatuh 2

1241 Words
"Puang Aji, tidak masuk saja dulu?" tanya Sasha sekedar basa-basi dalam dialek yang sama. "Lain kali saja, nak! Masih banyak kerjaan di dapur. Makan saja itu kapurung." Puang Aji tersenyum puas, melambaikan tangan kepada Sasha lalu berbalik menuju rumahnya yang ada di dekat jalan masuk lorong, berjarak sembilan rumah dari tempat tinggal Sasha. Sasha membalas lambaian Puang Aji dengan muka berseri-seri, perutnya memang sedang lapar gara-gara insiden pagi tadi, terlalu lelah dengan emosi yang terbuang. Matanya bahkan sudah terasa bengkak dan lengket. Syukur saja penglihatan Puang Aji tidak begitu bagus sehingga tidak usah mendengar pertanyaan-pertanyaan yang bakal sulit dijawabnya. "Wuih! Kapurung! Asyik!" Sasha terkekeh sendirian. Setelah menutup pagar, dia berlari masuk ke rumah sambil bersenandung kecil. Kapurung membuatnya lupa segala sesuatu, tubuhnya bagaikan disuntik adrenalin seketika itu juga. Kapurung adalah makanan khas Sulawesi Selatan, utamanya di daerah Luwu. Ayah mereka mewarisi garis keturunan Luwu sehingga Kapurung merupakan makanan yang sering menjadi primadona di keluarga mereka, dan kakaknya Riri, sangat mencintai kapurung sama seperti ayah mereka. Puang Aji bukanlah nama asli perempuan paruh baya itu. Nama aslinya adalah Hajjah Badriah Abdullah. Puang adalah gelar bangsawan tinggi bagi orang bugis pada zaman dahulu, panggilan ini ditujukan untuk para raja. Namun, seiring bergantinya zaman, penggunaan 'Puang' kini tidak begitu khusus lagi seperti di era kerajaan tempo dulu. Bagi sebagian orang Bone, menggunakan kata Puang di era modern ini lebih ditujukan pada orang yang dihormati atau dihargai, terlepas dia memiliki garis keturunan raja ataupun tidak. Penggunaannya saat ini lebih kepada bentuk penghormatan tertinggi yang bisa diberikan oleh seseorang kepada orang lainnya. Hajjah Badriah Abdullah merupakan murni orang Bugis Bone, sedang Sasha meski dia terlahir di Bone, ibunya kelahiran Bugis-Jawa. Dia dibesarkan sebagai seorang gadis bugis Bone sehingga itulah kenapa dia memanggil perempuan paruh baya tersebut dengan gelar Puang, sedangkan Aji berasal dari gelar Hajjah yang tersemat pada namanya yang mengalami perubahan. Panggilan 'Puang Aji' ini sudah menjadi hal umum bagi kalangan orang bugis kepada orang tua atau yang dihormati, baik yang memiliki gelar Hajjah ataupun Haji sebagai bentuk rasa hormat mereka. Di dapur, Sasha menyiapkan semangkuk besar kapurung untuk dirinya. Dari kotak bersekat yang lebih tipis: ada sambal tumis, racca mangga (sambal cacah dari buah mangga), beberapa potong jeruk nipis, dan beberapa potong ikan bakar. Air liurnya mulai menetes. Sasha meramu semua bahan-bahan yang ada di dalam kotak bersekat itu ke dalam mangkuk kapurungnya. "Maknyos, beibeh!" kekeh Sasha girang. Jatah Riri diamankan di kulkas, kakaknya pasti senang bukan kepalang mendapat kapurung gratis. Dia tersenyum lebar, kemudian senyum itu memudar. Pikirannya kembali pada insiden drama memalukan mereka tadi pagi. Sasha membanting kulkas dengan perasaan kacau balau, kemudian naik ke lantai dua dengan nampan berisi semangkuk kapurung dan sebotol air dingin. Setelah menaruh nampan di atas meja di ruang santai, TV dinyalakan dan dia mulai mengecek laptop untuk memeriksa email balasan dari penerbit yang dihubunginya kemarin. (suara pria pembawa berita di TV) ".... saksi mata mengatakan bahwa bus tersebut melaju melawan arus dengan kecepatan tinggi. Setelah terdengar seorang perempuan berteriak meminta tolong dari jendela bus, tiba-tiba sang pengemudi membanting stir dan memasuki area SPBU. Bus menghantam salah satu mesin pengisi hingga meledak bersama-sama dan membuat 'chain reaction' hingga penampungan bahan bakar ikut meledak. Semua penumpang bus di dalamnya ikut terbakar dalam insiden tersebut. Sejauh ini jumlah korban masih belum diketahui dan detik ini api masih berkobar. Para warga tidak bisa berbuat banyak, takut jika masih akan ada ledakan susulan. Sepuluh unit pemadam kebakaran telah diterjunkan guna menangani kebakaran tersebut sejak satu jam lalu. Hingga kini proses penanganan masih berlangsung. Kami akan menghubungi salah satu reporter kami yang telah berada di lokasi. Ya, Ayu Sriatna! Bagaimana keadaan di sana sekarang?" "Ya, Ikhsan Bimasakti!" balas sang reporter wanita, rambutnya panjang sebahu dengan wajah paras alami. Dia memakai seragam hitam lengan pendek dengan make up natural. Latar di belakangnya menampakkan puluhan orang yang tengah berdiri menonton kebakaran hebat dari seberang jalan. "Insiden yang terjadi pukul 10.56 WIB ini mengundang kecemasan di benak warga sekitar. Bagaimana tidak? Kepulan asap menjulang tinggi disertai jilatan api silih berganti di udara berangin menjadi pemandangan horor warga di sini. Terlebih lagi kawasan ini adalah kawasan padat penduduk. Saat ini pihak pemadam kebakaran menyemprotkan bahan kimia khusus pada beberapa titik api yang sudah menyebrang ke bagian mini market pom bensin. Penggunaan bahan kimia khusus ini membuat api lebih cepat padam, mengingat kecepatan angin saat ini cukup kencang dan penampung bahan bakar ikut dilalap api. Ditakutkan api tersebut akan merambat pada bangunan lain di sekitarnya. Masyarakat dihimbau agar memutar rute perjalanan mereka. Dan selanjutnya, pihak kepolisian...." Reporter itu tampak terdiam sejenak, mendengar sesuatu di earphone-nya. "Ya, pemirsa! Dari kobaran api dan asap yang mengepul seseorang dengan ajaibnya berhasil keluar dari bus..." Ayu kembali mendengar sesuatu di earphone, keningnya bertaut, "korban yang tidak diketahui identitasnya itu, berjalan ke arah seorang petugas pemadam kebakaran dengan api masih melahap tubuhnya. Pihak pemadam kebakaran segera menolong korban dengan menyemprotkan air—!" Lagi-lagi sang reporter terdiam, dia terlihat berusaha mencerna apa yang didengarnya via earphone. Kemudian terlihat sibuk berkomunikasi dengan kameramen dengan gerakan isyarat wajah dan gerakan bibir tanpa suara. "Yang mengejutkan, pemirsa! Sang korban menyerang salah satu petugas dengan menggigit pundak sebelah kirinya hingga menyebabkan luka serius. Dua petugas lainnya berusaha menghentikan aksi gila yang dilakukan sang penyerang tersebut, dikarenakan suhu tubuh korban masih panas, maka salah satu petugas menembakkan air dari selang hingga tubuh si penyerang terpental cukup jauh." Reporter lapangan itu kini sangat terkejut dengan ucapannya sendiri. "Ayu Sriatna! Apa yang sebenarnya terjadi? Bisa diceritakan bagaimana korban berhasil keluar dari bus tersebut?" Ikhsan Bimasakti, sang pembawa berita, mencondongkan diri ke depan meja studio, sebelah kening terangkat. "Ya, Ikhsan! Meski sang korban alias sang penyerang menderita luka bakar serius di sekujur tubuh, tapi sang penyerang sepertinya menggila dengan mencabik sebagian tubuh petugas pemadam kebakaran itu menggunakan giginya. Sejauh ini masih belum jelas kenapa sampai hal itu terjadi!" Pemandangan dari atas drone menampilkan fokus para petugas kebakaran terbagi dua: sekumpulan besar sibuk berusaha memadamkan api, dan kelompok kecil sibuk bergumul dengan sosok hitam yang berusaha menerjang siapa pun dalam jangkauannya. "Apakah... apakah maksudnya seperti zombie, Ayu Sriatna?" tanya Ikhsan Bimasakti memperjelas situasi. Wajahnya terlihat geli dengan ucapannya sendiri. "Ya, Ikhsan Bimasakti! Penyerang alias korban kebakaran tersebut seperti orang yang tengah kesurupan dan mulai mengganti serangannya kepada siapapun yang berada dalam jangkauan." Reporter tersebut mengerling ke kanan, terkejut—seorang anggota lapangan lain yang berdiri di depan mobil tugas tidak jauh darinya memberi instruksi untuk tetap 'ON'. Ayu tampak enggan dengan isyarat gelengan kepala dan kening bertaut. "Bagaimana dengan korban petugas kebakaran tersebut, Ayu? Apakah sudah mendapat pertolongan? Atau apa, Ayu?" "Eh? Ya!" Ayu Sriatna berusaha kembali terlihat fokus di depan kamera. Air mukanya mulai terlihat pucat. "Beberapa warga yang ada di sekitar lokasi ikut memberikan pertolongan dengan memberikan tumpangan. Korban yang dikonfirmasi bernama Budiawan, kini dilarikan ke rumah sakit terdekat. Menurut warga yang menolongnya, pria tersebut kehilangan banyak darah. Ya. Ikhsan," ujarnya agak bingung, memeriksa earphone-nya lagi. "Lalu, bagaimana dengan penyerang tersebut? Apakah sudah bisa ditenangkan, Ayu?" Sebelum Ayu Sriatna membalas pertanyaan itu, seorang pria berlari panik ke arahnya, menabrak bahu kanannya hingga terjatuh. Suara panik dan teriakan terdengar di mana-mana. "Ayu! Ayu Sriatna! Anda baik-baik saja?" Ikhsan Bimasakti tanpa sadar berteriak. "Ah! Bahuku...." erangnya kesakitan. "Lari! Lari!" Pria yang menabraknya tadi kembali pada Ayu dan memberikan aba-aba untuk lari ke arahnya. Ayu tampak kebingungan. Sang kameramen terlihat membantunya berdiri di layar. "Kamu tidak apa-apa?" tanya pria kameramen itu. "Iya, bahuku sakit. Itu saja." "Lari! Kenapa masih di sini! Lari!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD