Bab 9 Akhir dari Dunia?

1570 Words
Sasha memicingkan mata, kerumunan yang ada di jalanan, pada barisan paling akhir menjulurkan tangan mereka ke udara, dan terlihat beberapa di antaranya berlumuran oleh sesuatu berwarna merah. Darah? Apa ada kejadian luar biasa yang sedang terjadi? Dimana polisinya? Sasha berusaha mengendalikan diri, mencari-cari seseorang yang bisa diajak bicara. Seketika juga menduga bahwa Puang Aji tewas karena ulah salah satu pendemo anarkis itu, pantas saja tidak ada yang berani keluar rumah! Mereka menjadi bringas! Mobil-mobil yang berderetan begitu padat membuatnya kesusahan menuju jalanan beraspal. "Bagaimana ini? Kalau begitu... Sorry, yang punya mobil!" Sasha memanjat kap sebuah mobil sedan hitam dan mendarat mulus di jalan beraspal. Matanya memeriksa sekitar, dan tidak jauh dari kantor perusahaan listrik, seseorang berdiri memunggunginya. "Permisi! Permisi, Pak!" teriak Sasha, berjalan menghampiri sesosok pria dengan jaket hitam. Dilihat dari penampilannya, sepertinya adalah seorang pengendara bentor alias becak motor. Teriakan Sasha yang cukup keras di kesunyian itu, membuat para kerumunan yang perhatiannya fokus ke rumah makan, kini beralih padanya. Bulu tengkuk Sasha berdiri. Suara erangan perlahan terdengar jelas dari arah belakang, makin lama makin besar dan sangat mengganggu. Perempuan berpakaian piyama itu berbalik perlahan. Entah apakah sedang bermimpi atau seseorang sedang mengerjainya seperti di video-video lucu yang sering ada di internet. Kiamat zombie? Apakah mereka sedang mengerjainya dengan tema seperti itu? Sasha terbahak. "Astaga! Siapa yang mengerjaiku sampai segini? Apa aku segitu lucunya sampai seluruh kota ikut terlibat? Di mana kameranya?" dengusnya, berkacak pinggang. "Hei! Kalian! Berhenti berpura-pura! Apa layak mempermainkan orang sampai membuat macet jalanan seperti ini? Jika kalian terluka karenaku, aku tidak mau tahu, ya!" omelnya seraya menunjuk kepada gerombolan manusia yang semakin mendekatinya. "Apakah Puang Aji juga ikut berpartisipasi dalam hal ini? Wuah! Hebat! Hebat! Aku sampai benar-benar ketakutan!" Kali ini, Sasha bertepuk tangan, perasaannya campur aduk: kesal, marah, lega, dan kagum mengguyur sekujur tubuhnya secara bersamaan. Kerumunan manusia yang berjalan ke arahnya itu semakin terlihat jelas. Mereka tampak kacau; mulut mereka belepotan dengan darah, mata mereka nyaris putih semua, dan diantaranya beberapa kehilangan anggota badan, sebagian lagi seperti habis tercabik-cabik di berbagai area tubuh hingga dagingnya terlihat. "Wow! Itu efeknya keren banget! Kayak beneran!" pujinyam sebelah alis naik, kepala manggut-manggut. "Apa kalian penggemar buku-bukuku? Aku akan menerbitkan buku kedua The Journal of The Zombies Apocalypse tahun depan. Butuh sedikit waktu untuk mengumpulkan beberapa referensi lagi. Kalian tahu? Berkutat dengan hal-hal biologi dan kimia itu walau hanya sebagai referensi novel cukup bikin pusing, loh!" Sasha terkekeh kecil. Pria berjaket tadi berhasil tertarik oleh ocehan Sasha dan erangan massa di belakang. Dia berbalik perlahan ke arah Sasha. Tampak sedang mengamati perempuan itu dengan wajah setengah bodoh, iris matanya juga berwarna putih kelabu, sama dengan kerumunan di arah lainnya. Mulutnya sobek sepanjang telinga kirinya, membuat wajahnya begitu mengerikan. Erangan pria itu lebih jelas daripada kerumunan yang mencoba mendekati Sasha. Perempuan itu berbalik melihat pria berjaket tadi, nyaris terjatuh ke belakang, kaget dengan efek yang begitu nyata di depan matanya. Bulu kuduknya merinding. "Yah.... tidak mungkin kiamat zombie itu beneran terjadi. Itu siapa yang memolesmu? Mataku rabunnya nggak parah-parah amat, jadi masih bisa lihat cukup jelas. Sepertinya dia profesional banget, deh," ujar Sasha, menunjuknya dengan tawa kecilnya. Sementara gerombolan manusia dari rumah makan itu semakin dekat, berjalan perlahan mendekati pria tadi. Meski merasa tidak nyaman, Sasha tetap ingin melawan rasa takut tidak berartinya itu. Di video-video yang ditontonnya di Yutub, orang normal akan lari duluan sebelum zombie palsu mendekati mereka. Sasha ingin bersikap keren di depan kamera, jadi dengan sikap pongah yang dibuat-buat dan mulut dimajukan, perempuan itu berjalan melipat tangan sembari menilai make up pada pria berjaket itu. Sungguh nyata dengan darah kental yang menetes dari mulut yang menganga itu! "Anda sudah seperti zombie beneran. Keren!" pujinya, sudut-sudut bibirnya tertekuk ke bawah lalu menggerutu pelan. "Sayang sekali saat ini aku cuma pake piyama, rasanya malah aku yang nggak keren di kamera." Suara benda jatuh dari arah deretan mobil membuat Sasha tersentak kaget, punggungnya menghantam sebuah angkot yang ada di sebelahnya. Gerakan tiba-tiba Sasha tersebut membuat kerumunan yang semula berjalan terseok-seok itu menggila. Pria berjaket tadi kini berlari seperti orang yang kerasukan ke arahnya. Jantung Sasha seakan-akan ingin melompat dari tempatnya. "Ini terlalu nyata," kekehnya lagi, setengah ketakutan. "Jadi, seperti ini diburu oleh zombie yang menggila?" Jarak mereka semakin dekat dan dekat. Horor mulai menguasai benak Sasha. Bagaimana kalau sekarang memang kiamat zombie? Mustahil! Mustahil! batinnya panik. "Ini sudah tidak lucu lagi! Aku benar-benar takut!" bisiknya kepada diri sendiri. "Hentikan semua ini sebelum ada yang terluka!" teriak Sasha marah kepada massa yang menghampirinya. Jarak mereka tinggal beberapa meter lagi. Sedang pria berjaket itu kini hanya berjarak dua meter darinya. Sasha gemetaran, meraih pintu angkot di belakangnya. "Sial! Ini macet apa terkunci, sih?" Sasha menarik-narik pintu itu, tapi tidak mau terbuka. Teriakan sumpah serapah dan frustasi mulai keluar dari mulutnya. Siapa pun orang yang melakukan lelucon sialan itu bakalan dihajarnya habis-habisan kalau ketemu! "Ayo! Ayo! Terbuka!" serunya histeris, air matanya mulai menuruni kedua pipinya. Dia benar-benar ketakutan! Pria berjaket dengan wajah mengerikan itu kini hanya berjarak satu meter darinya. Pintu mobil terbuka disertai jeritan Sasha. Dia bergegas masuk ke dalam angkot. Pria berjaket itu menghantam keras pintu angkot lalu ambruk ke jalanan beraspal. Darah menempel pada kaca yang terbuka separuh. "Maaf! Maafkan aku! Sudah kubilang, kan! Aku tidak mau tahu kalau ada yang terluka karenaku!" pekiknya histeris. Sasha mengintip dari jendela angkot. Kedua tangannya mencengkeram tepian kaca jendela. Lagi-lagi terkejut! Kerumunan itu satu persatu sampai ke sisi belakang mobil dan mulai memukul-mukul dengan tangan. Semakin banyak darah yang menempel di kaca jendela. "Astaga! Kapan kalian akan berhenti?" teriak Sasha pada kerumunan itu. Pria berjaket tadi tiba-tiba meraih tangannya. Wajah hancur pria itu kini sangat dekat, sukses membuat Sasha menjerit ketakutan. Dia menarik tangannya secepat kilat, membuka tutup pintu mobil untuk mendorong pria itu menjauh. Sensasi aneh merayapi kedua tangannya, kembali menjerit, geli, jijik, dan ngeri di saat bersamaan. "DASAR c***l!" umpatnya, bergegas menaikkan kaca jendela. Suara ribut mobil yang semakin banyak dikerumuni oleh para zombie yang diduganya jejadian, membuat Sasha menutup mata dan telinganya. "Mimpi! Ini mimpi!" ulangnya berkali-kali dengan suara berbisik. Manusia jahat mana yang tega membuatnya ketakutan seperti sekarang? Apakah kakaknya yang mengerjainya? Dia memang bertingkah aneh sejak pagi tadi. Berapa yang dibayarnya untuk semua itu? Atau dia yang mendapat bayaran demi merekam reaksi ketakutan Sasha seperti orang gila? Ini sudah keterlaluan! Amarah lagi-lagi menggelegak di benaknya. Dia tidak akan mentolerir kejadian ini. TIDAK AKAN! Sasha menegakkan bahu, berusaha terlihat keren, walau kini horor kembali menyelimutinya. Pria berjaket tadi kini muncul samar-samar di depan kaca jendela dengan rahang sebelah terlepas dari tempatnya. Lagi-lagi itu sangat nyata! Sasha kembali menjerit, mengunci pintu mobil angkot cepat-cepat. Pria itu terlalu menakutkan dilihat dari jarak sedekat itu. Sasha bergeser ke kursi lain, membuka pintu mobil dengan mata masih tertuju pada kerumunan zombie. Keningnya bertaut, pintu mobil seperti ada yang mengganjalnya. Dia memalingkan wajah ke jendela, otomatis menjerit. Lagi. Entah sudah berapa kali Sasha menjerit hari itu, tenggorokannya juga sudah mulai sedikit terasa sakit. Sesosok perempuan berhijab hijau-kebiruan awut-awutan berdiri di depan pintu mobil. Sebelah wajahnya belepotan darah. Kemeja berwarna senada dengan hijab dan rok plisket abu-abunya tampak kotor. "Diam! Diam!" bisiknya menenangkan Sasha, tapi Sasha masih saja menjerit. Perempuan berhijab itu membuka paksa pintu mobil, tapi Sasha menahannya hingga terjadi drama tarik menarik antara mereka. "Pergi! Pergi! Siapa kamu? Apa kamu juga ingin menakutiku?" teriak Sasha diselingi isak tangis. "Tega sekali kalian!" "Buka pintunya! Aku masih hidup! Aku bukan zombie! Ayo pergi dari sini!" Perempuan itu mulai memukul-mukul kaca jendela dengan tangannya yang penuh lumuran darah. "Mana aku percaya! Pergi! Pergi!" "Kamu bodoh! Mana ada zombie yang bisa bicara sepertiku!" serunya seraya memukul kaca mobil dengan pentungan khas satpam. Tampak gusar dengan tuduhan Sasha. Perempuan berhijab itu mulai menangis, kepala terduduk di jalan. Sasha perlahan membuka pintu mobil. "Kamu... bukan zombie? Apa peranmu di sini?" tanyanya penasaran. "Apa maksudmu dengan peran? Semua manusia jadi kacau! Mereka menjadi zombie! Bukannya zombie itu hanya ada di film-film Barat saja? Kenapa ini mesti terjadi? Kenapa?" protesnya menjerit marah, pentungan satpam tadi dilemparkannya ke arah badan angkot. Sasha berjalan pelan ke arahnya. Waspada jika ada skenario khusus yang diberikan kepada perempuan itu. "Aktingmu cukup bagus." Perempuan itu terdiam sesaat. "Akting?" katanya dengan nada tersinggung. "Ya. Aku benar-benar ketakutan tadi. Ini seperti kiamat zombie beneran. Di mana kru kameranya?" Sasha celingak-celinguk memeriksa ke sekitar. "Kamu gila!" teriaknya dengan suara parau. "Ini benar-benar kiamat zombie! Apa akal sehatmu sudah hilang?" Perempuan itu berdiri marah, mendorong keras pundak kiri Sasha. "Apa? Jangan main-main!" ancam Sasha, membentak kesal, "hentikan sikapmu itu! Dan jangan dorong-dorong aku! Aku tidak suka!" "Apa kamu bodoh? Buktinya ada di sekitarmu? Kamu buta, ya?" maki perempuan itu, meneriakinya lebih keras dari yang kakaknya Riri biasa lakukan kepadanya. "Kamu tergigit?" lanjutnya kaget, matanya mengarah pada lengan Sasha yang berlumuran darah, bergegas berlari ke arah pentungan yang dilemparnya tadi, lalu mengarahkannya pada Sasha. "Aku tidak tergigit. Tadi pria itu meraih tanganku," katanya pelan seraya mengelap lumuran darah yang ada di kulitnya pada sisi badan angkot. "Menjauh! Menjauh dariku!" teriak perempuan itu histeris. "Aku tidak tergigit! Lihat! Lihat! Kulitku masih mulus! Masih mulus!" serunya, enunjukkan kulitnya. "Lagi pula, kamu juga belepotan darah, kenapa hanya aku saja yang dicurigai di sini!" Sasha menudingnya dengan telunjuk kanan mengarah pada tangan sang perempuan berhijab. Perempuan itu terdiam sesaat, mengamatinya secara saksama. "Oh... benar juga...." ucapnya dengan nada bingung, menaikkan tangannya setinggi mata. Detik berikutnya, mereka berdua saling tatap, terdiam. Hanya suara erangan dan pukulan dari sisi lain dari mobil angkot yang terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD