Bab 7 Hypnic Jerk

1618 Words
"Ampun, dah! Kenapa mesti ada kejadian memalukan kayak gitu, sih, pagi ini?" Sasha menutupi wajahnya dengan tangan kanannya, wajahnya merah padam. "Sebodoh, ah!" lanjut, dan dia pun memasuki kamar. Sasha kesulitan tidur malam itu. Lagi, yang entah untuk keberapa kalinya. Dia tidak bisa berhenti memikirkan solusi untuk mereka berdua agar baikan kembali. Mereka berdua sangat gengsi soal siapa yang duluan baikan. Telinganya mendengar pintu kamar sebelah terbuka, otomatis Sasha terduduk di kasurnya. Otaknya berpikir keras. Jika dia tidak memperbaiki hubungannya dengan kakaknya minggu ini juga, maka jarak di antara keduanya akan semakin renggang, dan itu sangat tidak bagus. Seberapa kuat tekad Sasha untuk baikan, tapi tubuhnya menolak untuk bergerak. Dia menghempaskan diri saat mendengar pintu kamar Riri terdengar lagi. Kesempatannya hilang kali ini. "Ah! Capek banget hari ini!" Tangan kanannya menutupi wajah, tidak ingin berurusan dengan apa-apa saat ini, hanya ingin segera tertidur. Itu saja. *** Ponsel Sasha berdering. Matanya terbuka perlahan. Jam dinding menunjukkan pukul 7.56. "Sudah pagi, toh? Aku terlambat bangun lagi. Apa Riri bakal ngamuk?" Dengan ogah-ogahan dia meraih ponselnya di atas meja lalu kembali ke tempat tidur. "Halo?" ucapnya dengan mata tertutup. "Assalamualaikum, kek!" suara Alby membuatnya melek pagi itu. "Iya. Iya. Aduh! Waalaikumussalam!" gerutu Sasha, membalas salam itu. "Aku sudah siap-siap untuk berangkat." "Hah? Bukannya di sana baru 6.56? Pagi bener?" "Maksudku, aku sudah mengepak barang-barangku. Tinggal tunggu paman saja. Biarkan istirahat dulu. Semalam pulangnya agak telat. Nanti jam 8.30 WIB baru menuju bandara." "Sudah sarapan belum?" "Ntar di bandara saja sarapannya sekaligus makan siang di-DP." Alby tergelak. "Ya, Sudah. Kalau gitu hubungi aku sebelum pesawatmu berangkat, ya! Baterai HP-ku udah sekarat, nih! Aku charge dulu." "Ok. Sip! Assalamualaikum." "Waalaikumussalam." Segera setelah dia menutup telepon. Sasha bergelung-gelung senang di kasurnya. "Asyik! Alby datang!" Senyum lebar terpasang di wajah Sasha. Berbagai macam rencana mulai terbersit di benaknya, mulai dari jalan-jalan keliling kota, nonton bareng, sampai belanja di mall berburu bahan-bahan makanan untuk masak bersama—Alby suka jadi kelinci percobaan Sasha saat mencoba resep baru. Sebentar lagi adiknya akan tiba di Makassar! Hatinya sungguh gembira. Oh! dia harus memberi tahu kakaknya, hitung-hitung sebagai sarana komunikasinya pagi ini. Sasha begitu semangat pagi itu sampai tidak sadar sudah membuka pintu kamar dan berteriak memanggil nama kakaknya. Sayang, yang didapatinya hanyalah kesunyian yang mencekam. "Riri!" teriaknya lagi untuk kesekian kalinya, kali ini dia mengetuk pintu kamarnya. "Kamu tidak ke kampus?" Tidak ada balasan. Sasha berpikir, mungkin saja dia pergi tanpa pamit. Ini sudah jam delapan lewat sekian. Pastinya begitu. Biasanya, Riri membangunkannya tepat adzan subuh berkumandang. Apakah mereka masih belum bisa baikan? Ya, sudah…. Pikirnya seraya mengedikkan bahu. Lalu turun ke dapur dan memasak mie instan. Tiba-tiba dia teringat kue yang dibawa oleh Riri. Diperiksanya isi kulkas, senyum kecut nan geli terpasang di wajahnya yang masih berantakan. Kue brownies kesukaannya. Apakah kue itu sebagai tanda gencatan senjata? Sasha mengambil sepotong kue tadi, melahapnya begitu nikmat sampai menjilati jari-jarinya. Sisanya akan dimakan saat melanjutkan ketikan novelnya sehabis beres-beres rumah. Riri bakalan mengomel lagi kalo dia belum beres-beres pagi hari. Semua perabotan rumah sewa mereka dibersihkan hingga mengkilap. Dia bahkan mengelap railing tangga sampai bisa dipakai untuk bercermin. Sasha ingin membuat Riri setidaknya terpana ketika pulang, maka dari itu semua lantai dipel sebanyak dua kali. Bahkan mengikut-sertakan pakaian kotor kakaknya saat mencuci pakaian miliknya. Setelah mencuci pakaian, kamar mandi pun dibersihkan beserta dinding-dindingnya. Kakaknya pasti mengangguk kagum saat memasuki kamar mandi nanti. Soal bersih-bersih adalah keahliannya, hanya saja dia itu pemalas akut. Tiga jam dihabiskannya bergumul dengan pekerjaan rumah tangga, dan setengah jam dihabiskan mandi sembari bersenandung kecil. Sasha memilah-milah baju yang akan dikenakannya untuk menjemput adiknya. Tangannya melempar baju lengan panjang abu-abu bergaya sweater ke atas kasur, ada garis-garis hitam di lengannya dan sebuah kotak abu-abu gelap melekat di depan sebagai motif bajunya. Sebagai padanan, dipilihnya celana hitam bergaris. Untuk sementara, dia memakai piyama dulu. Setelah adiknya menelepon, baru akan digantinya. Di dapur, beberapa potong kue disiapkan untuk dilahapnya sendiri. Lumayan, menunggu telepon adiknya sambil mengetik beberapa halaman untuk novel terbarunya. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, pikirnya. Masih ada beberapa jam bisa dihabiskannya mengetik sembari menunggu sebelum berangkat ke bandara. Jika dia lewat tol, tidak akan makan waktu sampai satu jam. Jadi, dia mengetik kerjaannya sembari mendengarkan musik instrumental yang mampu memacu adrenalin. Kue brownies kesukaannya membuatnya tenggelam dalam sensasi novel yang digarapnya, sebuah novel bergenre fiksi-ilmiah. Selama hampir lebih sejam, dia mengetik begitu bersemangat. Punggungnya mulai terasa sakit, jari-jarinya mulai pegal-pegal. Sasha memutuskan untuk istirahat sejenak. Dia membuka beberapa website yang berkaitan dengan novelnya untuk dijadikan referensi. Perempuan itu sangat menyukai hal berbau sains. Sayangnya, dia terdampar di manajemen. Banyak hal yang terjadi saat itu hingga tidak memikirkan keputusannya matang-matang. Matanya lelah membaca istilah-istilah biologi, ditambah kenangan pahitnya yang ingin menjadi seorang ilmuwan kimia kini tinggal kenangan, membuat otaknya serasa mengkerut. Mungkin tidur sejenak baik untuknya. Kacamata dilepas, jempol dan telunjuknya memijat-mijat pelipis antara kedua mata, lalu tiduran sejenak di kursi dengan headset masih terpasang di kedua telinga. Biasanya, orang normal akan kesulitan tidur dengan musik instrumental yang memicu adrenalin. Namun, bagi Sasha, musik semacam itu justru membuatnya tenang, mampu mengendalikan diri dan kewarasannya tetap utuh. *** Sasha tersentak tiba-tiba dari mimpinya yang seolah terjatuh begitu saja saat tengah berjalan entah di mana. Hentakan musik boyband kesukaannya meledak di kedua kupingnya. Matanya terlihat linglung, kesadarannya belum seratus persen kembali. dia menatap artikel yang ditinggalkan tidur sejenak. Artikel itu membahas tentang rantai kimia, dia memutar bola mata, mendesah pelan. Diraihnya kacamata di meja, mengelapnya sebentar kemudian memakainya. Matanya bergerak melanjutkan membaca beberapa paragraf sembari bernyanyi. "FIRE! YEAH~ Na na na na~'' Tangan kanannya diacungkan ke atas, kepala manggut-manggut. Disambarnya brownies terakhir dalam sekali suap. Seketika juga matanya terbelalak kaget. Oh! Celaka! Aku Lupa! Kedatangan Alby! Pekiknya dalam hati. Sasha tersedak kue hingga terbatuk. Headset dilepas, segera meneguk minuman yogurt dengan terburu-buru. Mukanya mengkerut oleh rasa masam. Kepalanya dimiringkan ke belakang seraya memukul-mukul dadanya sendiri. "HP-ku!" katanya masih terbatuk. Sasha berbalik meraih ponselnya di tempat tidur, hembusan napas panjang mengiringi pandangannya pada layar kaca. "Argh! Gawat! Aku lupa mengisi baterainya!" raut wajahnya tampak kesal. Jam dinding menunjukkan pukul 01.47 siang. Adiknya tiba pukul 02.30 siang. Dia menghempaskan diri ke bantal, tampak lega disusul gumaman pelan. "Thank you, oppa! Untung saja aku menyisipkan lagu kalian sebagai pengganti suasana hari ini." Senyum kecilnya terbit sangat indah. Sasha bangkit dari tempat tidur, mematikan laptop, mengisi baterai HP, dan segera mencuci piring kotor. Perjalanan ke bandara lewat tol bisa ditempuh 30 menit tanpa hambatan. Hari ini bukan hari sibuk, jadi kemungkinan pengguna tol juga jarang ada yang memilih rute itu. Sasha memeriksa langit di balkon lantai dua, jangan sampai usahanya mencuci pakaian hari ini sia-sia belaka! "Sunyi sekali," komentarnya kepada diri sendiri. Perumahan tempat tinggal mereka memang daerah yang tenang, tapi tidak sampai seperti itu. Kebisingan jalan utama biasanya sesekali terdengar sampai ke dalam kompleks. Tapi ini, bahkan tetangga seberang rumahnya juga tidak terdengar apa-apa. Padahal hampir setiap hari pas siang-siang begini mereka sudah mulai cekcok. Entah itu karena hal besar atau pun kecil. Itu sudah seperti siaran radio harian di perumahan ini. Mungkin saja mereka mendapat hidayah dari Tuhan. Sasha terkikik sendiri memikirkan hal itu. Dia mengintip jalanan kompleks dari pagar balkon. "Oh? Aneh. Biasanya ada dua sampai lima orang yang lewat. Kenapa sunyi sekali? Bikin merinding saja,” gumamnya seraya memeluk dirinya sendiri. Kesunyian itu sungguh ganjil. Segera, Sasha mengabaikannya, toh, tidak punya waktu memikirkan hal-hal sepele seperti itu. Pakaian di tiang jemuran dipindahkan ke bagian lain yang agak lebih teduh. Sudah mulai kering sedikit, jika sampai hujan turun saat dia pergi, bisa gawat, bukan? Apalagi ada pakaian kakaknya. Bisa-bisa bukannya mendapat ucapan terima kasih, malah diomelin habis-habisan. Baterai ponselnya sudah cukup untuk dipakai mengecek sms. Sayangnya, tidak ada pesan apa pun. Apa mungkin Alby lupa mengabariku? pikirnya. Bukannya sms dari adiknya yang masuk, tapi ada dua puluh tujuh panggilan tidak terjawab dari kakaknya. "Apaan, nih? Apa dia lupa sesuatu?" gumamnya, kepala dimiringkan ke kanan. Riri terkadang menyuruhnya membawa barang-barang yang dilupanya ke kampus atau ke sekolah tempat dia mengajar sebagai guru honor. "Sepertinya penting sekali. Apa, ya, kira-kira?" Sasha berusaha menghubungi Riri, tapi sama sekali tidak tersambung. "Palingan juga bakal nelpon lagi kalau benar-benar penting." Tanpa sadar, dia mengubah ponselnya ke mode pesawat agar baterainya lebih cepat terisi daya. "Ah! Kue!" ujarnya tiba-tiba. Sudah pukul dua siang, dia masih sempat ke rumah Puang Aji sebentar. Buru-buru dia menuruni tangga. Suara letusan yang entah dari mana membuatnya hampir terpeleset saking kagetnya. Suara itu cukup keras dan nyaring, seperti sebuah peluru yang ditembakkan ke udara kosong. "Astaga! Apaan, tuh! Bikin kaget saja!" omelnya. "Ada demo lagi, ya?" Sasha mendecakkan lidah, kesal. Perumahan itu dekat dengan jalan utama yang merupakan salah satu titik tempat langganan demo di kota itu. Utamanya mahasiswa dari universitas ternama di samping perumahan tempat tinggalnya. Mereka tidak jarang berakhir bentrok, sebagian malah ada yang suka lari ke dalam perumahan untuk menyelamatkan diri dari kejaran petugas. Sasha bertanya-tanya, demo apa lagi kali ini? Tidak bisakah demo dilakukan dengan cara damai? Sasha menggeleng pelan. *** Lorong perumahan kali ini benar-benar sunyi. Jika benar ada demo, biasanya ada beberapa pengendara memilih lorong itu sebagai rute pelarian. Sunyi, sangat sunyi. Ini sungguh aneh. Kakinya melangkah pelan menuju rumah Puang Aji. Dalam pelukannya, ada bungkusan tempat kapurung sebelumnya. Tangan kanannya menenteng kantong plastik berisi sekotak brownies. Suara sendal jepit miliknya di jalanan beraspal-lah satu-satunya suara yang mengisi kesunyian itu. Sesekali Sasha memeriksa beberapa rumah dari kejauhan dengan memicingkan mata, soalnya dia sedang malas memakai kacamata siang itu, tapi tidak ada aktivitas apapun. Penjual bakso gerobak yang biasa mangkal di ujung lorong juga tidak ada. "Aku tidak mulai gila, kan? Skizofrenia?" Sasha membeku sesaat. "Pfft. Yang benar saja." Perempuan ini menggeleng keras, kemudian kembali berjalan melanjutkan langkahnya seraya tertawa geli dengan pemikiran konyolnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD