Bab 9

744 Words
Setelah mendengar perkataan Dion ketika menceritakan dirinya, aku memiliki perasaan takut Fahri dan Faiz juga akan mengalami itu. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang terjadi dengan Dion, tapi tetap saja ketika dia cerita, seperti yang baru mendengarnya. Aku sedang berada di fase bingung. Jika pernikahanku dan Milla dibatalkan, entah apa yang akan terjadi pada anak-anaknya. Aku juga sudah menyuruh pak penghulu dan tetangga perumahan Milla untuk datang. Berat rasanya bagiku untuk bangun pagi ini, tapi aku tidak ingin melihat Milla cemburu. Bukankah aku sangat mencintainya, kenapa hatiku malah terasa bimbang?! Kuedarkan pandangan, menyapu ruangan kamar ini. Tapi mataku tidak melihat Diana. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju anak-anak. Kosong. Dimana mereka? Aku ingin minta maaf atas kesalahanku. ”Ana!!" panggilku pada Diana sambil menuruni tangga. "Ana!!" kini aku dengan cemas memanggilnya karena dia tidak kunjung muncul. Mataku menangkap sosok seorang wanita tua yang sedang menyapu lantai. Sejak kapan Diana memperkerjakan orang? "Maaf, Bu, sejak kapan ibu kerja di sini?" tanyaku langsung. Ibu itu seketika mengehentikan aktivitasnya dan menatapku. "Baru hari ini, tuan." jawabnya pelan. "Apa Ibu melihat Diana?" "Sedang di taman, tuan." Aku langsung bergegas menuju taman. Tepat di depan mataku, Diana sedang menggunting beberapa tanaman yang mati. Aneh. Tidak biasanya dia mengurus bunga. Padahal dulu setiap pagi, Diana selalu berada di dapur sampai siang. Kini tidak lagi. "Kau tidak memasak?" tanyaku mengawali pembicaraan. "Tidak." "Siapa yang akan memasak?" "Bi Rani." "Bi Rani siapa?" "Ibu-ibu yang tadi menyapu," jawabnya tanpa melihatku. "Dimana anak-anak?" "Pergi." "Kemana?" "Main." Hening. Aku tidak bertanya lagi. Kenapa Diana berubah. Biasanya dia cerewet dan perhatian. Tapi sekarang, dia hanya bicara seperlunya. Apa aku sudah tidak anggap sebagai suami? "Lihat aku, Dania!" pintaku padanya. "Apa?" dia menatapku cuek. "Anak-anak pergi sama siapa dan kemana?" tanyaku khawatir. "Bareng Tiara dan suaminya. Mereka ke taman hiburan." "Padahal aku ingin bermain dengan mereka sebagai bentuk permintaan maaf," lirihku pelan. "Itu tidak perlu, Mas. Kau perlukan saja Milla dan anak-anaknya dengan baik. Makan Fahri dan Faiz juga akan baik-baik saja," ucapnya yang bagiku terasa ambigu. "Apa kau tidak hatimu tidak merasakan sakit?" tanyaku penasaran. Apalagi Dion mengatakan begitu. "Sakit atau tidak, itu bukan sesuatu yang penting. Semuanya tergantung padamu, Mas. Apa yang menjadi keinginanmu, lakukanlah." ucapnya tersenyum. Aku yakin perkataan Dion salah. Buktinya Diana tidak matan. Dia bahkan memintaku untuk melakukannya. "Baiklah. Kini aku semakin mantap untuk menikahinya." gumamku bahagia. "Pergilah, Mas. Berbahagialah. Karena hari ini adalah hari bahagiamu. Dimana kau akan bersanding dan mempunyai seorang istri yang sangat kau cintai," ucapnya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. "Ana!" panggilku lirih. "Ya." "Bisakah kau hadir dalam pernikahanku hari ini?" pintaku memohon. Lama Diana terdiam."Baiklah. Akan kuusahakan." * Segala keperluan pernikahan sudah siap. Mataku menyapu Diana. Apa dia tidak akan datang? "Cari siapa, Mas?" tanya Milla. Dia menggunakan kebaya berwarna merah muda. Sangat cantik. "Mas!" panggilnya karena aku masih diam. "Eh, itu, Mas sedang menunggu Diana." "Siapa?" "Istri, Mas." Milla langsung terdiam ketika aku mengatakan Diana, istriku. "Apa dia akan datang?" Milla menyipitkan matanya. "Tentu, saja. Dia tidak pernah berbohong." Kami pun langsung duduk di tempat akad nikah akan dilaksanakan. Tidak banyak yang hadir, hanya para tentangga saja. Itu pun hanya sepuluh orang. Tapi tidak disangka, ketika aku sudah siap untuk ijab qobul, para anak tetangga berdatangan. Baik laki-laki ataupun perempuan. Mataku masih menyapu ruangan yang sudah didekor ini. Tapi Diana tidak kunjung datang. Aku bahkan tidak sadar telah mengucapkan ijab qobul. Sampai kata 'sah' riuh terdengar. Kupanjatkan doa dan mencium keningnya. Bukankah ini yang kuinginkan? Tapi kenapa hatiku merasa hampa? "Ada seorang wanita yang sangat cantik," ucap seorang pemuda pada temannya. "Benarkah? Dimana?" tanya kawannya tidak percaya. "Dia baru saja turun dari mobil itu. Dia bahkan lebih cantik dari pengantin mempelai wanita," ujarnya antuasias. Perkataan mereka membuat diriku juga penasaran dengan sosok itu. Tidak lama, seorang wanita bergamis panjang mewah dan kerudung lebar memasuki ruangan. Semua mata menatapnya takjub. Itu Diana. Aku melihat ke arah Milla untuk memberitahunya kalau itu Diana, istriku. Tapi aku malah melihat Milla sedang menatap Diana dengan mata penuh kebencian dan kedua tangannya mengepal. Apa ini benar Milla. Belum sempat aku menyadarkan Milla, Diana lebih dulu mendekat ke arahku dan aku langsung berdiri. "Selamat, ya, Mas. Semoga kau bahagia dan tidak menyesali apa yang sudah kau lakukan ini," ucapnya sambil tersenyum tapi kata-katanya sangat tajam. Apa dia bilang, menyesal? Aku tidak akan pernah menyesal karena telah menikahi wanita yang kucintai. "Itu tidak akan!" jawabku cepat. Tapi Diana tetap tersenyum. Tidak ada sedikit pun kesedihan yang terlukis di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD