CB 3. Bidadari Mungil — Little Angel

1700 Words
November 2016 “Saat ini aku sedang menggenggam cinta kita. Kamu lihat, ‘kan? Dia sehat, cerdas, ceria dan bahagia. Dia cahaya hidupku. Semangatku. Pelipur laraku. Dia alasan mengapa aku masih terus hidup dan berjuang. Kamu tahu, pengorbananmu tidak akan pernah sia-sia, my Love.” Daniyal – Bidadari Mungil ⠀ "Aku benci November," desis Daniyal hampir tak terdengar ketika ia menatap gundukan tanah di hadapannya. Tanah yang tak lagi cokelat kemerahan dan basah. Hanya diselimuti rumput yang terpotong rapi di atasnya. November. Bulan penuh duka yang selalu mengingatkannya akan kematian istrinya. Wanita yang sangat ia cintai. Wanita yang akan selalu menjadi satu-satunya di hidup Daniyal. Tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. Kirani. Cintanya. Lamunan Daniyal kembali ke masa lalu. Ia teramat rindu pada wanita itu. Senyum, tawa dan suaranya yang lembut. Keteduhan netra hitam yang sayu, kedewasaan sikap, kesabaran dan pengertiannya. Pelukannya .... ⠀ "Ayah." Panggilan lembut itu menyentakkan Daniyal. Menghempaskannya kembali pada masa sekarang. Tangan mungil itu menggapai jemarinya. Senyum gadis kecil itu merekah. Matanya yang besar dan bening manatap Daniyal manja. Mereka masih berada di area pemakaman. Nyekar ke makam Kirani. "Bunda suka nggak, sama bunga yang kita bawa, Ayah?" ucap gadis kecil itu sembari mendekap buket bunga mawar putih di pelukannya. "Ya, pasti suka." Daniyal mengusap rambut anaknya. Kirani paling suka bunga mawar putih. "Kenapa Bunda di sini?" Tatapan lugu gadis kecil itu serasa meremas jantung Daniyal. Apa yang harus ia jawab? Ia menelan ludah. "Bunda sedang istirahat." "Di sini?" Kirana bertanya dengan nada protes. Netra bening itu membelalak tak percaya. "Di dalam sini? Really?” Daniyal hanya bisa tersenyum pahit. “Kenapa Bunda nggak pulang aja, Ayah? Di rumah lebih enak istirahat. Bisa bobo di kasur, meluk boneka Teddy, sambil nonton film kartun, sambil ngemil juga ... terus main pianika sama Eyang Putri ... wow ...," ceplos Kirana dengan senyum lebar, menceritakan kegiatan hariannya yang menarik. Lalu sesaat kemudian, menggeleng dengan ekspresi dramatis. "Kasihan ... Bunda ..., sendirian di sini." Bocah yang hari ini tepat berusia lima tahun itu mendesah. Mengusap dadanya prihatin, layaknya orang dewasa. Daniyal terkekeh geli. Dari mana Kirana meniru gerakan tadi? Sekarang putri kecilnya memberi isyarat tangan. Meminta Daniyal membungkuk, kemudian berbisik dengan mimik serius. "Kita harus bawa Bunda pulang, Ayah." Lalu matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Ke arah pohon kamboja yang rimbun. Seakan takut ada yang menguping di sana. "Dedek dengar, Mbok Inah sama Mbak Nansi ngobrol, mereka bilang di kuburan banyak hantu. Dedek nggak mau Bunda digodain hantu ...!" Ia mengangkat-angkat bahunya dengan mata melebar ngeri. "Sttt ...," jari telunjuknya ditaruh ke bibir. Daniyal terbahak, memeluk putri semata wayangnya yang begitu menggemaskan. Gadis kecilnya semakin hari semakin cerdas. Sudah pintar bicara rupanya. "Sayang ..., di dunia ini hantu tidak ada. Yang ada itu setan dan jin. Tapi Dedek Rana nggak boleh takut sama mereka. Harus berani karena biasanya mereka nggak akan ganggu kalau kita nggak nakal duluan. Kalau Bunda sekarang sudah sama Tuhan, jadi Tuhan yang jaga." Gadis kecil itu mengernyit, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk paham. "Dedek taro bunganya lagi, Ayah?" Daniyal mengangguk singkat. Membiarkan Kirana menaruh buket bunga itu di atas makam Kirani. Kemudian ikut berjongkok untuk menaburkan kelopak bunga mawar putih di atas makam. Selimut wangi buat Kirani. Daniyal menahan rasa sesak di dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam. Menengadah menatap langit, mengusir air mata yang nyaris mengalir dari pelupuk matanya. "Siap berdoa untuk Bunda, sayang?" ucap Daniyal pada gadis kecilnya yang mengangguk dengan cepat. Langsung mengangkat kedua tangannya. Mereka berdoa dan Kirana ikut meng-Aamiin-kan setiap katanya. "Boleh Dedek ngobrol sama Bunda dulu, Ayah?" pinta Kirana dengan tatapan manja. Daniyal mengangguk, tersenyum kecil. Memperhatikan putrinya membongkar isi ransel mungilnya. Mengeluarkan gambar-gambar krayon warna-warni dari sana. Ada gambar Kirani yang ia contoh dari album foto, gambar mereka bertiga. Gambar Oma dan Opanya. Ke-empat Om nya, serta sepupunya. Gadis mungilnya begitu riang menceritakan semua gambar yang ia buat. Seolah-olah ia sedang bertatap muka langsung dengan Bundanya. Kirana biasa melukis kegiatannya sehari-hari di rumah, lalu mendongeng untuk mereka semua. Kali ini, ia menceritakan tentang pengalaman ke Pet Shop. Memilih kucing peliharaannya sendiri. Memandikan dan bermain dengan si kucing dan Ayahnya. Lalu bercerita tentang ikan hias di akuarium Opanya yang tidak boleh diobok-obok, boneka baru hadiah om-nya, dan entah berapa lembar lagi yang harus dilaporkan pada Kirani. Persis seperti yang sering dilakukan Kirani pada Daniyal dulu. Hati Daniyal terasa begitu remuk. Matanya mulai memanas. Ia membalakangi putrinya, mengusap butiran embun yang terus menggenang tanpa bisa ia hentikan. Putrinya tidak boleh melihat ia lemah seperti ini. Daniyal menarik napas panjang. Mengehembuskannya pelan. Pahit. Teramat menyakitkan rasanya. Seharusnya putrinya bisa merasakan kasih sayang dan cinta dari Bundanya sama seperti anak-anak lain. Dipeluk, dimanja, diajak bermain dan jalan ke mana-mana. Seharusnya Daniyal bisa merawat Kirana bersama istrinya. Berkumpul, bercerita dan tertawa. Menghabiskan waktu menyenangkan bersama. Seharusnya .... Ah ... seharusnya .... Sungguh penyesalan yang tiada habisnya. Daniyal mendesah lelah. Bayang-bayang indah masa depan sekarang tinggal angan. Terkubur bersama Kirani dan sudah tidak dapat direngkuhnya lagi. Matanya mulai memanas kembali. ⠀ Nada dering ponsel mengagetkannya. Panggilan dari Rumah Sakit. "Hallo," jawab Daniyal. Suara di seberang telepon terdengar panik. "Kecelakaan? Dokter Ilham bukannya sedang dinas? Izin keperluan mendadak?” Daniyal mengacak rambutnya. “Kalau Dokter Keanu? Hmm ... ada jadwal operasi, ya. Oke. Saya segera ke sana." Daniyal menghempaskan napas berat, menutup telepon. Memijat sekat antara kedua alisnya. Huuf …! Kenapa selalu seperti ini? sesalnya. Harusnya hari ini ia libur. Tapi ia dokter! Seorang dokter harus siap bertugas di situasi apa pun. Ia sudah di sumpah ketika memilih profesi ini. Daniyal menelan ludah, memejamkan mata sejenak. Ikhlas, ucapnya dalam hati. Gambaran wajah pucat di atas brankar dan keluarga pasien yang meratap bercucuran air mata membayang di pelupuk matanya. Daniyal tidak ingin ada nyawa yang melayang hanya karena terlambat ditangani. Ia membuka matanya kembali. Melirik ke arah putrinya yang ternyata juga sedang terpaku memandanginya. Kertas-kertas gambar terkulai lemas di jemari mungil itu. "Ayah mau pergi lagi?" Daniyal menghampiri putrinya dengan langkah berat. "Iya, sayang," ucapnya bergetar, tak sanggup menatap raut kecewa di wajah putrinya ketika Daniyal memungut beberapa lembar kertas gambar. Memasukkan benda warna-warni itu segera ke dalam tas. Lalu menggendong putrinya ke dalam pelukannya. Sebenarnya ia begitu kasihan pada gadis kecilnya. Daniyal sudah lama tidak meluangkan waktu memanjakan Kirana. Padahal tadinya ia berencana mengajak Kirana ke taman bermain atau kebun binatang, ke mana pun yang putrinya mau. Tapi …, ia tidak bisa. "Trus, Dedek gimana?" bocah imut itu menatapnya sayu. Tatapan yang sama seperti istrinya. Mata yang selalu menggetarkan dan membuat hati Daniyal luluh. "Rana terpaksa Ayah bawa pulang ke rumah Oma lagi, ya?" Kirana menggeleng dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Hati Daniyal mencelos perih. Ia sadar putrinya pasti teramat kecewa padanya. Mereka sudah merencanakan hal ini sejak lama. Hari ini hari kematian Kirani sekaligus kelahiran Kirana. Mereka tidak pernah merayakan ulang tahun Kirana. Paling hanya sekedar jalan-jalan dan makan di luar rumah. Kalau pun dirayakan, itu hanya kalau mereka pergi ke Panti Asuhan. Seperti pagi tadi. Panti Asuhan itu adalah tempat di mana Kirani dibesarkan. Sejak pernikahan mereka, Daniyal sudah menjadi donatur tetap Panti itu hingga sekarang. Kirana juga sering ia ajak ke sana. Khususnya seperti hari ini. Ulang tahun Kirana. Mereka biasanya melakukan doa bersama untuk Kirani juga Kirana. Pihak Panti bahkan memberi hadiah kecil yang sangat berkesan buat putrinya, meski Daniyal seringkali melarang mereka. Tetapi penghuni Panti memang teramat menyayangi Kirana, seperti halnya Kirani. Daniyal bersyukur memiliki mereka semua. Mereka berhasil mengukir tawa di wajah putrinya. Sedangkan Daniyal ... hanya bisa mengecewakan Kirana. Lagi-lagi ia membatalkan rencana menemani putrinya. Daniyal mengecup lembut kening Kirana. "Ayah sayang ... sama Rana. Sayang … banget. Rana tahu, kan?” ucap Daniyal lirih. Menatap lembut mata sayu Kirana. “Tapi ..., ada orang yang harus Ayah tolong. Kasihaan ... sekali .... Ditabrak mobil. Kepalanya berdarah. Sekarang sedang pingsan di Rumah Sakit. Kalau Ayah nggak cepat ke sana, nanti dia bisa meninggal," lanjut Daniyal dengan gaya bahasa anak-anak. Berharap bocah imut itu memahami situasi genting ini. Putrinya menganga, menutup mulutnya dengan wajah shock. Membelalak ngeri. "Kayak hamster dulu, ya, Yah? Yang dicaplok kucing Dedek sampai meninggal?! Berdarah-darah …." ucap Kirana dengan bibir tertekuk ke bawah. “Dedek nangis tujuh hari tujuh malam gara-gara Sasha!” Daniyal mengulum senyum melihat ekspresi polos di wajah gadis kecilnya. Tujuh hari tujuh malam rasanya terlalu berlebihan karena Rayel – untungnya – memberi hadiah hamster baru buat ponakannya di hari yang sama. Jadi Kirana tidak menangis selama itu. "Sedih, ya, Ayah. Yuk, cepat Ayah tolong. Kasihan ... betul .... Ayah antar aja Dedek ke rumah Oma. Trus ntar Dedek minta Oma jalan ke rumah Kakak Wima sama Abang Chean. Dedek nginap di sana. Boleh, 'kan, Yah?" ⠀ *** ⠀ RS Dharma Mitra ramai seperti biasanya. Beragam ekspresi tampak di sana. Wajah kesakitan, tangis, khawatir, putus asa, lelah, tapi juga ada rasa syukur atas kelahiran anggota keluarga baru atau lega karena pulang dalam kondisi sehat. Entah berapa banyak cerita di sepanjang lorong dan bangsal-bangsal ini, pikir Daniyal sambil terus menyusuri koridor Rumah Sakit dengan langkah cepat. Ia memasang jas dokter yang tersampir di lengannya dengan terburu-buru. Mengabaikan sesaknya orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Tentu saja, sekarang sudah masuk jam besuk sore. Pantaslah ramai. Daniyal berjalan cepat melewati staff Front Office (FO) yang meyapanya ramah. Ia mengangguk sekilas pada mereka, lalu melanjutkan langkah menuju ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Belum sampai ia di pintu masuk IGD, Perawat Jaga sudah bergegas menyambutnya. Memberi laporan terakhir kondisi pasien kecelakaan tadi dan menyampaikan bahwa Daniyal sudah ditunggu dokter lain di ruang rapat untuk penangan pasien lebih lanjut. "Untuk saat ini Pasien sudah ditangani dengan baik, Dokter. Sekarang sedang dibawa ke ruangan radiologi." "Data pasien, riwayat penyakit dan informasi lainnya sudah dikonfirmasi pada pihak keluarga?" "Belum, Dok." "Lho, kenapa bisa begitu?" Daniyal mengernyit. "Mohon maaf, Dokter. Pasien korban tabrak lari. Orang yang mengantarkan ke Rumah Sakit hanya masyarakat yang kebetulan berada di sekitar lokasi kecelakaan. Jadi, mereka sama sekali tidak mengenal pasien. Pasien juga tidak membawa tanda pengenal apa pun," jelasnya. Daniyal mendesah berat. Begini yang bikin rumit. "Data pemeriksaan tadi?" "Sudah di ruang rapat, Dok." "Okay. Good job." Daniyal tersenyum tulus pada Perawat Jaga yang masih muda itu sebelum beranjak pergi. Membuat si perawat tersipu sambil menatap kagum punggung Daniyal yang menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD