CB 11. Suhu Panas — Hot Temperature

2203 Words
“Ternyata panas dan dingin memang tidak baik menyatu. Layaknya es yang bertemu dengan api. Pasti akan segera lumer dan mencair. Temperaturnya sanggup mengacaukan saraf. Menghilangkan kendali berpikir.” Chana dan Daniyal – Sensasi ⠀ Daniyal menghempaskan tubuh Chana ke atas ranjang. Agak kasar memang, tapi cukup untuk menghentikan makian Chana sekejap. Gadis itu melotot garang ke arahnya. Namun Daniyal makin tersenyum culas. Matanya menelusuri tubuh Chana yang basah kuyup, rambutnya yang riap-riapan, wajah pucatnya yang mulai merona karena amarah. Menarik sekali. Bibir gadis itu semakin mengecil, seperti sedang berusaha menelan umpatannya. Anehnya sikap Chana ini semakin tampak lucu di mata Daniyal. Menumbuhkan rasa jailnya yang telah lama hilang. Daniyal mengulum tawa. Menyilangkan tangan ke d**a. "Silahkan ganti bajumu Chana, lalu kita akan makan malam. Aku tunggu di bawah," ucap Daniyal seraya beranjak menuju pintu. Chana mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. "Apa tidak salah? Bukannya ini kamar terlarang untuk aku huni, Dokter Alfa?" Sahutan Chana sontak menyadarkan Daniyal. Ia ikut memandangi kamar itu. Kenapa bisa ia membawa Chana ke kamar ini lagi, padahal kamar tamu ada di lantai bawah? Ia menelan ludah, tapi sudah kepalang malu karena ia sendiri yang tanpa sadar menempatkan Chana di sini kembali. Pantas saja Mbok Sumi dan Pak Mansur terheran-heran melihat Daniyal pulang sambil menggendong Chana layaknya karung beras — ke lantai atas pula. Tapi anehnya, tadi gadis itu berhenti meronta karena melihat Mbok Sumi dan Pak Mansur, lalu melanjutkan hinaannya terhadap Daniyal setelah kedua sosok sepuh itu meninggalkan mansion — kembali ke paviliun mereka yang damai. "Dan pakaian mana tepatnya yang harus aku pakai?" tantang gadis mungil itu lagi. Daniyal menggertakkan gigi. Mengingat kembali ucapannya saat di kolam sore tadi. "Ambil pakaian apa pun yang bisa kamu kenakan di lemari itu, Chana!" tekannya. Gadis itu mendelik. "Aku tidak akan menyentuh benda apa pun di kamar ini lagi, Dokter Alfa. Aku hanya punya kain ini, jadi aku hanya akan memakai ini!" Chana mengibas roknya. Tetesan air berhasil menciptakan genangan lembab di karpet kamar. Daniyal menarik napas dalam-dalam. Mencoba bersabar. "Kamu akan masuk angin." "Aku tidak peduli." Daniyal memandang wanita mungil itu, matanya menyipit sebal. Belum pernah ada seorang pun yang berani membantah kata-katanya. Tapi cewek kerdil ini ... sepertinya sudah lupa dengan rasa takut yang Daniyal berikan padanya tadi sore. Daniyal berderap dengan langkah lebar menuju lemari pakaian. Menghempaskan pintu lemari, kemudian melempar beberapa potong gaun ke tepi ranjang. "Kenakan itu atau tidak sama sekali!" ancamnya. Netranya menyorot Chana tajam. Chana berjengit. "Aku bukan orang yang bisa diancam begitu saja, Dokter Alfa. Baru tadi sore Anda memarahiku karena memakai benda-benda ini dan sekarang, kenapa aku harus memakai ini lagi?!" "Karena sekarang aku mengizinkanmu memakainya, tentu saja," tekan Daniyal pelan dan berbahaya. "Kamu boleh menggunakan kamar ini dan pakaiannya dan seluruh isinya!" Gadis itu bergerak turun dari ranjang. "Aku tidak akan mengenakan pakaian itu. Aku lebih baik mati kedinginan dari pada ...." "Mati?!" Darah Daniyal seketika mendidih. Ia melangkah cepat mendekati Chana. Mencengkeram bahunya. Membuat Chana terduduk kembali di tepi ranjang. "Jangan sembarangan bilang mati, Chana. Aku berjuang menyelamatkan orang-orang yang berada di ambang kematian. Mengembalikan mereka bukan hal yang gampang. Begitu juga hidupmu! Jangan coba mengucap mati lagi!" Chana berjengit. Merasa terintimidasi oleh irish cokelat kemerahan Daniyal. Sepertinya yang dia lihat dulu itu bukan mimpi. Dokter itu memang punya mata seperti iblis. Bola matanya laksana kobaran api. Begitu menyeramkan. "Silahkan ganti bajumu sendiri atau aku yang akan melakukannya untukmu!" Chana menggigit bibirnya. Matanya melirik ke arah jendela. Hujan sepertinya sudah tidak sederas tadi. "Aku akan mengganti bajuku. Silahkan tunggu di ruang makan, Dokter Alfa." Daniyal mendengus. Terkekeh mengejek. Ia sempat melihat lirikan Chana ke arah jendela tadi. "Ini lantai dua, Chana. Dan mansion ini sangat tinggi. Jangan berpikir untuk kabur dariku. Hah! Memangnya kamu kira seberapa jauh kaki mungilmu itu bisa membawamu lari dariku, hum? Aku akan mengejarmu, menangkapmu lagi dan lagi. Paham!” Chana terdiam, merasa semakin terpojok oleh d******i dokter bertubuh tinggi atletis itu. “Kamu akan mengganti bajumu sekarang! Dan aku tidak akan beranjak dari sini," ujar pria itu sambil melemparkan jaket kuyup yang ia kenakan ke sudut ruangan. "Aku juga akan ganti baju di sini." Chana menggertakkan gigi. Daniyal tersenyum sinis melangkah ke arah lemari. Pakaiannya juga masih tersimpan di sana tentu saja. Ia mengambil baju kaos dan celana training yang biasa ia kenakan di rumah. Melemparkan semuanya ke atas ranjang. Chana hanya bisa melongo menatapnya. "Nah, sekarang aku akan menunjukkan padamu bagaimana cara mengganti baju. Mungkin saja kamu lupa." Pria itu melepas kaosnya yang basah, menampilkan otot-otot perut dan d**a yang bidang dan berbulu. Spontan Chana melengos. Ia benar-benar malu. Ia menunduk menutup matanya. Pria itu benar-benar tidak tahu malu. Bisa-bisanya ia membuka pakaian di depan wanita yang baru dikenalnya. Sudah berapa banyak wanita yang melihatnya seperti itu? omel Chana dalam hati. Pria itu terkekeh pelan. Lalu terdengar suara seperti celana yang dicopot. Wajah Chana semakin merona. Ingin rasanya ia menjerit. Dokter Alfa benar-benar vulgar dan tidak punya malu! Sungguh jelmaan iblis! "Now, your turn, Lady," desis Daniyal tepat di kuping Chana. Meninggalkan jejak hawa panas di sana. Chana bergidik. Reflek memundurkan tubuhnya, menjauh dari Daniyal. Ia membuka matanya, kemudian menutupnya kembali. Pria ini benar-benar raksasa, pikir Chana. Dokter Alfa sudah menukar celananya, tapi belum memasang bajunya. Otot-ototnya meregang setiap dia bergerak. Begitu kencang dan maskulin. Bagaimana rasanya menyentuh d**a itu? Chana menelan ludah. Ada apa dengannya? Mulai gila karena diguyur hujan? "Kamu malu? Ha-ha," tawa Daniyal mengejek, lalu kembali bicara dengan nada serius. "Ganti bajumu sekarang, Chana," tekannya. "Aku tidak akan melakukannya di hadapanmu. Aku punya yang namanya malu, meski Anda sepertinya tidak punya sifat itu." Tawa Daniyal kembali terlontar tanpa bisa ia tahan. Kenapa si kecil ini pembangkang sekali, huh? "Sayangnya aku sama sekali tidak percaya kamu akan menukar bajumu sendiri." "Kalau begitu aku tidak akan mengganti bajuku." "Jangan mengujiku Chana. Pakai bajunya dan aku akan berbalik. Atau tidak perlu pakai baju sama sekali! Pilih!" Chana tidak bergerak sedikitpun. Ia masih membelakangi Daniyal. "Baiklah, kamu tidak memberiku pilihan lain." Pria itu merenggut Chana, membalikkan badannya, bergerak mendekapnya. Wajah Chana terbentur d**a yang bidang dan keras. Bulu-bulunya menggelitiki wajahnya. Pria itu wangi. Wangi sabun yang lembut. Membuat Chana sulit berpikir. Ia mulai meronta, tapi Daniyal semakin mempererat pelukannya. Tiba-tiba .... KRAAAKKK ... SREEEKKK ...! Chana ternganga. Apa itu barusan? Wajahnya tertengadah menatap pria di hadapannya dengan mata tak percaya. Pria itu sedang tersenyum licik, mengejeknya. SRAAAKKKKK...!!! Sekali lagi terdengar bunyi sobekan di belakang punggungnya. "Ga ... gaunku ...?" ucap Chana terbata. Ia merasa bagian punggung bajunya telah sobek hingga ke pinggul. Lalu bagian lengannya mulai melorot. "Hartaku ...," bibirnya bergetar sedih. "Kamu merusak satu-satunya benda yang aku miliki ...?!!!" sekarang berganti marah. "Harta ...???" Daniyal mendengus. Tawanya lepas seketika. Wanita mungil ini benar-benar lucu. Bagaimana bisa long dress kelabu usang dengan tambalan dianggap harta? Daniyal menunduk mengamati wajah gadis yang sekarang berada dalam dekapannya ini. Ekspresi Chana masih tampak imut meski sedang marah sekali pun. Mata sipit itu berkilat memelototinya, bibir mungil Chana mengerucut. Tanpa sadar Danial menangkup wajah Chana. Menyentuh bibir gadis itu dengan jemarinya. Lembut. Bagaimana rasanya jika ia mengulum bibir itu? "Kamu akan punya banyak harta yang lain kalau kamu merelakan yang satu ini, Liliputku," desis Daniyal serak. Pria itu menatap Chana sendu. Tangannya mulai membelai lembut punggung Chana yang halus. Bermain perlahan di sana. Chana bergidik, merasakan sensasi aneh di kulitnya yang dingin dan tangan Daniyal yang panas. Napas pria itu mulai terdengar lebih berat. Jemarinya yang lebar, turun hingga ke pinggang Chana yang ramping. Perlahan meremas pinggulnya. Chana tersentak, desahannya keluar tanpa sengaja. Mereka sama-sama terkejut dengan reaksi itu. Daniyal melepaskan pelukannya tiba-tiba. Membuat Chana terhuyung, kembali terduduk di tepi ranjang. Pria itu tampak teramat gelisah dan marah saat bergerak menjauh. Membelakanginya. Kemudian menatapnya lagi dengan ekspresi berang. Persis seperti yang Chana lihat senja tadi. Tatapan pria itu kali ini berhasil membuat Chana menahan napas. Itu seperti mata pemburu. Dan Chana ... adalah mangsanya. "Aku menunggumu di bawah. Di ruang makan," ucap pria itu dingin. "Aku sangat lapar dan lelah." Daniyal memberi penekanan pada kata 'lapar'. "Jangan mencari masalah dengan pria sepertiku!" Daniyal terdiam sejenak. Mengatur napasnya. "Kalau kamu tidak muncul dalam sepuluh menit, aku akan menyusulmu ke sini. Dan aku berjanji, kamu akan menyesalinya kalau itu sampai terjadi!" *** Ruang makan sunyi laksana pemakaman. Hanya denting sendok beradu dengan piring dan bunyi detak jam di dinding yang terdengar. Bunyinya sama persis seperti debar jantungnya. Chana melirik Daniyal yang sejak tadi hanya diam di seberang mejanya. Pria di hadapannya ini, pikir Chana lagi – saat Daniyal menyesap gelas di hadapannya – persis seperti Dracula! Air mineral yang tengah di minum Daniyal seketika berfatamorgana menjadi cairan merah dan kental. Daniyal menengadah, menatap gadis itu tajam. Membuat Chana terperanjat kaget. Dokter Alfa tidak mendengar apa yang baru saja melintas dipikirannya, ‘kan ...? "Kenapa menatapku?" ucap pria itu sinis. Chana menelan ludah. Sekarang ia membayangkan taring mencuat di bibir kemerahan Daniyal. Chana berdehem, menenangkan diri. "Kenapa Dokter tidak membiarkan saja saya pergi dari sini? Saya tidak ingin merepotkan siapa pun." "Aku juga tidak repot." "Anda bilang, kecelakaan yang saya alami sudah disebarluaskan. Apa sudah ada kabar dari keluarga saya? Adakah yang mencoba menghubungi Dokter atau pihak rumah sakit ...?" Daniyal menghentikan makannya. Menatap Chana intens. "Belum. Sama sekali belum ada." Chana mendesah kecewa. Menggigit bibirnya. "Apa kita harus menggunakan kata 'Saya', 'Anda', sekarang?" Daniyal mencengkeram garpunya erat. Gawat! Pria ini sepertinya bakal meledak lagi! Chana berjengit. Ia cepat-cepat menggeleng. Dokter ini bisa membunuh siapa pun dengan temperamennya itu. Kasihan para pasiennya di rumah sakit. Mereka pasti stres. "Aku ingin pergi dari sini, Dokter Alfa." "Kenapa? Karena aku marah tadi? Bukankah aku sudah minta maaf?" Chana hanya terdiam. "Well, untuk saat ini kamu tidak bisa pergi ke mana pun Chana. Lagi pula kamu akan tinggal di mana?" "Aku bisa tinggal di mana pun. Lalu mencari pekerjaan." "Maksudnya tinggal di emperan toko?" Daniyal mendengus. "Bukannya aku sudah menjelaskan kondisimu sewaktu di rumah sakit," tekannya lagi. "Jangan keras kepala." Chana mendelik sebal. Ia mendongkol dalam hati. Kalau bukan karena kejadian tadi sore, ia pasti betah berada di sini. "Kenapa ...? Any complaints? Mau membangkang lagi, huh?" Daniyal mengulum senyumnya. Ekspresi penuh perlawanan seperti ini lebih cocok untuk Chana. Gadis itu tidak menjawab. Sebagai gantinya ia menyuap dan mengunyah makanannya dengan kesal, membuat tawa yang ditahan Daniyal meledak. "Makanlah yang banyak," ujar Daniyal, kemudian menambahkan, "Kamu benar-benar kurus. Sekurus lidi." Chana menggertak sebal. Ia butuh minum! pikirnya. Bersama Dokter Alfa membuat lidahnya terasa pahit, ingin mengata-ngatai Dokter menyebalkan itu. Ia meminum s**u yang disediakan Mbok Sumi di atas meja sampai tandas. "Yeah, minum susunya banyak-banyak. Siapa tahu bisa membantu pertumbuhanmu." Daniyal tergelak lagi sambil menyuap sendok terakhir di piringnya. Chana mendecak sebal. Membanting gelas s**u yang sudah habis di meja. "Kamu tahu Chana," lanjut Daniyal. "Kamu benar-benar kerdil. Sebesar liliput." Pria itu memperagakan ukuran Chana dengan menyatukan jari jempol dengan telunjuknya. "Dan berat mu, aku seperti membawa gulali tadi! Apa kamu cuma makan angin selama ini?" Chana mendelik jengkel. Ia sudah tidak tahan lagi! "Aku TIDAK kerdil! Aku bertumbuh sesuai standar rata-rata wanita Indonesia. Dokter saja yang terlalu besar seperti Raksasa Buto Ijo!" Daniyal semakin tergelak keras. Buto ijo! Hebat ...! Bagaimana bisa gadis ini mengingat makhluk sejelek Buto Ijo, sementara dia lupa masa lalunya dan dirinya sendiri ...? Ckck .... "Aku bertumbuh juga sesuai standar yang seharusnya." "Tidak!" bantah Chana lagi. "Laki-laki Indonesia tidak sejangkung dan sebesar Anda." "Oh ... kalau begitu aku mengikuti standar internasional." "Terserah!" Tentu saja. Pria ini memang sepertinya turunan bule, batin Chana sebal. Chana sudah berniat meninggalkan meja makan, ketika Daniyal menahan tangannya. "Habiskan makananmu dulu, Chana. Nasinya bisa menangis ditinggal begitu saja," ucapnya dengan tatapan tak terbaca. Chana menatap piringnya. Ia melihat masih ada sambal hati ayam dan beberapa sendok nasi lagi di sana. Ia suka hati ayam. Perutnya juga masih terasa lapar. Ia menyipitkan mata menatap Daniyal, kemudian duduk kembali. Menyuap makanannya. Awas saja kalau dokter vulgar itu meledeknya sekali lagi, Chana akan membalik meja makan ini! Chana juga akan melempar mangkuk sup ke kepala Dokter Alfa. Ia juga akan menginjak Dokter Alfa sampai jadi sebesar liliput! Lalu Dokter Alfa akan memohon ampun padanya. Huh! Rasakan! Daniyal berusaha menahan tawa melihat ekspresi Chana yang berubah-ubah. Dari cengiran wanita itu, ia yakin Chana pasti sedang membayangkan hal-hal anarkis terhadap dirinya. Tapi kali ini lebih baik Daniyal tidak mengganggu Chana dulu. Sampai gadis itu menyelesaikan makannya, tentu saja. Sebagai gantinya, Daniyal mengutak-atik ponsel-nya. Membuka akun instalkgram-nya, membalas beberapa direct message. Ia mengamati lagi postingan wajah Chana di feed dengan caption pencarian orang hilang. Daniyal berpikir sejenak, kemudian men-delete postingan itu. Ia melirik Chana yang tampak menikmati suapan terakhirnya, kemudian meminum air mineral. ⠀ "Apa kamu mau es krim?" tawar Daniyal. Mata gadis itu menatapnya berbinar. "Tapi besok." Daniyal terkekeh dalam hati. Ish! Kalau besok kenapa harus ditawarkan sekarang. Chana menatap pria itu penuh kesumat. Bahu Daniyal berguncang menatap wajah Chana yang seolah ingin membunuhnya. Ia sudah tak tahan. Akhirnya tawanya keluar juga. "Senang? Iya, senang! Anda gembira setelah membohongi saya?!" "Hahahahaha ... aku tidak bohong, okay …. Aku 'kan cuma tanya, apa kamu mau es krim. Aku 'kan nggak bilang mau ngasih kapan." Chana berdecak lagi. Melengos. "Besok, aku akan membawamu terapi. Kita bisa beli es krim setelah itu," Daniyal tersenyum lagi. "Malam ini istirahat yang cukup."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD