Prolog

1661 Words
Delapan tahun yang lalu ...  “Bu, kalau saya minta kuahnya apa boleh? Atau tetap bayar?” Pertanyaan itu terlontar dengan suara gemetar. Aku sangat lapar karena sejak pagi belum makan. Perutku perih, tetapi hanya ada uang lima ribu di dompet. “Enggak usah bayar, Mbak. Kuahnya mau dicampur nasi atau dibungkus sendiri?” “Kalau boleh dibungkus, minta tolong bungkus saja, Bu.” “Ya.” Dengan uang yang tersisa, aku membeli nasi padang di dekat fakultas. Benar-benar hanya nasi. Kebetulan, lima ribu sudah cukup. Dapat lumayan banyak pula. Sore ini aku akan memakan separuhnya saja, separuhnya lagi bisa untuk sarapan besok. “Saya kasih gorengan, mau, Mbak?” “Mau, Bu, mau!” sahutku senang. Saking senangnya, aku sampai tak sadar kalau volum suaraku naik. Aku buru-buru menutup mulut karena malu. “Tapi udah dingin dan lembek. Enggak papa?” “Enggak papa, Bu. Terima kasih banyak.” “Iya, sama-sama.” Setelah membayar, aku segera keluar. Kepalaku sampai pusing karena seharian ini perut belum terisi apa pun kecuali air putih. Sudah begitu, aku sedang datang bulan juga. Penderitaanku benar-benar terasa lengkap! Ketika aku baru saja tiba di trotoar, ponselku mendadak bergetar. Ada panggilan masuk dari Vina, teman satu jurusan. “Hallo, Vin?” aku memutuskan untuk duduk sejenak di pembatas pendek samping trotoar. “Iya, hallo! Udah makan belum, Sil? Main ke kosku, yuk! Malam ini aku enggak pulang ke rumah. Aku pengen ngajak kamu makan besar.” Suara Vina di seberang sana terdengar bersemangat. “Aku udah makan, Vin. Terus aku ada acara malam ini. Maaf, ya!” “Yaaah! Beneran?” “Iya. Lagi banyak tugas juga. Matkul pilihan.” “Oh, ya udah. Sekarang di kos? Atau di mana?” “Lagi otw kos. Sorry, Vin.” “Santai aja. Bisa kapan-kapan. Kalau gitu aku matiin, ya!” “Oke.” Setelah panggilan terputus, aku terdiam cukup lama menatap jalan raya di depanku. Jalan yang hampir tiap hari kulewati dengan jalan kaki. “Maafin aku, Vin, karena bohong lagi.” Aku menggumam pelan. Antara merasa bersalah dan tidak. Bicara Vina, dia adalah teman dekat—sebut saja sahabat, yang kebetulan terlahir dari keluarga kaya raya. Soal latar belakang, kami seperti langit dan bumi. Dia bisa dengan mudah mendapatkan apa pun yang dia mau. Tidak sepertiku, apa pun yang kuinginkan harus kuperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Aku bicara begini bukan karena iri. Tidak, aku sama sekali tidak iri. Setiap orang memiliki jalan hidup masing-masing. Di sini aku justru tidak enak karena sering sekali merepotkannya. Aku belum makan, tetapi bilang sudah, itu agar dia tidak perlu repot-repot mengirim makanan. Sekali dua kali, aku tak masalah. Rezeki memang tidak boleh ditolak. Namun, sejauh ini sudah terlalu sering. Aku tidak ingin terlihat memanfaatkannya. Aku berteman dengannya tulus, sama sekali bukan karena ada maunya. Dia juga bukan orang yang bertanggungjawab atas perutku. Aku bisa mengurus diriku sendiri meski kadang-kadang seperti ingin menyerah. “Mbak ....” Aku refleks menoleh ketika tiba-tiba mendengar suara perempuan. Ternyata ada seorang ibu-ibu dan anak kecil yang kini berdiri jarak satu meter dariku. “Iya, Bu, kenapa?” “Mbaknya apa punya uang sepuluh ribu? Maaf, Mbak. Saya terpaksa minta-minta karena uang hasil jual rongsok malah dipalak preman. Anak saya belum makan. Atau lima ribu saja, Mbak? Apa ada?” Mendengar itu, aku mencelos. Jangankan sepuluh ribu atau lima ribu, satu perak pun benar-benar tak tersisa. “Kebetulan enggak ada, Bu. Uang saya lagi habis.” “Oh, ya sudah.” “Tapi ini saya ada makanan. Cuma nasi sama kuah, sih. Eh, sama gorengan, tapi udah lembek. Mau?” “Mau, Mbak. Beneran mau dikasih ke saya? Mbak enggak papa?” Aku tersenyum. “Enggak papa. Saya bisa minta bantuan teman habis ini.” “Terima kasih banyak, ya, Mbak. Terima kasih!” “Iya, Bu, sama-sama.” Aku menyerahkan makananku pada ibu-ibu itu dan beliau menerimanya dengan suka cita. Beliau juga berterima kasih terus menerus, membuatku semakin tidak menyesal karena sudah merelakan makananku. Sepertinya, setelah ini aku harus cari cara lain untuk mendapatkan makanan. Bahkan jika harus bekerja lebih dulu, aku tak masalah. Aku yakin pasti ada solusi. Bukankah rezeki setiap hamba sudah tertakar dan tidak pernah tertukar? Setelah mendapat nasi dariku, ibu dan anak itu menepi di sudut trotoar. Mereka langsung membuka bungkus nasi dan makan dengan lahap. Aku tersenyum, ikut bahagia melihat senyum lebar si anak. Di lihat dari sudut pandang mana pun, aku masih lebih beruntung darinya. Sekalipun orang tuaku juga kekurangan, tetapi tidak sampai separah itu. Di saat aku masih memperhatikan mereka, lagi-lagi ponselku bergetar. Kali ini ada telepon dari Ibu. Aku berdehem pelan sebelum mengangkat panggilan. “Hallo, Bu?” sapaku tegas. Aku berusaha menyembunyikan suaraku yang sejak tadi agak bergetar. “Hallo, Sil. Sehat?” “Alhamdulillah aku sehat, Bu. Ibu gimana?” “Alhamdulillah, sehat juga.” Hening sesaat. “Sil, ibu mau minta maaf.” Suara Ibu tiba-tiba memelan. “Minta maaf untuk apa?” “Ibu enggak dapat pinjaman sama sekali. Ibu sama Bapak belum bisa kirim uang. Beasiswamu belum turun, kan?” “Belum, tapi enggak papa. Aman, kok, Bu.” “Beneran? Kamu udah makan atau belum? Punya uang atau enggak?” Air mataku seketika merembes keluar, tetapi aku buru-buru mengusapnya. “Udah, kok. Ibu tenang aja, ya. Soal uang juga Ibu yang tenang. Jangan pikirin aku di sini.” “Tapi—“ “Beneran, lho, Bu. Aku baik-baik saja di sini. Aku juga punya banyak teman.” “Bagus, kalau gitu. Maafin Ibu, ya, Sil. Semoga besok Ibu udah bisa kirim uang sekalipun seadanya.” “Jangan terlalu dipikir, Bu. Beneran tenang aja. Aku sambil kerja juga, kok. Dikit-dikit, tapi. Tiga hari yang lalu aku malah habis ngelesin anak dosen. Lumayan bayarannya.” “Syukurlah kalau kamu ada pegangan.” “Iya, Bu.” Kemarin memang masih ada, tetapi detik ini benar-benar sudah habis tak tersisa. “Ibu sendiri udah makan? Bapak? Terus Novia sama Putra?” tanyaku megalihkan pembicaraan. “Ini kami baru mau makan. Bentar lagi.” “Sama apa, Bu?” “Daun singkong, dikasih Bu Sum. Sama ikan asin dan sambal. Cabainya dikasih Lek Ummu.” “Wah, enak banget, pasti!” membayangkan masakan Ibu saja sudah sukses membuatku menelan ludah. “Ibu jadi kepikiran kamu lagi, Sil.” Air mataku kembali menetes. Barangkali Ibu bisa merasakan kalau anak sulungnya sedang kelaparan. “Kepikiran apa, lho? Aku beneran baik-baik aja. Untuk saat ini, yang aku butuhin cukup doa aja dari Ibu. Aku juga makan enak, kok, di sini. Pokoknya Ibu yang tenang. Aman semuanya!” “Ya udah. Teleponnya Ibu tutup dulu, ya, Sil. Ini Ibu ditungguin Bapak sama adik-adikmu buat makan bareng.” “Iya, Bu. Tolong salamin buat Bapak.” “Iya, habis ini langsung Ibu sampaiin.” Begitu panggilan berhenti, aku menghela napas panjang. Ibu tidak perlu tahu kesulitanku di sini. Yang memaksakan kehendak ingin kuliah juga aku, jadi aku harus bisa survive sebisanya. Terlahir dari keluarga kurang mampu tidak menyurutkanku untuk mengenyam pendidikan yang setara dengan teman-temanku yang berkecukupan. Ada banyak beasiswa yang bisa kuperjuangkan. Bersyukurnya, salah satu beasiswa bisa kutembus. Katakan aku egois, karena aku lebih memilih untuk kuliah alih-alih bekerja membantu orang tua. Namun, aku benar-benar ingin menimba ilmu lebih banyak lagi. Di kemudian hari, aku juga ingin bekerja di tempat yang layak agar mendapat uang yang banyak. Aku ingin sekali mengentaskan keluargaku dari garis kemiskinan. Jika tak signifikan, paling tidak taraf hidup kami meningkat dan menjadi lebih baik. “Oke, sekarang pulang aja. Aku pasti bisa bertahan.” Baru saja aku beranjak dan jalan kaki beberapa langkah, aku sudah mendengar seperti ada suara yang memanggilku. Lagi-lagi, suara perempuan. “Mbak, tunggu, Mbak!” Aku menoleh, mencari sumber suara. Ternyata, yang memanggilku adalah ibu-ibu penjual nasi padang. “Ibu manggil saya?” tanyaku memastikan. “Iya, Mbaknya.” “Ada apa, Bu?” “Ini Mbaknya dapat kiriman dari seseorang.” “H-hah?” Aku melongo. “Seseorang? Siapa?” “Enggak tahu. Yang jelas, cowok.” Aku semakin melongo saja. “C-cowok? Siapa, Bu?” “Beneran enggak tahu, saya. Ini tolong diterima. Saya sekadar menyampaikan.” “A-ah, iya, iya. Terima kasih banyak, Bu” “Sama-sama.” Begitu Ibu itu pergi, aku lekas membuka isi kresek. Aku mendelik ketika melihat dua bungkus nasi dan banyak lauk yang dibungkus dalam plastik. “Ulah siapa, ini? Masa iya, Vina? Eh, enggak mungkinlah. Kan cowok.” Akhirnya, aku berjalan cepat menuju kos. Kebetulan, kosku tidak terlalu jauh dari kampus. Setibanya di kos, aku segera mengeluarkan isi kresek secara keseluruhan. Aku bahkan belum meletakkan tas ranselku. “Ya ampun!” Aku sampai mengaga karena saking banyaknya. Rasa-rasanya, isi kresek ini bisa untuk makan bertiga atau bahkan berempat. “Eh, apa, ini?” Terakhir, aku melihat ada kertas yang dibentuk seperti amplop. Benda itu terletak di paling bawah. Aku langsung mengambil dan membukanya. Kini, mataku semakin mendelik. Bagaimana tidak, aku melihat ada segepok uang lima puluh ribuan. Tanpa menunggu lama, aku segera menghitungnya. “S-satu juta? Dari siapa, ini?” Di satu sisi, aku jelas senang mendapat rezeki sebanyak ini. Akan tetapi, di sisi lain aku juga khawatir. Maksudku, aku takut kalau uang ini adalah pancingan tumbal pesugihan. Baiklah, pikiran ini jelas konyol. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa saja memang begitu kenyataannya. “Eh, ada tulisannya.” Aku membongkar kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana. Jangan mikir macam-macam. Aku tadi salah satu pengunjung warung makan nasi padang. Anggap aja ini ganti untukmu yang udah gemetaran, tapi masih sempat berbagi ke pemulung dan anaknya. Makanlah yang banyak dan tanpa beban. Gunakan uangnya sebijak mungkin— F. A. “F. A? Siapa?” Aku mebolak balik kertas itu. Tidak ada clue lain selain inisial F. A. “W-wah ... b-baik banget!” kini, air mataku langsung mengalir deras. Aku sampai sujud syukur karena saking senangnya. Siapa pun itu di balik nama F. A, aku harap dia selalu sehat. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikannya. Sampai kapan pun! *** Yogyakarta, 23 Februari 2024
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD