KH - Sentilan

1550 Words
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (Ar-Ra'du : 28) *** Tiga bulan kemudian ... Fahri sedang menatap bingkai foto pernikahannya dengan Aisyah ketika suara pintu kamar diketuk. Ia melirik sekilas, sebelum kembali menatap fotonya dengan Aisyah yang berpakaian kebaya warna putih. Nampak kebahagiaan terpancar dari wajah masing-masing dan Fahri masih ingat dengan jelas betapa bahagia hatinya saat itu. Kreeet Ainun—ibu Fahri muncul dari balik pintu. Ia menghela napas kecil melihat anak lelakinya duduk dengan tatapan kosong di atas tempat tidur. “Ini sudah 3 bulan sejak Aisyah pergi. Sampai kapan kamu mau terus mengurung diri di kamar, Nak?” suara Ainun terdengar lemah lembut, pun dengan sentuhannya di bahu Fahri. Hatinya terasa miris sebab Fahri tetap diam tidak bergeming, sama seperti hari-hari sebelumnya sejak hari Aisyah dimakamkan. Ia terus diam, mengurung diri di dalam kamar dan mengisolasi diri dari dunia luar. Bahkan yang biasanya Fahri sangat rajin shalat lima waktu di masjid, membantu mengisi beberapa pengajian ketika ustadz tidak bisa datang, kini ia tidak pernah lagi melakukannya. Pun dengan bekerja. Ia terpaksa dikeluarkan dengan halus oleh atasan sebab tidak pernah masuk selama satu bulan, melebihi ijin cuti bahkan ketika ada kerabat atau keluarga yang meninggal. Fahri terlalu terpuruk dan tenggelam dalam rasa sedih seorang diri. “Fahri—“ “Fahri lagi ingin sendirian, Bu,” sela Fahri cepat. Tangannya mengelus foto wajah Aisyah yang langsung menimbulkan rasa nyeri di ulu hati. Abang rindu kamu, dek, batin Fahri meratap. “Ibu tahu kesedihan kamu, Fahri. Tapi Aisyah pasti akan sedih sekali jika tau kamu seperti ini,” ujar Ainun dengan mata berkaca-kaca. “Kamu harus ikhlas, Nak. Demi kebaikan kamu dan kebaikan Aisyah. Supaya jalan Aisyah di alam sana dimudahkan oleh Allah. Kalau kamu seperti ini, bagaimana perjalanan Aisyah bisa mulus di sana?” Teguran dari sang Ibu sedikit menyentil hati Fahri. Namun apa mau dikata? Perasaan Fahri terlalu jauh hancur pasca ditinggalkan oleh sang istri. Fahri belum siap kehilangan belahan jiwanya. “Assalamu’alaikum!” Suara salam dari luar rumah terdengar lantang. Ainun meninggalkan Fahri untuk menyambut tamu dan tak lama kemudian ia kembali ke kamar Fahri. “Fahri, Pak Faisal ingin bertemu sama kamu.” Mendengar nama ayah Aisyah disebut, Fahri langsung menoleh. Ia tertegun mendapati sosok pria paruh baya berdiri di tengah pintu, memberikan seulas senyum tipis pada Fahri, sementara wajahnya terlihat beberapa tahun lebih tua dari terakhir kali Fahri melihat. Pasti akibat terlalu lelah dan sedih kehilangan anak semata wayang. “Ayah,” gumam Fahri dengan nada bergetar. Setiap melihat Faisal, hati Fahri jadi tak karuan. “Apa kabar, Fahri?” tanya Faisal sebagai bentuk sapaan. “Kamu sudah makan?” Fahri menggeleng lemah dan itu membuat Faisal mendesah panjang. Ia menatap Ainun untuk meminta ijin masuk ke kamar menantunya. Ainun memberi tahu keadaan Fahri pada Faisal beberapa hari yang lalu, ketika mereka tidak sengaja bertemu di pasar. Saat itu, Faisal bertanya tentang kabar Fahri yang sudah dianggap seperti anak kandung sendiri semenjak menjadi suami Aisyah. “Sampai kapan?” tanya Faisal tiba-tiba. Ia duduk tepat di samping Fahri. Aroma minyak kayu putih tercium di indera penciuman Fahri yang langsung mengingatkannya pada sosok Aisyah. Istrinya itu juga sangat menyukai aroma minyak kayu putih. Meski tau apa maksud pertanyaan Faisal, Fahri tetap diam. Pandangannya kembali jatuh ke pigura foto pernikahan di tangan, sementara pikiraannya kembali melayang ke masa lalu. Masa di mana Aisyah masih hidup. “Sebagai seorang ayah, saya juga merasa sangat terpukul dan sedih atas kepergian Aisyah. Dia anak yang baik, penurut, sekaligus penyayang. Aisyah adalah satu-satunya anak saya. Jika saja mau, sayalah yang paling berhak mengurung diri di kamar. Bukan kamu. Kamu baru hidup sekitar 3 bulan bersama anak saya, tapi saya sudah hidup selama dua puluh lima tahun bersama Aisyah.” Sepeti biasa, Faisal selalu langsung berkata pada intinya. Ia bukanlah pria yang suka bertele-tele dalam menyampaikan maksud dan tujuan. “Tapi saya tidak melakukan hal bodoh seperti ini, Fahri. Bahkan tidak ketika dulu istri saya juga meninggal paska melahirkan Aisyah. Sebab saya ingat kalau ini semua adalah cobaan. Dan Allah melarang kita untuk berbuat dzalim pada diri sendiri. Apa yang sekarang kamu lakukan ke diri kamu itu termasuk perbuatan dzalim, Fahri. Bahkan tanpa sadar secara tidak langsung kamu juga sedang berbuat dzalim pada anak saya.”. Fahri mengerjab. Hatinya terasa tertohok hebat. “Ikhlaskan, Fahri. Jangan membuat jalan Aisyah menghadap Yang Maha Kuasa jadi berat, terhalang karena sebagai suaminya di dunia, kamu masih saja belum mengikhlaskannya.” Mata Fahri berkaca-kaca mendengar nasihat tersebut. Faisal benar. Harusnya jika ia memang mencintai dan menyayangi Aisyah, ia harus ikhlas dan ridho. Sebab yang menimpa Aisyah merupakan qadar. “Maafin Fahri, Ayah...,” ucap Fahri terisak. Kepalanya tertunduk sarat akan penyesalan. Faisal mengangguk, kemudian menarik Fahri dalam pelukan untuk berbagi kesedihan. Ia menepuk punggung pria yang pernah mendampingi hidup anaknya. Setelah beberapa menit kemudian, barulah ia melepaskan pelukan tersebut. “Sudah, sudah. Sekarang, saya dengar kamu juga sudah tidak bekerja lagi?” Fahri mengangguk kecil. Ia menyeka pipinya yang basah bekas air mata. “Kalau begitu kamu mau mencoba ikut mengajar di sekolah saya? Kebetulan sekolah sedang butuh seorang guru agama yang baru. Kamu kan lulusan pesantren, jadi saya yakin kamu bisa jadi guru yang baik.” “Nanti akan Fahri pikirkan, Yah.” Faisal mengangguk-agguk, kemudian menepuk bahu Fahri. Ia harap dengan cara ini Fahri bisa mulai bangkit perlahan-lahan. Setelah itu, Faisal mengajak Fahri mengobrol banyak hal untuk mengalihkan kesedihan. Sesekali ia menyelipkan beberapa nasihat sebagai orang tua. Sampai kumandang adzan ashar berkumandang, Faisal mengajak Fahri untuk menuju musholla. “Sudah lama bukan kamu tidak sholat di masjid? Sementara kamu tahu pahala sholat berjamaah di masjid itu lebih banyak dari pada sholat sendiri di rumah?” tanya Faisal. “Sholat di masjid juga bisa membuat hati kamu lebih tenang, lebih adem, dan kamu bisa lebih dekat pada Allah.” “Iya, Yah.” “Ya sudah. Ayo ambil air wudhu. Kita jalan ke sana bersama-sama.” Jarak antara masjid dan rumah Fahri tidak cukup jauh. Hanya sekitar dua ratus meter dari rumah. Fahri pun lebih suka berjalan kaki dari pada naik sepeda motor. “Sudah siap? Ayo!” ajak Faisal. Wajahnya terlihat sejuk dan teduh dengan bekas basah air wudhu. Setelah berpamitan pada Ainun—di mana wanita itu sangat terharu dan hampir menangis karena Fahri akhirnya mau keluar dari rumah— keduanya berjalan menuju masjid. Karena rumah Fahri bukanlah rumah perkampungan melainkan rumah yang terletak tepat di tepi jalan raya, mereka perlu melewati sebuah halte dan beberapa pedagang maupun pangkal ojek online yang sedang menunggu orderan. Sepanjang perjalanan tersebut, mata dan hati Fahri menjadi semakin terbuka. Di sana ada seorang anak lelaki berjalan ke sana ke mari membawa sebuah ukulele untuk mengamen. Di sana juga ada seorang nenek tua renta yang menengadahkan tangan meminta belas kasih pemberian orang. Ada juga pedagang asongan dan tukang semir sepatu yang sibuk menawarkan dagangan dan jasanya ke orang-orang yang lewat sebab saat itu halte bus cukup ramai. Bukankah orang-orang itu mendapat cobaan yang lebih berat dari pada Fahri? Selama ini Fahri tidak pernah mengamen saat masih kecil. Ia juga tidak perlu berpanas-panasan untuk menjajakan dagangan ke sana-sini untuk mencari sesuap nasi. Atau juga menjadi salah satu abang ojek online di mana mereka juga hanya mengandalkan orderan dari samrtphone. Lalu, masih pantaskah ia terpuruk? Masih pantaskah ia merasa hancur hanya karena ditinggalkan oleh istri tercintanya. Fahri mengucap istighfar dalam hati. Meminta maaf pada Allah karena keterpurukannya yang terlalu lama. Sesampainya di masjid, para jamaah yang mengenal baik Fahri menyambutnya. Bertanya kenapa lama sekali Fahri tidak terlihat di masjid dan betapa sulit mereka untuk kadang mencari pengganti ustadz untuk mengisi tausiyah di masjid ketika Pak Ustadz berhalangan hadir. “Kalau ada apa-apa bisalah hubungi kami. Kita itu saudara, Fahri. Harus saling bantu membantu. Janganlah dipendam sendiri.” Bahkan Koh Akong—seorang muallaf ber-etnis China mencoba menghibur Fahri. Lalu kenapa Fahri malah tenggelam dalam kesedihannya sendiri? Sekali lagi Fahri mengucap istighfar dalam hati. Selesai sholat, Fahri menggunakan waktunya untuk berdo’a. Ia menangis, meminta maaf pada Allah dan istrinya sebab kedzaliman yang telah ia lakukan selama tiga bulan ini. Dan Faisal benar. Setelah sholat berjamaah di masjid dan mendekatkan diri pada Allah, hati Fahri menjadi lebih tenteram. “Jangan lama-lama memutuskannya. Karena sekolah butuh seorang guru agama secepatnya. Saya nggak memaksa kamu juga. Jika kamu tidak mau ya nggak apa-apa. Hanya kabari saya saja, biar saya segera mencari orang lain. Kasihan anak-anak, ketika pelajaran agama mereka hanya diberikan tugas dan tugas tanpa ada guru yang mengampu.” Faisal berkata sebelum berpamitan. Fahri menyalami tangan pria paruh baya tersebut dengan penuh sopan santun. “Iya, Ayah. Nanti secepatnya Fahri kabari. Terima kasih.” Faisal pun pamit, menaiki sepeda motor tua miliknya. Meski ia adalah seorang kepala sekolah dan ketua yayasan, Faisal tidak memiliki banyak harta seperti orang berjabatan sama pada umumnya. Benar-benar sosok gambaran pria sederhana yang selalu berhati-hati urusan dunia. Ah, bukankah ini juga salah satu alasan dulu kenapa Fahri melamar Aisyah? Karena Fahri tahu betul jika buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Fahri berbalik. Siap masuk ke dalam rumah. Dari sudut matanya ia melihat Ainun mengusap air mata terharu. Perempuan berkerudung besar tersebut pun memeluk Fahri tanpa berkata apapun. Namun, Fahri tau. Ia juga harus minta maaf pada ibunya atas tiga bulan yang terlewatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD