Part 5 - Mental Tempe

1192 Words
Pras melangkah menuruni satu persatu tangga sembari memasang kancing kemeja di pergelangan tangan. Di bahunya tersampir sebuah dasi yang belum terpasang rapi. “Pasangkan saya dasi.” “Bukankah Bapak bisa sendiri?” “Buat apa saya memperkerjakan kamu jika semua harus saya lakukan sendiri?” Bersungut, dengan bibir mengerucut, Sasmita beranjak dari duduknya dan mendekati Pras. Sedikit berjinjit ketika ia memasang dasi itu karena tubuh Pras terbilang cukup tinggi. Cukup lama Sasmita bergulat dengan perdasian itu, ketika dasi itu sudah terpasang rapi, dan Sasmita mendongak, ia baru menyadari dan cukup tertegun melihat wajah Pras ternyata berjarak hanya beberapa senti darinya. Lantas Sasmita mendorong d**a Pras dan membalikkan badan; panik. “Kopi Bapak sudah saya siapkan. Saya mau ke rumah Bulik sebentar mengambil tas.” ** Sejak ia turun dari mobil bersama Pras. Beberapa pasang mata tampak menatap aneh ke arah mereka berdua. Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan? Batin Sasmita di setiap langkah ia mengikuti Pras menuju ke ruang kerjanya. Sampai di depan ruang kerja Pras, di sana sudah ada Laura dan Ednan. Kedua sekretaris Pras itu juga menatap penuh keterkejutan padanya. “Oh iya.. Sasmita sekarang akan menjadi asisten pribadi saya. Siapkan meja dan kursi untuknya.” “Baik, Pak. Tapi meja dan kursinya  baru ada besok.” “Tidak masalah. Sementara dia bisa bekerja di ruangan saya.” Pras masuk, diikuti Sasmita yang melangkah kikuk. Untuk pertama kalinya, Sasmita memasuki ruang kerja Pras. Ruangan itu tampak lega dengan pencahayaan yang cukup. Ada sebuah sofa set, meja kerja dan beberapa rak buku yang tampak tersusun rapi. “Sampai kapan kamu berdiri di situ? Duduk.” Sesaat, Sasmita memejamkan mata, dan meyakinkan diri jika ia memang harus lebih bersabar menghadapi Pras. Baru saja Sasmita duduk di sofa, pintu ruangan Pras di ketuk dan setelah itu sekretaris Pras yang bernama Laura masuk membawa sebuah tablet. “Bapak ada rapat dengan dewan direksi pukul sembilan hari ini, dan di lanjut menemui kolega bisnis dari Finlandia pukul dua siang nanti.” “Hmm..” Dari tempatnya duduk Sasmita mengamati cara bicara Laura yang tidak terbelit. “Bapak mau dipesankan makan apa untuk siang nanti?” “Biar Sasmita yang mengurus itu, segala sesuatu yang berurusan dengan saya, mulai sekarang Sasmita yang urus. Kamu bisa fokus sama tugas pokok kamu dan sesekali bisa membantu Ednan. Ah ya, beritahu Sasmita apa saja yang harus dia lakukan.” “Baik, Pak.” “Saya akan rapat dengan Ednan. Bilang padanya untuk segera bersiap – siap.” “Baik, Pak.” ** “Pak Pras selalu berganti baju selesai menghadiri rapat atau pertemuan.” Sasmita mencatat dengan cepat apa yang perlu ia catat, sembari ia mengikuti Laura yang melangkah menuju ke sebuah pintu di dalam ruangan Pras. Awalnya, Sasmita berpikir itu adalah pintu kamar mandi. Namun, saat Laura membuka pintunya, ternyata di dalamnya terdapat ruangan yang cukup lega; ada sebuah ranjang dengan seprei berwarna putih dan walkin-closet yang di dalamnya berisi kemeja – kemeja, jas – jas, celana, sepatu, jam yang terletak cukup rapi pada tempatnya. “Kamu hanya perlu mencocokkan baju apa yang harus Pak Pras gunakan sesuai jadwal selanjutnya.” “Dan jangan lupa mengembalikan aksesoris yang Pak Pras pakai ke tempatnya, seperti jam tangan. Dia akan marah jika ada barang miliknya yang diletakkan sembarangan.” “Hmm.. baik.” Laura tersenyum lalu menepuk bahu Sasmita dan berkata, “Goodluck. Mungkin awalnya bekerja dengan Pak Pras tidaklah begitu mudah. Tapi kamu akan terbiasa seiring berjalannya waktu.” “Iya, Mbak. Terima kasih,” ** Sasmita beranjak dari duduknya ketika pintu ruang kerja Pras terbuka dan pria itu masuk dengan langkah kaki yang cukup lebar. “Kamu sudah siapkan baju baru untuk saya?” “Iya, Pak.” Pras mengangguk. Dia melangkah menuju ruang rahasia di ruangannya itu lantas menarik dasinya, melepas satu persatu kancing kemeja dan celana. Pras memilih mandi terlebih dulu karena badannya terasa lengket. Usai membilas tubuhnya, dia tidak mendapati handuk di kamar mandi itu membuatnya menggerutu kesal. Sedikit membuka pintu kamar mandi, dia memanggil Sasmita yang berada di luar sana. “Sasmita!” “I—iya Pak?” Sasmita melangkah panik memasuki ruang rahasia itu. Dia menatap Pras dengan gugup, padahal hanya wajah pria itu saja yang terlihat. “Handuk saya mana? Kamu tidak menyiapkan handuk di kamar mandi, hah?” “Handuk biasanya di simpan di mana ya Pak?” “Ya mana saya tahu! Cepat cari!” Panik. Sasmita membuka setiap pintu lemari di dalam walkin-closet. “Masih lama tidak sih? Saya kedinginan ini.” “I—iya sebentar, Pak.” Sasmita berdoa dalam hati semoga ia bisa menemukan handuk itu dengan cepat. Hanya tinggal membuka lemari di sudut ruangan dan tepat di sana, Sasmita mendapati sebuah handuk lantas segera menariknya, karena terlalu panik, ia sampai tidak menyadari tumpukan handuk yang lain ikut terjatuh. Sasmita lalu mendekati pintu kamar mandi takut – takut dan menyerahkan handuk itu yang langsung Pras tarik dengan tidak sabar. Baru beberapa langkah Sasmita keluar dari ruang rahasia itu, ia di kejutkan lagi dengan suara Pras yang terdengar cukup berat, “Kamu suruh saya pakai celana tanpa memakai celana dalam gitu? Yang benar saja Sasmita!” Sasmita memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangannya. Hari ini belum tepat satu hari ia bekerja sebagai asisten Pras, tapi ujian yang harus ia lewati sudah sangat berat. Sasmita kembali ke kamar itu dan melihat Pras berkacak pinggang dengan handuk yang menutupi bagian pinggang ke bawah. “Maaf saya lupa, Pak.” “Lupa. Lupa. Kamu membuat waktu saya terhambat Sasmita!” Sasmita memilih abai. Dia mulai mencari kembali letak celana dalam Pras di simpan di lemari yang mana. Saat menemukan Sasmita tidak lantas langsung mengambilnya, lantaran ia memantapkan hati karena ini pertama kali ia menyentuh celana dalam seorang pria, dua hari ia menikah dengan Agung, belum pernah sekalipun Sasmita menyentuh celana dalam suaminya itu. “Lama banget sih!” Tiba – tiba sudah ada Pras di belakang tubuhnya. Pria itu lantas mengambil celana dalamnya sendiri. “Astaga! Lihat itu, Sasmita!” Tunjuk Pras begitu ia menyadari jika handuk – handuk miliknya sudah tergeletak di atas lantai, “Kamu ini bisa kerja tidak sih?” “Cepat bersihkan! Kalau perlu londry lagi handuk – handuk saya!” Sasmita benar – benar ingin menangis sekarang. Jujur dia tidak bisa diperlakukan seperti ini. Dengan sisa keberanian yang Sasmita miliki, wanita itu menutup lemari dan berbalik menatap Pras. “Saya tidak meminta bekerja menjadi asisten Bapak. Kalau menjadi asisten Bapak adalah permintaan Bibi saya, Bapak bisa menolak. Saya tidak bisa bekerja dengan orang sok bersih seperti Bapak.” “Apa katamu?” Tanya Pras geram. Dia maju selangkah hingga jaraknya dan Sasmita benar – benar menjadi dekat. “Saya mau resign. Sepertinya saya tidak cocok bekerja dengan Bapak.” Sasmita melangkah menjauhi Pras. Baru beberapa langkah, langkah Sasmita sontak terhenti mendengar kata – kata Pras seolah menohok hati, “Wanita tidak tahu di untung. Di luar sana banyak orang yang ingin mendapatkan pekerjaan, tapi kamu menyia-nyiakan hanya karena tidak tahan dengan sikap saya?” “Saya tidak butuh asisten mental tempe seperti kamu. Resign saja sana, dan kembalilah ke kampung halaman kamu. Kehadiran kamu di sini sudah cukup membuat hidup saya rumit.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD