Di Atas Kertas

1112 Words
Altran dan Naura kini duduk saling berhadapan di meja makan. Tidak ada makanan di atas meja hanya ada mereka berdua yang saling terdiam tidak memahami apa yang tengah terjadi saat ini. Naura hanya terdiam saja, dia bahkan tidak terpikirkan tentang apa yang saat ini tengah dipikirkan oleh Altran. "Menikahlah denganku!" ucap Altran dengan tatapan datarnya. Naura mengangkat sebelah alisnya, ia tidak memahami dengan apa yang diucapkan pria yang ada di hadapannya itu. "Tuan? Apa Anda waras?" tanya Naura menopang dagunya. "Lalu, apa yang akan kamu gunakan untuk mengganti ponselku yang kau rusak itu?" balas Altran dengan tatapan tajamnya. "Kenapa malah membahas ponsel? Bukannya kamu tadi berbicara hal yang tidak-tidak?" Naura meninggikan nada bicaranya. "Hmmm, begini saja, kau menikah denganku dan aku anggap kau mengganti ponselku!" ucap Altran. "Semudah itu?" seru Naura. Altran mengangguk, ia membenarkan apa yang ia ucapkan, bahwa jika Naura bersedia untuk menikah dengannya, ponsel yang harganya miliaran itu tidak perlu Naura ganti. "Tidak!" tegas Naura. "Kau!" Altran terdiam, dia tidak menyangka jika gadis yang ada di hadapannya itu, lagi-lagi menyangkal setiap ucapannya, bahkan tidak mematuhi apapun yang ia katakan. Dia terdiam memikirkan berbagai cara, agar gadis yang ada di hadapannya itu bersedia untuk menjadi istrinya. "Begini saja, kita menikah pura-pura dan sebagai bayarannya selain ponsel juga tidak perlu kamu bayar, aku juga akan membayarmu berapapun yang kamu minta!" tegas Altran. "Pura-pura? Tapi aku ...." Naura terdiam ketika dering ponselnya berbunyi, ia menghentikan Altran yang hendak protesnya dan mengangkat panggilan telephonnya. Cukup lama, Naura mengangkat panggilan telephonnya, hingga membuat Altran tampak gundah dan kesal kepada gadis yang saat ini tengah berdiri di dekat jendela. Altran semakin kesal ketika ayahnya hanya memberinya waktu 1 hari, untuk membuktikan bahwa dirinya memang sudah menikah dengan gadis yang ada di rumahnya itu. Akan menjadi bualan media jika diketahui seseorang bahwa di rumahnya ada seorang gadis bahkan dengan pakaian minim tanpa busana seperti saat ini. Setelah menutup telephonnya, Naura berbalik dan berjalan sembari mengangkat sebelah alisnya melihat raut wajah pria yang duduk di tempat yang sama seperti semula, terlihat sangat dingin dan mengerikan. Tanpa berbicara, Naura kini duduk di kursi semula masih berhadapan dengan Altran. "Sampai mana tadi kita?" Naura mencoba untuk membuyarkan keheningan di antara mereka berdua. "Kau diam di sini!" tegas Altran. Altran berdiri dan berjalan meninggalkan Naura yang mengangkat sebelah alisnya, dia terheran akan tingkah pria yang saat ini tengah berjalan menaiki tangga semakin menjauh dari pandangannya. Meski Naura tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh pemilik rumah, dimana saat ini dia berada. Namun dia hanya terpikirkan dengan ucapan keluarganya saat ditelepon tadi. "Sebaiknya aku tidak pulang saja! Akan sangat merepotkan jika aku harus kembali ke sana, capek juga," gumam Naura. Naura menopang dagunya di atas meja tanpa alas tangan, matanya mengedarkan pandangannya berharap Altran sudah kembali dari kamarnya. "Kenapa dia tidak membiarkan aku pulang saja? Jika aku sudah pulang mungkin aku tidak akan hanya mengenakan baju seperti ini saja," gerutu Naura. Gadis itu masih dengan dagu di atas meja, ia memiringkan kepalanya dan bersandar di atas meja. Dia terlihat tidak bersemangat. Di luar sana, masih terdengar petir dan derasnya hujan, yang semakin tidak memungkinkan Naura untuk kembali pulang. Altran menuruni tangga, dia mengerutkan dahinya melihat gadis dengan kemeja putih masih memperlihatkan bagian kakinya yang putih elok terlihat jelas. "Bisa g1la jika aku lihat terus," gumam Altran. Dia berjalan tanpa melihat ke arah yang terbuka di bagian gadis itu, dan menghampiri Naura yang tengah terdiam meski dia berdiri di sampingnya. "Kau bisa diam juga ternyata!" seru Altran. "Hmmm." "Tanda tangan ini!" perintah Altran. "Apa?" Naura masih dengan dagu di atas meja melihat kertas putih di hadapannya. "Jangan bilang kau tidak bisa baca!" Altran masih dengan dinginnya berbicara. "Cih, kau yang butuh, kau yang dingin!" gerutu Naura mendelikan kedua matanya. "Cepat baca!" Altran duduk berhadapan dengan Naura yang sudah duduk dengan benar dan membaca kertas di tangannya. Naura memajukan bibirnya mendengar ucapan Altran yang memerintahnya. Awalnya Naura hanya membacanya dengan biasa saja, sesekali dia memajukan bibirnya. *"Membaca hal itu saja berbagai ekspresi dia tunjukan, gadis aneh. Tapi dia menggemaskan! Eh apa yang aku katakan, jangan bilang ... " batin Altran memperhatikan Naura yng sedang memegang selembaran kertas darinya.* "Awalnya memang lumayan, tapi ini apa? Menikah, tinggal di rumah yang sama! Aku mengerjakan pekerjaan rumah! Aku yang harus selalu patuh! Jam tidur jam 9 Malam! Bangun jam 6 pagi harus sudah siap sarapan! Ini pernikahan apa perbudak@n!" protes Naura. "Kau tidak baca nominalnya?" balas Altran acuh. "Hmm, mayan sih! Tapi ... Aku bukan istrimu gitu? Tapi pekerja rumahmu?" tatap Naura. "Disini yang banyak di untungkan kamu! Hutang ponsel lunas! Dapat hidup enak tinggal di rumah mewah! Dapat bayaran, dan juga punya suami tampan sepertiku kau apanya yang rugi? Justru aku yang rugi ... Punya istri seberisik kamu, aku tidak bisa bayangkan hidup satu atap denganmu," Altran semakin memelankan suaramu. "Kau ... Uang di muka!" Naura terus terang. "Kan, kau memang di untungkan!" Altran tersenyum tipis penuh kemenangan. "Aku hanya kasihan sama kamu di tekan orang tua seperti tadi, aku wajib dapat bayaran di muka!" elak Naura. "Hmmm, tanda tangan perjanjian itu dulu!" seru Altran memalingkan wajahnya. "Baguslah kau tidak suka aku! Jangan lihat aku tiap waktu, nanti kau menyukaiku!" seru Naura sembari mengambil pena dan menandatangani kertas di hadapannya. "Kau juga!" tambah Naura memberikan kertas ke hadapan Altran. "Huh, banyak sekali percaya dirimu! Aku tidak mungkin menyukai wanita bugil sepertimu!" Altran merebut kertasnya dan menandatanganinya. "Aku bugil gara-gara kamu! Aku pulang saja!" protes Naura menatap tajam. "Kau tidur di kamar sebelahku saja! Masih hujan deras di luar!" seru Altran. "Aku harus pulang! Jika tidak, nanti ada seseorang yang tergoda oleh wanita bugil sepertiku!" gerutu Naura. "Kau sudah memakan makanan di rumahku! Sekarang juga minta di muka! Sana pulang! Aku tidak akan minta supir antar!" ucap Altran acuh. "Cih, dasar perhitungan! Pulang ya tinggal pulang," balas Naura. Naura berdiri dan berjalan mengambil tasnya, tanpa melihat pada Altran lagi, dia berjalan ke arah pintu keluar. "Eeh, dia beneran mau pulang?" gumam Altran tidak mempercayainya. Saat Altran meminum jusnya, terdengar sambaran suara petir yang saling bersahutan di langit gelap di luaran sana. Altran berbalik, dan ia terkejut ketika Naura berdiri di hadapannya. Dia mengangkat sebelah alisnya. "Aku nginap saja!" seru Naura berjalan meninggalkan Altran dan menaiki tangga tanpa berbicara lagi pada Altran yang tertegun. Naura memasuki sebuah kamar yang cukup luas kalau hanya untuk dirinya seorang diri saja, kalau bukan karena takut akan suara petir saat dia membuka pintu, dia tidak akan mau bila harus tinggal di rumah berdua saja dengan seorang pria. Dia sering kali akan ketakutan ketika mendengar suara petir yang menggelegar di langit penuh awan hitam. Hal yang tidak pernah ingin, dia berada di bawah air hujan dengan petir yang bertengkar seolah ingin menerkamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD