Tuduhan Hamil

1108 Words
Tuduhan di Malam Pertama Bab 1 : Tuduhan Hamil “Kamu sedang hamil, Vau?” tanya Mas Yuta saat kami baru saja selesai melakukan aktifitas malam pertama, matanya melotot tajam ke arahku. “Maksud kamu apa, Mas?” Segera kutarik selimut untuk menutupi tubuh. “Kamu sudah tidak perawan, Vaulin, dan kamu juga sedang hamil. Mengaku saja!” Suara pria yang baru tadi pagi menikahi itu meninggi, wajahnya merah padam, sembari memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa. “Tega sekali kamu menuduhku seperti itu, Mas. Aku masih perawan dan aku juga tidak sedang hamil!” bantahku dengan hati yang terasa teriris karena fitnah keji ini, air mata serasa tak tertahan lagi. “Jangan berbohong, katakan siapa pria yang menanam bibit haram di rahimmu itu! Aku tak menyangka kalau kamu itu wanita tak benar!” hardiknya lagi dengan mencengkram pundakku. “Mas, semua yang kamu tuduhkan itu tidak benar!” teriakku kesal dengan air mata yang tak tertahan lagi, sembari memegang tangannya yang kini mencengkram pundakku. “Jujur saja, Vaulin! Aku tak suka wanita pembohong!” Dia mendorongku kasar. Mas Yuta duduk di pinggir ranjang dengan memegangi kepalanya, ia terlihat sama terpukulnya denganku tapi di sini aku yang menjadi terdakwa dan jelas saja aku tak terima. “Mas, aku tak hamil!” ujarku dengan suara yang bergetar dengan sambil memakai lingeri berwarna putih yang tergeletak di atas ranjang. “Perutmu itu besar, Vaulin, dan aku tahu ... itu hamil. Apalagi kamu juga sudah tak perawan. Tega kamu menipuku!” Pria yang kukenal satu tahun lewat perjodohan hingga akhirnya sama-sama saling suka itu menatapku nanar, ia terlihat sangat murka saat ini. Kupegangi perut yang katanya membesar ini. Emang sih, perutku terlihat agak berisi dari biasanya. Aku juga telat datang bulan, tapi kukira itu biasa karena aku memang belum pernah berhubungan dengan siapa pun. Intinya aku masih perawan. “Vaulina binti Lukman Malik, aku jatuhkan talakku kepadamu malam ini juga,” ujarnya lirih yang membuat d**a ini menjadi sesak. “Mas!!!” pekikku dengan sambil turun dari tempat tidur, menatapnya dengan wajah yang semakin dibanjiri air mata. “Mulai malam ini, kamu bukan istriku lagi! Perceraian resmi akan kuurus besok.” Mas Yuta bangkit dari tempat tidur dan menatapku tajam. “Mas, kamu kok bisa gegabah begini, aku itu nggak hamil dan kamu bisa membuktikannya. Jangan memperlakukanku seperti ini, Mas!” Kugenggam tangan pria tinggi tegap itu dengan tatapan memohon. “Maaf, Vaulin, aku tak bisa hidup bersama wanita penipu sepertimu. Bisa-bisanya kamu yang hamil dengan pria lain, tapi malah menikah denganku. Aku tak mengapa jika ada pria lain yang kamu cinta, aku juga tak apa jika kamu membatalkan pernikahan kita waktu itu, daripada harus seperti ini akhirnya ....” Mas Yuta menatapku perih. “Kita buktikan besok, Mas, aku siap ditest kehamilan ke dokter karena aku memang tak hamil! Kumohon ... cabut perkataan talakmu itu jika aku tak hamil saat ini!” Aku menatapnya tak kalah perih, d**a ini sesak atas tuduhan yang tak pernah kulakukan “Baiklah, kita buktikan besok!” jawabnya dengan melepaskan tanganku darinya, lalu melangkah menuju lemari. “Kamu mau ke mana, Mas? Kumohon jangan pergi sebelum ada bukti atas tuduhanmu kepadaku!” Aku mengejarnya. “Jadi maumu apa sekarang, Vaulin? Kita bukan suami istri lagi sekarang, aku harus pergi. Besok pagi aku akan ke sini lagi untuk menjemputmu ke dokter,” jawabnya dengan sambil memasang jaket lalu melangkah menuju pintu. “Mas, jangan pergi!” Aku mengejarnya ke depan pintu dan menahan tangannya. Mas Yuta menepis tanganku lalu berlari menuju anak tangga karena kamar kami terletak di lantai atas rumahku. Kukejar dia hingga sampai tangga, dan mensejajari langkahnya. “Apalagi, Vaulin? Aku mau pergi, besok baru kita ke dokter untuk test kehamilan kamu!” ujarnya dengan berteriak nyaring saat aku menarik tangannya saat turun dari tangga. “Ada apa ini? Siapa yang hamil?” Mama dan Papa tiba-tiba sudah berada di depan kami. “Vaulina sudah hamil ternyata, Om, Tante, saya ditipu!” ujar Mas Yuta. “Maksud kamu apa, Yuta? Bagaimana mungkin Vaulin hamil sedangkan kalian baru saja memulai malam pertama?” Papa menautkan alisnya. “Maaf, Om, Tante, Vaulin sudah tak tak perawan dan dia juga sedang hamil saat ini, saya tak terima. Saya ingin kami bercerai malam ini juga,” jelas Mas Yuta dengan sambil menundukkan wajah. “Nggak, Mas, itu tidak benar!” bantahku dengan bergelayut di lengannya. “Benar, Vaulin, kamu hamil?! Siapa yang menghamilimu?!” Mama menatapku berang. “Nggak, Ma, tuduhan Mas Yuta tidak benar. Aku masih perawan dan aku juga tak sedang hamil!” Aku membela diri karena itu memang kenyataan. Mas Yuta menjelaskan kepada Mama dan Papa tentang perutku yang membesar, juga ciri-ciri yang menandakan aku sudah tak perawan lagi. “Baiklah, kita buktikan tuduhan kamu malam ini juga. Kalau tuduhanku salah, maka kamu harus rujuk kembali dengan Vaulin. Saya rasa semua ini hanya kesalah pahaman saja.” Papa melangkah ke ruang tengah lalu duduk, aku dan Mas Yuta juga Mama mengikutinya. “Zaki, segera telepon dokter keluarga kita! Suruh datang ke sini malam ini juga!” perintah Papa pada Kak Zaki, saudara angkatku yang ia pungut sejak usia 10tahun itu. “Baik, Pa!” jawabnya dengan sambil mengeluarkan ponsel. Satu jam kemudian, Dokter Mayang sudah selesai melakukan pemeriksaan terhadapku. Jantung ini berdebar tak karuan akan hasilnya yang akan ia katakan di ruang tengah nanti, di mana kedua orangtua juga suamiku yang sudah menunggu di sana. “Bagaimana, Dokter Mayang, hasil pemeriksaan terhadap Vaulina? Apa benar dia sedang hamil?” tanya Papa saat kami telah tiba di ruang tengah. Aku sangat yakin kalau tak sedang hamil, nggak ada sejarahnya manusia hamil tanpa dibuahi kecuali dalam cerita “Hamil anak ular” karya Evhae Naffae. Itu cerita bergenre fantasi, jadi sah-sah saja hal tak masuk akal pun ada di sana. Laah ... dalam genre drama seperti kisahku ini, sungguh sangat tidak mungkin. “Mbak Vaulin memang sedang hamil tiga bulan, bayinya sehat. Untuk memastikan lebih akurat lagi, bisa dilakukan USG ke rumah sakit.” Jawaban dari Dokter paruh baya itu membuatku melotot tak percaya akan kenyataan tak masuk akal ini. Sontak, seluruh mata kini menatap ke arahku. Mas Yuta menatapku sinis, begitu juga mama dan papa. “Bagaimana mungkin, Dokter? Aku belum pernah melakukan hubungan dengan siapa pun!" teriakku histeris dengan air mata yang mengucur deras. "Untuk lebih akuratnya, bisa dilakukan pemeriksaan ke rumah sakit, Mbak Vaulin. Saya mohon maaf, jika diagnosa saya ini salah." Dokter Mayang hanya berani menatapku sekilas. Mama terlihat menghampiri Dokter Mayang dan mengantarnya ke depan pintu. Tubuhku langsung luruh ke lantai, sambil memegangi perut yang diagnosa hamil ini. Siapa yang sudah menghamiliku? Lalu kenapa aku tak tahu? Apakah aku dikerjai saat tidur? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD