12. Kebaikan Tiga Pria.

1093 Words
"Mbak Jani! kenalkan saya Tedi!" Lelaki tampan itu menyodorkan tangannya, dan Jani pun menyambutnya dengan ramah. "Terima kasih, Pak Tedi mau ngajarin saya." ucapnya. Tedi menautkan kedua alis, seraya terkekeh. "Jangan Pak dong, saya belum setua itu. Boleh lah panggil saya Mas Tedi?" ujarnya. "Oh, iya, maaf. Mas Tedi." ralat Jani. "Ok, mari saya jelaskan bagaimana cara kerjanya." Anjani mengangguk, perempuan itu berdiri dengan melihat apa yang dijelaskan Tedi padanya. Bagaimana seorang administrasi bekerja. "Saya pikir, untuk saat ini cukup dulu ya. Saya akan menghendle pekerjaan yang belum saya jelaskan ke kamu. Nah, yang sudah di jelaskan tadi, monggo kamu kerjain." Tedi bangun dari kursi itu, dan mempersilahkan Jani untuk mendudukinya. "Kamu di SMK dulu pernah belajar kearsipan bukan?" tanya Tedi lagi. Jani mengangguk. "Iya, tapi mungkin di sini beda." "Enggak, ko, sama aja. Hanya saja di sini sistemnya imel ya. Kamu harus lebih sering cek imel yang masuk ya. Oh, ya. Kamu juga yang akan mencatat keungan yang masuk dan keluar. Uang itu harus jelas ya, tujuannya. Mau dipakai apa. Juga urusan Pak Himsa meeting ke luar kota. Kamu yang harus menyiapkan tiket dan akomodasinya." "Mmm, baik Pak. Ternyata rumit ya, pak, eh, Mas." Tedi terkekeh. "Enggak ko, pokoknya selamat bekerja. Kalau ada yang enggak kamu fahami. Kamu segera telpon ke ponsel saya. " Tedi memberikan kartu namanya. "Ini kartu namaku." ia meletakannya di atas meja. "Saya pamit!" Tedi berjalan ke luar dari ruangannya Anjani. Sepeninggal lelaki itu, Anjani menghela napas dalam. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Terima kasih, aku akhirnya bisa kerja dan membahagiakan kedua anaku!" setitik air mata jatuh di kedua matanya. "Mamah bisa beliin kamu baju baru, Katar. Mamah juga bisa beliin es krim kesukaan Andi!" perempuan itu menangis tersedu. Anjani bekerja dengan sangat sungguh sungguh. Bahkan ketika istirahat tiba pun, perempuan itu masih saja bergelut dengan laporan bulanan. Ia langsung hapal ketika tadi menjelaskannya. Banyak cita cita yang akan Anjani tunaikan. Yaitu ingin membahagiakan kedua putranya. "Kamu enggak makan?!" sebuah teguran di ambang pintu, membuat Anjani menoleh. Mendapati Tedi dengan gelengan tidak habis pikir. Anjani tersenyum dan menghampiri. "Saya belum lapar, Mas. Saya sangat suka pekerjaan ini. Saya bahkan enggak mau makan, gara gara duduk di sini!" celotehnya. Membuat Tedi terkekeh. "Aneh kamu! saya malah mumet dibuatnya! Kamu malah happy!" lelaki itu masuk dengan kotak makan di tangannya. "Ini makan siang untuk kamu! saya letakan di sini ya!" meletakan kotak itu di atas meja. Anjani mengikuti Tedi ke dekat meja. "Mas ngapain bawain saya makan siang. Kan saya bisa ke kantin kalau lapar mah." "Pak Himsa yang nyuruh. Sepertinya beliau tahu, kalau kamu akan hilaf kaya gini!" ledeknya. Anjani kini yang terkekeh. "Iya, aku terlalu bersemangat. Sampe enggak mau makan. Karena kalau ruangan ini ditinggalkan. Aku takut tiba tiba sudah ada penghuni yang lain, yang menduduki kursiku." kelakarnya. Dan sekali lagi membuat Himsa terkekeh tidak habis pikir. "Tidak akan ada yang menggantikan kamu, Jani. Kecuali kalau kamu sendiri yang mengundurkan di--" "Tidak! Aku enggak akan pernah mengundurkan diri! Aku akan bekerja menghidupi kedua anaku dengan sungguh sungguh. Bahkan sampai aku tua, dan mungkin perusahaan ini enggak akan lagi butuh aku." lirih sedih, Anjani pada akhirnya. Hal itu membuat Tedi terdiam dengan tatapan yang iba. "Kalau begitu tetap lah bekerja. Saya permisi dulu." Tedi keluar dan meninggalkan perempuan menyedihkan itu, setelah sekali lagi ia menatapnya dengan senyuman tipis. Apakah semua Ibu seperti itu? rela berkorban untuk kedua anaknya. Gumam Tedi. *** "Kamu tahu, Ali itu sangat baik. Dia memberikan Andi makan gratis. Dan juga s**u formula yang harganya cukup mahal untuk Katar. Fajar bahkan tidak pernah melakukan itu!" Ujar Mamahnya Anjani. Saat ini perempuan itu sedang berada di rumahnya sang mamah. Ia baru saja pulang bekerja. "Bang Ali memang baik. Tapi nanti Jani ke sana, dan mau bayar semuanya." ucap Jani pelan. "Loh, untuk apa? dia itu memberikan ini, memang sangat tulus. Dia mau mebantu kamu Jani. Dia juga tadi menggendong Katar. Dia sayang sama Katar. Dan sepertinya Ali memang menaruh rasa sama kamu, Jani." papar mamahnya lagi. Jani hanya menghela napas pelan. "Jani sedang tidak ingin memulai hubungan dengan siapapun Mah. Jani mau fokus sama kedua putra Jani." "Tapi apa salahnya Nak? kalau ali memang serius dan mau menganggap kedua anak kamu sebagai anaknya. Bukankah itu sebuah rizki yang baik?" "Jani juga insaallah bisa menghidupi katar dan andi Mah. Jani sekarang sudah bekerja keras. " "Tapi gajih seorang OG itu kecil, Jani. Kamu nantinya akan capek. Apa kamu mau tetap kerja di sana sampai tua?" "Mah, Jani bukan lagi seorang OG. Jani sekarang jadi administrasi. Gajih Jani lebih besar dari pada seorang OG." Mamahnya terlihat kaget. "Benarkah itu? kamu kan hanya tamatan SMK. Mana bisa kamu kerja di bagian administrasi?" "Yang punya perusahaan kecap itu adalah Pak Himsa yang dulu bertemu kita di pengadilan, Mah. Beliau menempatkan aku dibagian administrasi. Dan gajihnya lumayan, Mah. Pokoknya aku pasti bisa nanggung kedua putraku mah." antusias Jani. Mamah tersenyum dan mengusap pundak Jani pelan. "Syukurlah. Tapi kamu juga harus tetap meminta tanggung jawab pada Fajar! Mamah benci kalau dia cuma ongkang ongkang sama istri barunya itu." Jani menggeleng. "Jani tidak mau bertemu Fajar lagi. Jani bisa menanggung kedua anak Jani. Jadi Jani enggak perlu bantuan mas Fajar." Seperti yang dikatakan Jani bersama Mamahnya. Bahwa ia akan membayar apa yang sudah diberikan Ali pada kedua putranya. Dan di sinilah perempuan anggun itu berada. Di depan rumah makan sederhana milik Ali. "Eh, ada Jani?" Ali keluar dengan senyuman ramanhnya. "Bang, tadi s**u sama makan andi berapa semuanya?" tanya Jani to the point. Andi terlihat merenggut. "Loh, Jani. Aku enggak ngutangin kamu kok. Itu memang untuk Andi dan katar. Aku enggak akan ngutangin itu." "Tapi itu mahal, Bang. Jani enggak mau repotin abang." Ali menghela napas pelan. "Begini, Jani. Aku ngasih itu untuk andi dan katar. Aku menganggap mereka seperti saudaraku sendiri. Tolong jangan dipersulit ya?" ujar Ali sungguh. "Baiklah, Bang. Tapi lain kali jangan kaya gitu ya Bang. Jani enggak enak, jadinya. Jani enggak mau berhutang pada siapapun." "Ya ampun, Jani. Kita udah kenal lama loh. Kamu itu adik kelas aku. Kita pernah akrab kan di SMK? masa kamu lupa?" dan Ali pernah menyimpan perasaan yang cukup dalam dan lama sekali. Bahkan mungkin sampai saat ini, Ali masih mengharapkannya. "Iya, Bang. Makanya dari itu. Jani--" "Udah, ah. Mending kamu ikut aku makan yuk. Aku di dalem lagi makan, sama emak sama bapak. Ayolah!" Ali meraih tangannya. Tapi dengan lembut, Jani menolaknya. "Maaf kan Jani, Bang. Jani sepertinya enggak bisa ikut makan. Mungkin lain kali aja. Jani permisi ya...." perempuan itu segera berbalik dan meninggalkan Ali yang hanya bisa mengangguk tidak rela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD