4. Bertemu Teman Lama

1075 Words
Sampai di rumah kontrakan dekat dengan Mamahku. Aku segera meletakan Katar di kasur. Bayiku sepertinya kelelahan. Dan Andi aku suruh duduk di kursi. Kontrakan ini memiliki satu kamar besar, dapur, satu kamar mandi, dan ruang tamu dengan sopanya. Ada televisi dan kulkas juga. "Anjani, kenapa enggak tinggal sama Mamah kamu aja?" tanya Bi Edah. Dia adalah pemilik kontrakan ini. "Enggak enak ah, Bi. Enggak apa apa ko, kan deket. Mamah juga pasti sering ke sini nantinya." "Lalu suami kamu?" "Nanti diceritain ya Bi. Sekarang aku capek banget." "Iya deh. Tapi kamu laper enggak? Bi Edah udah masak. Mau makan enggak? itu Andi takutnya laper." "Enggak usah Bi. Nanti Aku beli ke depan aja." "Oh, ya udah, kalau gitu. Istirahat aja dulu ya..., Kalau butuh bantuan Bi Edan. Panggil aja ya." "Iya, Bi. Terima kasih ya ...," Kemudian Bi Edah pun pergi. Si sulung mendekat dengan wajah menggemaskannya. "Mih, Andi laper. Di depan ada warung nasi kan? kalau beli dulu boleh enggak?" aku tersenyum dan mengangguk. "Boleh sayang. Sekalian beliin buat Mamih juga ya..., nanti mamih tulisin. Andi tinggal ngasih uang sama catatannya aja ya?" aku sudah terbiasa memberikan catatan kecil untuk Andi, kalau aku menyuruhnya ke warung. Jadi dia sudah tidak bingung lagi. "Iya, Mih." dia duduk kembali. Dan aku segera membuat catatan kecil untuknya. Setelah selesai, ia pun pergi ke warung nasi di depan sana. Dan aku segera memasak air, sambil memasukan baju ke dalam lemari. Ponselku terus berdering, dan aku lihat, di sana ada panggilan dari Mas Fajar. Ku biarkan saja, karena aku memang sedang malas berbicara dengannya. Lagian, untuk apa dia menelponku kalau dia sama sekali tidak membutuhkan kami lagi. "Mamih, ini makanannya. " Dengan begitu semangat, Andi masuk dengan mambawa keresek warna merah. Di mana di dalamnya ada dua nasi bungkus beserta lauk dan sayur. "Mih, Abang abang yang di depan nanyain Mamih. Katanya Mamih pindah ke sini sama siapa? terus dia juga bilang gini. Gimana kabarnya mamih?" dia sibuk membuka makanan dengan mulutnya yang bawel. Aku terkekeh gemas. "Oh, itu Bang Ali. Dia pemilik warung nasi. Dia emang temannya Mamih dulu. Udah enggak apa apa. Kamu makan dulu aja." "Dia juga minta nomornya Mamih. Tapi Andi bilang enggak tahu, jadinya andi kabur." aku kembali terkekeh. Ali ini sudah sukses membuka usaha warung makanan meski dia masih lajang. Aku dengar, kalau dia memang sudah punya tunangan. Semoga saja segera menikah. "Udah, nanti ceritanya. Sekarang Andi maem aja ya..." Dia pun mengangguk seraya makan dengan lahap. Malam harinya aku melihat kedua anaku tertidur lelap. Tanganku yang di atas keyboard laptop malah terhenti. Kedua mata ini tiba tiba basah saja. Pernikahan kami yang begitu aku bangga banggakan di depan Mamah, ternyata berakhir seperti ini. Mas Fajar mendua, dan aku harus hidup mandiri menghidupi kedua anaku. Tidak! aku bukan mengeluh. Aku tahu ini memang seharusnya. Aku tahu Allah enggak akan ngasih cobaan ini kalau aku enggak sanggup. Allah tahu kalau aku sangat mampu melalui ini. Tapi kenapa Mas Fajar harus setega ini! Lagi ponselku berdering, dan tertera nama Mas Fajar di sana. Aku sama sekali tidak menyetuh ponselku itu. Ku hela napas, dan kembali mengetik novel yang harus tamat bulan ini. Aku butuh sekali uang. Jadi aku harus kerja keras agar novel ini cepat selesai dengan harga yang pantas. Sebuah pesan masuk. Mas Fajar (Kamu ke mana?) Mas Fajar(Kamu istri apaan sih? kenapa ninggalin rumah disaat suami tidak ada?) Mas Fajar (Mamah bilang, kalian tadi bertengkar ya? ko kamu bisa sih bertengkar sama Mamah? ko kamu sama sekali enggak hargai mamah aku sih) Mas Fajar (ANJANI! BALAS DONG! JANGAN CUMA DI READ AJA? KAMU PUNYA TANGAN KAN?) Aku hanya tersenyum kecut membacanya. Dia bahkan sama sekali tidak menanyakan kedua anaknya. Pantasnya dia akan rindu pada Katar yang sedang lucu lucunya. Aku bahkan tidak sanggup berpisah dengannya walau sedetik saja. Katarku. Ku tangisi bayi kecilku itu. Entah kenapa melihatnya tertidur lelap seperti itu. Semakin membuat hati ini nyeri. Andi dan Katar telah diabaikan oleh ayahnya sendiri. Pantaskah ini? Segera saja ku blokir nomornya. Aku sudah bertekad untuk menggugat cerai Mas Fajar. Dia bukan hanya selingkuh. Tapi juga telah menelantarkan kami bertiga. Aku punya bukti perselingkuhannya dangan perempuan yang bernama Indira itu. Di pengadilan pun aku yang akan menang nantinya. Keesoka harinya, aku harus mengurus sekolahnya Andi. Dia harus pindah ke sekolah TK yang dekat dengan kontrakan ku. Agar aku tidak perlu mengantar jemput. Dia memang sudah mandiri, jadi aku rasa dia tidak akan kesusahan untuk bersosialisasi dengan teman barunya nanti. Sampai di sekolah. Aku berbicara dengan Gurunya, dan kebetulan sekali Gurunya ini adalah teman sekolahku dulu, di SD. Dia Tiara. Dulu kami satu kelas. Meski sudah lama sekali tidak bertemu. Tapi aku masih ingat wajahnya seperti apa. "Ya ampun Jani. Seneng banget bisa ketemu kamu." "Aku juga tahu!" "Ini anak kamu yang kedua ya. Wah ganteng ya. Siapa namanya?" dia mengusap pipi embulnya Katar. "Katar anugrah." kataku. "Wah, lucunya." "Kamu udah punya anak berapa?" tanyaku padanya. Dia terlihat sedih. "Aku masih belum punya anak. Padahal kami sudah menikah sepuluh tahun. Aku tidak tahu apakah suamiku masih cinta apa enggak sama aku. Karena dia sekarang mulai dingin sikapnya sama aku, gara gara ini." Aku mengusap pundaknya. "Yang sabar ya..., kalau sudah waktunya, kamu pasti punya nanti." "Mudah mudahan Jani." Kami pun mengobrol seru. Kala Jani menyenggol lenganku. "Eh, itu mantan kamu, Sony. Kamu masih ingat enggak? cinta monyet kamu?" ledek Tiara. Membuatku menoleh ke arah laki laki yang memakai seragam Guru itu. Ah, itu kan masa lalu. Lagian masih SD itu namanya bukan pacaran. Dan kami memang tidak pernah pacaran. Biasa lah anak anak suka gosipin dan mencie ciekan kalau kamu bertemu secara tidak sengaja. Sony sekarang sudah dewasa dan tampan. Kalau dulu di gemuk dan lucu. Aku terkekeh. "Semua berubah ya? kamu masih inget kan kalau dulu dia gemuk banget?" tanyaku. Tiara ikut terkekeh. "Iya lah. Dia tembem. Sekarang aja dia ganteng. Duda lagi!" bisiknya. Dan aku hanya menyenggol lengannya Tiara saja. Karena Sony mendekat ke arah kami. "Eh, kamu Anjani kan?" tanya nya. Dan aku mengangguk dengan tawa renyah. "Iya, Sony gemuk. Sekarang udah gak gemuk ya?" dia tergelak. "Berubah dong, sekarang ganteng kan? Gimana? kamu udah mau kan saya aku?" ledeknya. Membuatku dan Tiara tergelak. Sony melihat Katar. "Anak kamu ganteng ya? anak kamu udah berapa?" dia bertanya. "Dua, tuh yang satunya!" Aku menunjuk Andi yang sedang bermain dengan teman barunya. "Wah! hebat. Aku masih belum punya. Enggak apa apa deh, anak kamu juga adalah anaku!" ledeknya lagi. Membuatku tergelak tidak habis pikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD