2. Akhir dari sebuah pilihan

1015 Words
"Tapi apa masalahnya? kenapa kamu ingin cerai dariku? apa salahku?" Anjani tersenyum kecil. Laki laki yang sudah bertahun tahun telah menjadi suaminya itu sama sekali tidak merasa bersalah. Atau memang dia memang sengaja melakukannya. "Mas yakin, Mas tidak tahu di mana letak kesalahan Mas?" pertanyaan Anjani hanya membuat Fajar terdiam beberapa saat, masih saja tidak mau mengakui. Baiklah, mungkin ini saatnya Anjani mengambil keputusan. Dia tidak peduli jika setelah ini Fajar benar benar menceraikannya. "Kamu selingkuh kan Mas?!" pertanyaan Anjani membuat kedua mata Fajar membulat. "Jangan fitnah, Anjani! Aku ini suami kamu!" "Lalu bagaimana dengan ini?" Anjani memperlihatkan screen shot percakapan antara Fajar dengan perempuan itu yang ia kirimkan ke ponselnya. Fajar tercengang. kenapa ia sebodoh ini. Harusnya ia tidak meletakan ponselnya di sembarang tempat. Kalau begini, Fajar mungkin sudah tidak akan lagi bisa mengelak. "Oh, kamu sudah membacanya," kalimat itu diucapkan dengan nada seorang Fajar memang sama sekali tidak peduli pada perempuan yang telah melahirkan kedua anaknya tersebut. "Jadi benarkan?" Fajar mengangguk pelan. "Aku khilaf, Anjani. Aku ini lelaki biasa. Aku bukan malaikat yang bisa menundukan kepala dan menjaga hati disaat melihat istriku sudah tidak cantik lagi. Dan tidak lagi perhatian padaku." jleb! Anjani meremas dadanya yang terasa sakit. tidak cantik lagi! "Anjani, aku ini laki laki. Memang sewajarnya jika aku melakukan ini. Apa kamu tahu, di luar sana pun banyak sekali yang melakukan ini. Yang penting kan aku masih menafkahi kalian, iyakan?" Gila! Anjani bahkan sudah tidak lagi menerima uang dari Fajar, sebagai nafkahnya. Ah, mungkin Fajar memang sudah tidak lagi peduli padanya. Anjani sudah tidak cantik lagi. Dan sudah tidak menarik lagi. Bagaimana bisa Anjani menarik lagi. Kalau yang dia urus adalah kedua anak, dan rumah juga segudang cucian yang menumpuk. Belum lagi, Anjani harus menulis agar ia bisa mendapatkan uang untuk biaya hidupnya juga kedua anaknya yang Fajar sama sekali tidak pernah bertanya apakah keduanya butuh sesuatu. Suami sudah selingkuh, juga tidak memberikan nafkah. Lalu untuk apa ada sebuah pernikahan, untuk apa ada komitmen. Anjani merasa kalau semua yang ia pikirkan adalah benar. "Tidak, Mas. itu tidak wajar. Perselingkuhan itu tidaklah wajar. Dan tentang nafkah yang Mas berikan. Apa Mas sudah yakin, bahwa semua kebutuhan kami Mas berikan?" "Anjani, kan kamu juga bisa nyari uang. Aku sedang kuliah. Aku yang lebih membutuhkan uang. Seharusnya kamu sebagai istri lebih bijaksana. Ini untuk masa depan kita." Tapi kamu selingkuh. "Aku ngerasa kalau Mas kuliah bukan untuk masa depan kita. Tapi untuk masa depan Mas sendiri. Bukan untuk kami!" Anjani ingin menahan sesuatu yang hendak keluar dari kedua sudut matanya. Ia benci kalau harus menangis di depan lelaki seperti Fajar. Tapi hal itu amat susah. Anjani tetap menangis. Airmata itu luruh meski tanpa suara. Dadanya terlalu berat dan menyiksa untuk ia tahan. "Maksud kamu?" Fajar tetap ngotot. "Mas kalau ingin menikah lagi dengan gadis itu silahkan. Tapi lepaskan dulu aku." Dia tersenyum kecil. "Anjani, kamu jangan mengada ngada dan salah kaprah. Aku tidak akan menikah lagi. Aku berhubungan dengan perempuan itu, hanya untuk pelampiasan saja. Tidak untuk selamanya. Kamu tahulah bagaimana beratnya kerjaan aku. aku butuh hiburan. Aku ingin sebuah kewarasan. Apa kamu senang sekali kalau aku gila?!" "Itu bukan alasan yang tepat, Mas. Hiburan tidak harus dengan seorang perempuan yang bukan istrimu. Hiburan tidak harus keluar dari norma agama dan bahkan membuat sebuah dosa. Mas bisa ambil cuti dan pergi bersama kedua anakmu." "Tapi aku bosan! aku ingin sesuatu yang baru. Dan gadis itu telah memberikan yang aku inginkan. Dia segar tidak layu seperti kamu. Dia wangi, tidak bau seperti kamu. Aku minta maaf, mungkin kata kataku terlalu kasar. Tapi Anjani, kamu sudah tidak lagi bisa merawat diri setelah melahirkan kedua anak kita!" deg! Anjani terdiam. lidahnya terasa kelu. kedua kakinya terasa gemetar. Seperti itukah ia dimata suaminya. Apakah lelaki itu tidak berpikir kenapa Anjani bisa seperti ini. Apakah laki laki itu tidak berpikir, gara gara siapa Anjani seperti ini? Perempuan itu hanya bisa menunduk dengan sebuah senyuman juga airmata yang luruh begitu saja. "Iya, aku tahu itu. Mungkin aku sudah tidak lagi layak untuk kamu, Mas. Baiklah, aku minta maaf untuk itu." Kedua mata berkaca kaca penuh luka itu tetap memperlihatkan binarnya. Ia tetap kuat di hina oleh suaminya sendiri. "Dari itu, buang saja aku Mas. Kita sudahi saja pernikahan ini. Aku akan pergi besok!" Anjani segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ia menutup mulutnya dengan tangis sesak. Ia tidak boleh membangunkan kedua putranya yang sudah terlelap. Anjani sudah tidak lagi memiliki harapan untuk pernikahannya. Fajar sudah tidak lagi mencintainya. Ah, mungkin Fajar memang tidak pernah mencintainya. Kalau memang iya, maka laki laki itu akan membahagiakannya. Bukan malah memberikan beban padanya. Selama menikah dengan Fajar. Lelaki itu sama sekali tidak pernah memberikan satu pun baju untuk Anjani pakai. Fajar menikah karena ibunya yang mengatur. Semua seserahan adalah dari uang ibunya. Lalu setelah selesai menikah, sampai mereka memiliki anak dua. Fajar tidak pernah memberikannya baju baru. Ah, pernah! waktu itu sekali. Fajar memberikannya baju gamis. Tapi itu pun mertuanya yang memaksa Anjani untuk membeli gamis itu karena harganya murah. "Beli saja, itu bagus. Harganya juga murah. Dari pada online. Sayang sayang uang. Belum tentu juga barangnya bagus!" Padahal kala itu, Anjani sama sekali tidak menyukai baju itu. modelnya tua dan warnanya juga tua. Tapi karena Anjani merasa tidak bisa mencari uang. Dan lagi, ia tinggal bersama mertuanya. Anjani pun manut saja. Lalu Fajar, ia sama sekali tidak peduli apakah Anjani butuh baju, atau dalaman, atau hal yang paling murah, seperti Bra. Tidak! Fajar tidak pernah membelikannya. Iya, mungkin Fajar memang tidak pernah mencintainya. "Mamih!" si sulung bangun, dia menghampiri Anjani. "Mami kenapa nangis? Mami ...," Anjani tidak menjawab. Ia hanya memeluk putranya dengan isakan yang semakin kuat. Anjani ingin mempunyai hubungan pernikahan yang bahagia. Anjani ingin kedua anaknya tidak merasa kehilangan ayahnya. Anjani tidak mau apa yang dia alami juga dialami oleh kedua anaknya. menjadi seorang anak yang terlahir dari keluarga broken home. Tapi apa yang harus Anjani lakukan. Ia tidak akan bisa melanjutkan hubungan yang sudah berat sebelah dan tidak sehat. Anjani sakit ditinggalkan Fajar. Tapi akan lebih sakit lagi kalau ia hidup dengan lelaki yang tidak bertanggung jawab seperti Fajar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD