14. Ali dan Mak Hindun.

1240 Words
"Kamu mending pulang aja, sama saya. Kasihan Katar." Ujar Himsa. Lelaki tampan itu saat ini masih menggendong Katar dengan penuh sayang. Terlihat dari caranya menatap Katar dan mengajaknya berbicara. "Tapi--" "Kamu bisa ke sini lagi, lah, besok. Minimal Katar harus bisa tidur dengan tenang. Di sini bising dan dingin. Lagian, kamu juga butuh istirahatkan? saya denger dari Tedi, kamu sampe pulang sore, tadi." papar Himsa, menatap beberapa saat wajah jelita itu, dan ia menemukan gurat lelah di sana. "Iya, karena banyak sekali yang harus saya pelajari. Oh, ya. Kenapa Pak Himsa ada di sini malam malam begini?" "Saya menjenguk sodara. Oh, ya. Kalau kamu mau pulang, mending sekarang aja?" Himsa melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Ia terlihat terburu buru, seolah sedang diburu waktu. Hal yang membuat Jani cukup segan. Orang yang begitu penting dan sibuk itu, masih memiliki waktu untuknya. "Eh, pak Himsa duluan aja. Saya masih ada yang harus dibicarakan sama Papah. Oh, ya. Untuk pinjaman tadi, saya benar benar berterima kasih, Pak. Saya belum satu minggu, tapi sudah berani meminjam uang." Jani bahkan tidak tahu, berapa bulan ia bisa menyelesaikan hutangnya itu. Mungkin uang gajih Jani akan habis hanya untuk membayar hutang. Lalu bagaimana ia bisa menghidupi kedua putranya itu? Jani jadi menggelengkan kepala pusing. Nanti saja itu akan ia pikirkan. Bukannya menjawab apa yang diutarakan Jani. Himsa malah menatap bayi mungil di dekapannya itu. "Saya enggak tenang, kalau Katar enggak pulang bareng saya. Bisa saja, kamu malah milih nungguin mamah kamu sampai pagi. Terus malah ajak Katar tidur di sini." terdengar kesal, juga helaan napas resah. Jani terkekeh. "Enggak lah, Pak. Saya pasti pulang. Cuma ya, saya harus bicara sama Papah dulu." Kebaikan hati Himsa menghadirkan rasa tenang untuknya. Lelaki menawan itu bahkan tidak membahas perihal hutang yang baru saja Jani bicarakan. "Baiklah, tapi saya beneran harus segera pulang. Nanti kamu naik taksi kan?" entah kenapa Himsa tidak tega kalau harus melihat bayi kecil itu terombang ambing oleh motor di malam hari. "Iya, Pak." bersyukur sekali memiliki bos seperti Himsa. Jani sungguh akan selalu mendoakan pria itu bahagia. Semoga lelaki itu segera mendapatkan pasangan yang lebih baik dari mantannya. Himsa menunduk kembali menatap bayi kecil itu. "Om pulang dulu. Bilang sama mamah, kalau Katar sudah mengantuk, ya ..., jangan lama lama di sini." kemudian ia menyerahkan nya pada Jani dengan sangat hati hati. "Beneran loh! kamu harus pulang. Katar capek, katanya." ujar Himsa lagi, ia mengingatkan. Jani tersenyum seraya mengangguk. "Iya, Pak. Terima kasih sekali." menerima putranya dengan rindu menggebu, meski baru beberapa saat Himsa menggendongnya. "Saya pamit, dan sampein ke Om. Saya sudah pulang." lalu ia berbalik, setelah sekali lagi menyentuh lembut pipi gembulnya Katar. Dalam diam, Jani menatap punggung tegap berbalut kemeja hitam berlengan panjang yang di gulung ke siku itu. langkah jenjang yang terbungkus oleh celana hitam juga sepatu kulit coklat mengkilat itu, begitu menawan dan menenangkan. Bianka adalah gadis hebat dan beruntung karena pernah memilikinya. Namun sayang, gadis itu bodoh, karena telah memilih lelaki lain untuk penggantinya. "Sayang sekali, padahal mereka sangat serasi." gumam Jani. *** "Nak Jani, Mak udah masak. Ayo makan! kamu pasti lapar kan?" mamahnya Ali menyambut perempuan itu dengan begitu ramah. Padahal Jani niatnya hanya untuk menjemput Andi saja. "Terima kasih, Mak. Jani mau jemput Andi." ujar Jani hati hati. Ia sungguh merasa tidak enak hati. Malam malam datang ke rumah orang lain. "Loh, Andi sudah bobo sama Ali. Kasihan dia kalau dibangunin. Nak Jani juga nginep aja atuh di sini. Kasihan katar." ajak Mak Hindun lagi. "Enggak, Mak. Kan rumahnya juga di depan jalan. Masa nginep, kan deket banget." "Ya udah, kalau gitu, Andinya biarin aja bobo di sini. Nanti pagi, baru pulang nya." Mak Hindun tetap keukeuh karena merasa tidak tega membangunkan Andi. "Baiklah, Mak. Terima kasih sekali ya." akhirnya Jani menyerah. Ia pun merasa tidak tega kalau harus membangunkan putra sulungnya itu. "Kalau gitu, Jani permisi ya?" Jani hendak pergi, namun Mak Hindun menahannya. "Sebentar, Nak. Mak wadahin makanan hangat dulu. Nanti di rumah kamu makan dulu ya. Biar asinya banyak. Kasihan Katar kalau asinya sedikit." perempuan berumur setengah abad itu berjalan cepat ke dalam dapur, lalu kembali dengan rantang, setelah beberapa menit. "Mak sudah angetin tadi. Mak pikir, Nak Jani mau makan di sini dulu. " beliau meletakannya di atas meja. "Dimakan ya ..., kalau enggak, masukin ke kulkas. Nanti pagi, tinggal diangetin. Capek, kalau kamu harus masak pagi pagi." tambahnya. Jani mengangguk dengan senyuman. "Duh, terima kasih sekali, Mak. Jadi ngerepotin banget. Padahalkan, sudah malam banget." "Iya, enggak apa apa." Mak Hindun mendekat dan menatap Katar. "Wah, ganteng banget. Dia tidur ya? sehat sehat terus ya Nak. Kasihan mamah kamu berusaha sendirian. Mak kesel jadinya sama si Fajar itu. Beneran dia udah nikah lagi, ya, kata ali?" Mak Hindun mengusap pipi embulnya Katar. "Iya, Mak." Duh, lelaki itu pasti cerita banyak pada Mak Hindun. Jani pikir, itu akan jadi rahasia saja. "Pokoknya, mak doain kamu biar dapet yang lebih dari si fajar itu! kamu itu cantik, Nak. Kenapa pula harus mau nikah sama laki macam fajar. Lelaki buaya darat! Mak marah jadinya!" dia berapi api, membuat Jani terkekeh. "Kamu juga! kenapa dulu malah nolak Ali. Padahal dia cinta sama kamu!" duh, Jani jadi malu. Dia sama Ali memang dekat. Namun tentu saja hanya sebatas teman sekolah. Ali sangat perhatian, juga begitu tulus. Namun entah apa yang terjadi, Jani malah menolak Ali dan memilih menikah dengan Fajar. "Padahal Mak udah nyiapain segalanya buat kalian. Eh, kalian dulu deket kan? hayo! kamu enggak tahu aja, kalau Mak sering lihat kalian jalan diem diem!" tuduh Mak Hindun, membuat Jani terkekeh mengenang masa lalu. Dia dan Ali sering pergi keluar. Tentu saja untuk mengerjakan tugas sekolah bersama. Dan itu tidak lebih. "Kami ada tugas, Mak." ujar Jani lembut. Mak Hindun merenggut. "Mak pikir, kalian pacaran loh!" padahal dia sudah banyak berharap. Ia sudah mengenal Jani dari kecil. Dia gadis yang baik dan berbakti ke pada orang tuanya. Dan Mak Hindung menyukainya. "Enggak, ko, Mak." "Tuh, kan. Kamu jadi diajak ngobrol sama Emak. Padahal udah malem banget. Ya kan, kamu sekarang sombong banget. Gak pernah mampir kaya dulu!" kesal Mak Hindun lagi. "Iya, nanti Jani usahain mampir ya Mak." "Iya, harus! kamu enggak boleh lupain emak!" Mereka malah ngobrol lagi untuk beberapa saat. Sampai Ali keluar dengan mengucek kedua mata. "Loh, Jani? kamu belum tidur?" ia mendekat. "Aduh, Mak. Jani pasti udah ngantuk. Mak jangan ajak ngobrol terus dong?" protes Ali. "Iya, iya. Ya udah, kamu anterin Jani pulang sana. Dia enggak mau nginep, katanya." ujar Mak Hindun pura pura tidak terima. Jani kembali pamit, dan pulang diantar Ali. Lalu saat ini keduanya sudah berada di depan pintu pagar kontrakannya Jani. "Bagaimana mamah kamu, Jan?" tanya Ali. "Mamah masih dioperasi. Dan aku belum denger kabar lagi." "Semoga baik baik aja. Kamu masuk gih, pasti capek banget. Kasihan Katar tuh," "Kalau gitu, aku masuk ya. Maaf banget udah ganggu malam malam." "Enggak apa apa ko. Oh, ya. Kalau kamu sibuk. Andi mending sama aku dulu aja." "Apa? bagaimana?" "Kamu pasti sibuk sama kerjaan dan pulang pergi ke rumah sakit. Bagaimana kalau untuk sementara, Andi sama aku dulu aja. Kasihan dia harus ke sana, ke mari terus." "Aku bener bener ngerasa gak enak, Bang." "Gak enak bagaimana? kita ini temenan udah lama." "Terima kasih sekali, Bang. Aku bener bener berterima kasih." "Iya, sama sama. Lagian, aku enggak keberatan kalau dia jadi anak ku, Jan." "Hah!" "Enggak, kok. Selamat malam!" Ali pergi terburu buru. Sehingga Jani dibuatnya bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD