Chapter 4

2199 Words
*POV AUTHOR* Luthfi memikirkan kembali hasil percakapannya dengan pengacara pribadi sekaligus sahabat karibnya beberapa waktu lalu. Pak Po memberikan saran yang cukup nyeleneh atas kegundahan yang kerap dialami Luthfi beberapa tahun terakhir. Bagaimana bisa seseorang berpendidikan tinggi seperti Pak Po, memberikan saran supaya Luthfi mencoba menjalin hubungan simbiosis mutualisme dengan wanita simpanan yang tidak melibatkan hati di dalamnya. Hanya untuk senang-senang saja, begitu kata Pak Po hari itu. Saran gila, begitu pikir Luthfi. Tentu saja Luthfi tidak lantas mengiyakan saran tersebut. Taruhannya nama baik kalau sampai hubungan gelap itu suatu hari nanti jadi konsumsi publik. Namun meski gila, Luthfi terus saja memikirkan saran nyeleneh dari Pak Po. Jari panjang Luthfi mengetuk pinggiran laptop beberapa kali. Pandangannya tak putus dari situs daring yang sedang terbuka di laman laptop, kiriman dari Pak Po. Terdengar sebuah ketukan pelan dari pintu ruang kerja dan sedetik kemudian Dani muncul di balik pintu kayu tersebut dan membuat Luthfi terkejut, hingga tanpa sadar menutup laptop begitu saja. "Hey, Pa!" sapa Dani dari ambang pintu dengan senyum memenuhi wajahnya. "Oh..., hay, Dan! Lagi happy kayaknya?" jawab Luthfi kelihatan kikuk. "Kelihatan banget ya?" balas Dani dengan wajah semringah. "Kamu senyum selebar itu, dilihat dari kuku aja Papa tahu kalau kamu sedang happy, Daniyal." "Waaaah..., nggak nyangka ternyata Papaku punya bakat terpendam menjadi paranormal." "Nanti coba Papa buat proposal untuk membuka prakteknya. Kamu nggak tahu saja kalau Papa punya six sense." "Aku jadi pasien pertamanya,” Dani membalas candaan demi candaan yang dilontarkan oleh Luthfi. Kemudian mereka tertawa bersama. Basa-basi dengan putra semata wayangnya memang selalu menjadi mood boster tersendiri bagi Luthfi. Terkadang Luthfi ingin tahu dari mana Dani belajar menjadi sosok yang humble dan menyenangkan seperti itu. Padahal Luthfi tidak terlalu sering berinteraksi dengan Dani, tetapi selalu berusaha mencari celah untuk bisa dekat putranya itu. Sedangkan Ana yang bisa dibilang orang yang sering berinteraksi dengan Dani justru sama sekali tidak memiliki ciri yang bisa ditiru pada pembentukan karakter menyenangkan seorang Dani. Meski Dani adalah manusia dengan tipe karakter mudah didekati dan terbuka pada siapapun yang sudah dianggap dekat dengannya, ada satu hal yang sulit Dani bagi pada orang lain termasuk Papanya, soal hati. Demi apa pun Dani sangat tertutup soal itu. Dengan Sagara saja dia tidak terlalu open untuk urusan hatinya. "Sibuk, Pa?" tanya Dani setelah duduk di salah satu sofa yang ada di ruang kerja pribadi Luthfi. "Biasa aja. Kenapa, Dan?" tanya Luthfi kemudian menghampiri anak semata wayangnya itu. "Lama nggak mancing." "Pasti lagi ada maunya kamu." "Tuh kan ketebak lagi," jawab Dani lalu pura-pura lesu. Luthfi tertawa. "Mau ganti mobil? Bosan sama motor sport? Pengen ganti matic aja?" jawab Luthfi setengah bercanda. "Boleh tuh ide Papa. Kurang asyik sekarang naek motor sport." "Yakin?" "Yakin. Tapi sebenarnya bukan itu yang mau Dani omongin." "Lantas?" "Apartemen yang waktu itu Papa kasih sebagai kado ulang tahunku, apa boleh aku tempati?" "Kamu itu ngomong apa. Ya bolehlah. Itu apartemen kan Papa kasih buat kamu." "Tapi Mama gimana, Pa?" "Jangan terlalu dipikirkan soal itu. Papa senang kalau kamu mau belajar hidup mandiri. Tapi satu pesan Papa, Martha tidak boleh ikut bersama kamu." Dani terbahak mendapat ultimatum seperti itu dari Papanya. Luthfi hanya tersenyum lalu menepuk dan meremas pelan bahu anak kesayangannya itu. Ada rasa bangga dalam diri relung hati Luthfi bisa memiliki anak seperti Daniyal. Selain sifatnya yang menyenangkan, Dani tidak pernah merepotkan kedua orang tuanya. Dani hanya menerima apa pun pemberian kedua orang tuanya tanpa meminta apalagi menuntut untuk dipenuhi keinginannya. Keduanya lalu mengobrol ringan sebentar dan diakhiri dengan janjian memancing bersama di tempat wisata memancing milik salah satu adik perempuan Luthfi yang letaknya cukup jauh dari keramaian ibukota. Sepeninggal Dani, Ana masuk ke ruang kerja pribadi Luthfi. Wajahnya terlihat masam tetapi Luthfi tak menghiraukannya. Dia terus saja membaca dokumen-dokumen penting di meja kerjanya. "Maksud Mas Luthfi apa mengizinkan Dani tinggal di apartemennya? Sengaja mau memisahkan aku sama Dani?" "Ngomong sambil ngigau ya gitu, ngelantur!" jawab Luthfi tanpa memindai tatapannya dari lembaran-lembaran kertas yang sedang dirapikannya. "Aku serius, Mas!" "Aku juga serius. Apa yang ada di kepala kamu sampai menuduh aku mau memisahkan kamu dengan Dani?" "Tarik omongan Mas Luthfi terkait izin tinggal di apartemen itu." "Laki-laki itu yang dipegang omongannya. Kalau aku semudah itu menarik setiap ucapanku, yang ada aku mudah disepelekan oleh siapapun, termasuk Dani." "Mas?!" pekik Ana seraya menggebrak meja kerja Luthfi. Seolah ingin menunjukkan amarahnya. Luthfi beranjak dari kursi kebesarannya, melangkah lebar ke hadapan Ana. "Belajar bersikap dewasa pada Dani. Dia tahu caranya menghadapi situasi saat ingin meminta sesuatu hal yang penting. Kamu dan Dani sama-sama anak tunggal dengan latar belakang orang tua yang kaya raya. Tapi entah bagaimana ceritanya sikap kalian bisa sangat bertolak belakang. 21 tahun hidupnya, Dani tidak pernah membantah saat ada keinginannya aku tolak. Sedangkan kamu? Bisanya cuma merajuk seperti anak kecil setiap kali keinginanmu tidak aku penuhi." Luthfi meninggalkan Ana begitu saja. Ana berhasil meraih tangan Luthfi, tetapi Luthfi sedang malas dan bahkan mungkin memang selalu malas jika harus memperdebatkan hal sepele dengan Ana yang selalu bisa memicu pertengkaran. Luthfi lelah. *** *POV JINAN* Setelah beberapa minggu tinggal dengan Irza, aku sudah hapal rutinitasnya. Salah satunya setiap Jumat, Irza pasti keluar kos di atas pukul sembilan malam dengan mengenakan pakaian yang jarang ia gunakan sehari-hari. Dia akan kembali ke kosan entah di pukul berapa. Aku tahunya saat bangun subuh dia sudah tertidur di lantai kamar tanpa mengganti pakaiannya. Saat aku membangunkannya untuk mandi dan makan, dia hanya bangun lalu pindah ke atas ranjang dan akan terbangun tengah hari atau saat hari sudah hampir sore. Dari situ aku mulai mencari tahu dengan memaksa Irza menceritakan apa yang ia kerjakan setiap malam Sabtu. Akhirnya aku tahu bahwa Irza melayani lelaki hidung belang di losmen murah hanya demi mendapat penghasilan tambahan untuk menyambung hidupnya. Gaya hidup lebih tepatnya. Malam Sabtu ini dia melakukan segala persiapan untuk acara malam sabtunya. Aku menyodorkan mie goreng instant lengkap dengan telor ceplok untuknya. Namun sepertinya dia masih marah padaku setelah aku memprotesnya dua hari yang lalu soal jual diri. "Mestinya lo terima duit yang gue kasih kemarin. Bisa makan enak kita sekarang. Bosen gue makan mie mulu," ujar Irza menyingkirkan piring berisi mie goreng yang aku sodorkan. "Dua hari lagi aku gajian. Kita makan enak,” jawabku malas. "Kenapa sih, kalau pakai uang itu?" "Silakan! Tapi kamu makan sendiri. Aku ndak ikutan." "Sok suci lo!" "Emang masih suci." "Halah! Gue mau makan enak sendirian aja kalo gitu. Bye!" Lantas Irza meninggalkan kamar kos begitu saja. Tak memedulikan sikap kekanakan Irza lagi, aku menghabiskan sendiri mie goreng yang sudah aku siapkan untuk Irza. Akhir pekan ini aku dan Dani tidak bisa bertemu karena katanya dia ada acara bersama keluarga besarnya di luar kota. Penampilan Dani membuatku penasaran keluarga besar seperti apa model keluarganya Dani? Dilihat dari Dani yang selalu ceria, dan hatinya yang mulia, dia pasti memiliki orang tua lengkap yang bahagia, harmonis, saling menyayangi dan tidak pernah bertengkar. Ayahnya pasti bukan tipe tukang selingkuh seperti ayahku. Tante Ana sendiri menurut aku adalah tipe wanita kaya yang anggun dan ramah. Suaminya pasti sangat beruntung memiliki istri sesempurna Tante Ana. Sedangkan Dani pasti beruntung memiliki keluarga utuh seperti itu. Aku jadi iri padanya. Tepat di saat aku sedang memikirkan Dani. Telepon genggamku berdering nyaring. Sebuah panggilan masuk dari kontak telepon Dani. Aku tersenyum melihat wajah Dani tampil memenuhi layar ponselku. "Jinan maaf ya," balas Dani setelah kata hallo meluncur dari bibirku. "Maaf? Kamu melakukan kesalahan apa, Dani?" "Weekend ini kita nggak bisa first dating." "Hah? Opo iku? Jangan pakek istilah-istilah yang ndak aku mengerti. Sudah aku bilang kalau IQ ku cetek. SMA aja kejar paket C." "Iya, sayang, iya. Maafin aku sekali lagi." Aku otomatis membekap mulutku sendiri. Kata sayang yang sebenarnya sudah sering aku dengar itu kenapa begitu terdengar manis saat Dani yang mengucapkan. "First dating itu kencan pertama. Kan sekarang kita sudah resmi pacaran." "Oalah. Eh..., sejak kapan kita pacaran?" "Dua hari yang lalu." "Kan aku belum jawab." "Kamu diam saja waktu aku cium, itu tandanya kamu menerima pernyataan cintaku." "Semudah itu? Ndak ada adegan ditembak pakai bunga mawar dan boneka teddy bear kayak di film-film televisi?" Dani terbahak. Suaranya ketika tertawa itu yang selalu aku ingin dengar entah dari pengeras suara ponsel maupun saat bertemu secara langsung. "Oke kalau kamu maunya seperti itu. Tapi nggak bisa minggu ini ya. Soalnya aku ada janji mau mancing sama Papaku." "Aku cuma guyon, soal tembak menembak tadi. Jangan diambil hati." "Ya sudah. Aku masuk kelas dulu ya, Nan. Kamu hati-hati ya berangkat dan pulang kerjanya. Kabari aku kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu." "Injeh Mas Dani sing paling guanteng dewe." Dani tertawa sekali lagi. "Aku suka dipanggil Mas Dani. Mulai detik ini panggil aku dengan sebutan itu ya, Nan," ujarnya serius, setelah meredakan tawa begitu saja. "Iya, Mas Dani." Dani mengakhiri teleponnya. Sepertinya dosennya sudah datang dan dia terburu-buru masuk kelas. *** Jarum jam di dinding toko sudah menunjukkan pukul sepuluh. Aku duduk sambil selonjoran. Melelahkan sekali bekerja di shift malam ketika akhir pekan seperti ini. Pengunjung benar-benar berhenti berdatangan ketika salah satu pegawai Ana’s Bakery membalik papan kecil di pintu kaca dari open menjadi close. "Jinan, lo selesein cucian piring di belakang ya. Gue udah tutup kasir, nanti lo yang tutup toko ya," ujar mbak Ratih dari balik pintu dapur. "Aku lagi, mbak? Kemarin kan sudah." "Cuma sisa dikit doang kok. Nanti kunci tokonya lo antar ke kontrakan gue ya. Tau kan kontrakan gue? Jalan dikit aja dari sini udah nyampe kok. Atau kalau udah selesai tutup toko telepon aja, nanti gue ambil ke sini." "Daripada wira wiri gitu, kan mending Mbak Ratih nunggu aku bentar selesein beres dapur trus kita tutup tokonya barengan." "Bukannya nggak mau nungguin elo. Tapi sekarang  gue lagi buru-buru, pacar gue udah nungguin daritadi.  Gue nggak bisa pulang dengan ninggalin dapur dalam keadaan nggak bersih. Kalau Tante Ana besok datang ke sini, bisa habis kita semua kena omelan dia." Aku diam saja dan Mbak Ratih mengartikan aku setuju dengan perintahnya. Suara pintu kaca tertutup menandakan bahwa tinggal aku sendirian saja di toko ini. Demi menghemat waktu aku bergegas ke dapur dan menyelesaikan sisa pekerjaan Mbak Ratih. Lututku seketika lemas saat melihat tumpukan piring, gelas dan sendok masih belum tersentuh oleh sabun pencuci piring. Mbak Ratih bohong soal sisa dikit doang yang diucapkannya tadi. Setelah memastikan dapur dan toko dalam keadaan bersih dan rapi, aku meninggalkan toko. Hingga lima belas menit menunggu, Mbak Ratih baru muncul bersama kekasihnya untuk mengambil kunci toko. Aku bisa merasakan kalau tatapan kekasihnya Mbak Ratih kurang menyenangkan saat melihatku, menyeramkan lebih tepatnya. Saat mbak Ratih dan kekasihnya sudah meninggalkanku, laki-laki itu menoleh ke arahku. Dia mengedipkan sebelah matanya sambil meremas bongkahan b****g Mbak Ratih. Aku hanya bergidik ngeri lalu membuang pandangan tidak melihat ke arah laki-laki yang sedang dipeluk mesra oleh Mbak Ratih. Aku melangkah cepat menyusuri lorong gelap menuju kosan Irza. Baru kali ini aku pulang selarut ini sendirian. Biasanya Irza menjemputku di depan jalan besar. Namun, malam ini dia sedang ada acara di tempat kerjanya. Katanya acara perpisahan bos lama dan menyambut kedatangan bos baru. Sepuluh meter lagi aku sampai di kosan, ada yang menepuk pundakku. Meski pelan tapi aku sangat terkejut dan melonjak kaget. "Bang Roman? Kirain siapa?" laki-laki yang mengejutkanku adalah bang Roman. Pria bengis yang aku pergoki keluar kamar Irza beberapa hari lalu. Irza sudah memperkenalkannya padaku kemarin. "Sendirian aja, Neng?" tanya Bang Roman sambil merangkul pundakku. Aku berusaha melepas rangkulannya tapi Bang Roman justru semakin meremas pundakku. "Iya nih, Bang. Irza lagi ada acara di tempat kerjanya," jawabku takut-takut. "Gua temenin sampe kosan ya. Bahaya cewek cantik kayak elu jalan sendirian tengah malam begini." "Dikit lagi sampai kok, Bang. Makasih," jawabku melanjutkan langkah setelah berhasil lepas dari rangkulan tangan besar Bang Roman. Padahal aku sudah menambah kecepatan langkah, tapi Bang Roman tetap mengikutiku. Jantungku semakin berdebar tidak keruan. Napasku terasa pendek-pendek karena langkah cepatku, juga karena ketakutan diikuti Bang Roman. Sejak pertemuan pertamaku dengan Bang Roman, aku merasa kalau dia bukan pria baik-baik, bahkan jauh dari kata baik.  Aku sama sekali tidak memedulikan pria itu meski terus mengajakku berbicara sepanjang jalan. "Nganterinnya cukup sampai di sini aja, Bang. Makasih banyak atas bantuannya," ujarku setelah sampai di depan pintu kamar. "Makasih doang? Nggak dapat imbalan apa-apa gitu? Tawarin kopi, atau air putih doang kek. Pelit amat lu, udah dibaek-baekin ini," ujar Bang Roman. "Nggak ada kopi, Bang. Air galonnya juga abis. Abang-abang yang tukang isi ulang nggak lewat tadi pagi," jawabku asal, menutupi rasa ketakutan yang mulai mengikis habis nyaliku yang tidak seberapa besar ini. "Ya udah deh. Besok-besok aja gue balik lagi nagih air putih dari elu," ucapnya dengan senyum sinis tak ketinggalan mengedipkan sebelah matanya. Aku tak menjawab sepatah katapun. Bang Roman akhirnya pergi meninggalkan kosan Irza. Aku segera masuk dan mengunci pintu kamar. Baru bisa bernapas lega setelah memastikan dari balik tirai jendela, bahwa Bang Roman tidak akan kembali lagi ke kosan. Duh Gusti, jantungku mau copot rasanya kalau mengingat dua kejadian tidak menyenangkan malam ini. Setelah nyaman di kasur, aku berusaha menghubungi Dani. Namun hingga tiga kali menelepon, Dani tidak menjawab panggilan teleponku. Mungkin saat ini dia sedang menikmati kebersamaan dengan orang tua dan anggota keluarganya yang lain. Tanpa terasa bulir air mata lolos begitu saja dari pelupuk mataku. Dalam kondisi seperti ini aku malah jadi rindu mendiang Ibu, Ayah dan Bibi Sarti. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD