PART 2

1537 Words
Amelia tak berani keluar dari kamar Caleb yang saat ini ditempatinya. Berulang kali menggeleng namun nominal 500 juta yang dikucurkan oleh Caleb Leandro sebagai pelunasan hutang almarhum Ayahnya membuatnya tetap berada di tempat ini. Setidaknya dia harus bersikap Amelia sopan. Kenyataan bahwa tidak ada yang gratis untuk nominal sebanyak itu membuat Amelia menelan ludahnya kelu. Dan kenyataan bahwa Caleb dengan semena-mena menciumnya...mencumbunya?. Menghempaskan Amelia pada kenyataan bahwa, mungkin saja Caleb akan meminta sesuatu yang lebih darinya demi 500 juta itu. Tubuhnya. Apalagi? Apalagi dia pria asing dengan pola pikir yang...semua tahu-lah... Amelia bergidik ngeri. Hal ini lebih buruk dari malam-malam menjelang dini harinya yang penuh mimpi buruk disebabkan oleh takutnya dia pada para debt collector yang menghantuinya di siang hari. Pintu kamar diketuk dan Amelia beringsut. Menyembunyikan dirinya di balik tirai sementara dia merasa bodoh, tapi dia tetap melakukannya. Helaan napas geli terdengar dari mulut seorang wanita. Amelia menyibak tirai yang bahkan tak benar-benar menutup tubuhnya. "Aah...Bibi. Aku kaget." Amelia sontak keluar dari tirai dan berjalan menghampiri Bi Nengah yang datang dengan membawa senampan cemilan. "Nona ini. Kenapa harus bersembunyi seperti itu? Apa Tuan muda menggodamu?." Bi Nengah terlihat meletakkan camilan di meja. Menata toples-toples cantik itu sedemikian rupa. "Dia...menciumku!" Geraman terdengar dari mulut Amelia yang tak sadar meraba bibirnya. Bi Nengah terkekeh geli. "Dia pemuda yang baik, hangat dan sopan." Sopan? Mencium tanpa peringatan dan izin bisakah masuk kategori sopan? Tolak ukur siapa itu? "Sudahlah. Baru sekali ini Tuan muda membawa seorang wanita kemari. Dan pasti dia tahu apa yang dilakukannya. Nona...hanya harus percaya padanya." Bi Nengah tersenyum dan mengusap bahu Amelia sebelum keluar dan melangkah keluar dan menutup pintu. Amelia menatap pintu abu-abu yang baru saja tertutup. Memandangnya lama dengan pikiran kosong. Terus seperti itu hingga beberapa saat dan dia tersentak. Pria bernama Caleb Leandro itu akan menyekapnya di tempat ini dan menjadikannya b***k s*x? Pemikiran buruk itu terus bergelayut bahkan hingga Amelia secara tak sadar menghabiskan jus buah naga dalam porsi besar yang di bawa Bi Nengah bersama beberapa macam camilan. Amelia beranjak cepat meraih tas selempangnya. Mengeluarkan dompet dan ponselnya. Mengecek pesan dan panggilan masuk. 50+ panggilan tak terjawab, 20+ pesan yang berisi sumpah serapah dari Johan. Amelia menghela napasnya lelah. Dia menutup ponselnya dan memasukkannya ke tasnya lagi. Tubuhnya luruh ke lantai kamar Caleb yang begitu dingin. Kedua telapak tangannya melekat di lantai dan bahunya luruh hingga rambutnya ikut jatuh menutupi wajahnya. Kalau benar Caleb memintanya tinggal demi membayar 500 juta itu dengan tubuhnya...maka ini tak lebih baik dengan hidupnya kemarin saat masih dalam cengkeraman Johan! Johan juga sama, menawarkan bantuan di saat Amelia bingung menghadapi para penagih hutang yang datang ke kamar kostnya. Bersikap manis dengan membayar sedikit demi sedikit hutangnya. Mengajaknya bekerja sebagai penyanyi di kafe para kenalannya. Sampai akhirnya semua berubah. Johan menjadi kasar dan memaksanya bekerja tanpa henti. Amelia jarang mendapatkan makan apalagi bayaran. Dan sekarang.... Nominal 500 juta itu membuatnya lega. Hutang Ayahnya lunas. Tapi...apa selanjutnya? Bahkan hingga kini pria bernama Caleb itu belum mengatakan apa pun. Selain tentu saja...hangat bibir pria itu masih tercetak di bibirnya! Amelia mendongak saat pintu terbuka dan Bi Nengah masuk dengan setumpuk handuk bersih. "Mandilah Nona." Wanita itu terlihat prihatin dengan kebingungan Amelia. Tapi, dia juga mempercayai Caleb lebih dari apa pun. Tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu. Yang perlu dilakukan gadis itu hanyalah sedikit bersabar. Amelia beranjak. Meraih satu handuk dan bathrobe bersih dari lemari. Dia melangkah gontai ke kamar mandi di sertai gelengan prihatin dari Bi Nengah. ------------------------------------------- Amelia menaikkan satu alisnya. Menatap heran pada kursi makan yang seharusnya ditempati oleh Caleb, kosong. Hanya ada dia dan Bi Nengah di meja makan ini. Dengan suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. "Tuan muda belum pulang. Dia tadi pamit, akan pulang agak larut." Bi Nengah berucap seakan tahu kebingungan Amelia. Ah ya...pria muda kaya raya. Apalagi yang dilakukan hingga larut selain menikmati dunia gemerlap. Apalagi dia...bule. Amelia menelan nasinya dengan susah payah. Mendorongnya dengan air putih dan bernapas lega karenanya. Apa yang baru saja dipikirannya? Dia seakan sedang berperan sebagai seorang kekasih yang cemburu! Amelia membantu Bi Nengah saat mereka selesai makan. "Bibi sudah izin untuk pulang selama seminggu pada Tuan Muda. Ada acara tujuh bulan anak perempuan Bibi. Non Amelia...baik-baik di sini." Amelia terkejut. Ini jelas bukan berita baik untuknya. Sejauh ini, hanya Bi Nengah asisten rumah tangga Caleb, sejauh yang dia tahu. Selain seorang tukang kebun, seorang supir dan dua orang penjaga keamanan rumah yang bertugas bergantian. "Bi..." Suara Amelia mencicit tak rela. "Jangan berpikiran buruk pada Tuan Muda. Dia baik. Dia tidak akan berbuat buruk pada Non. Percayalah." Bi Nengah mencoba menenangkan Amelia. Amelia menghela napas. Mengangguk ragu sembari memasukkan piring yang sudah kering ke tempat penyimpanan. -------------------------------------------------- Amelia menggeliat. Meregangkan tubuhnya yang entah mengapa sangat pegal. Tak melakukan sesuatu yang berarti di rumah sebesar ini justru membuatnya pegal tak karuan. Gerakan Amelia terhenti saat sebuah lengan merengkuhnya erat. "Aaaaaaaaaaa....!" Amelia memekik tak terkendali sambil beranjak duduk. Kepalanya menoleh dan mendadak dia merasa pusing. Tangannya gemetar meraih selimut dan menutupi tubuhnya sebatas d**a. "Kau bahkan tidak telanjang. Berhentilah bersikap konyol." Amelia menatap Caleb yang terduduk sambil masih memejamkan mata. Dan sialnya...pria itu terlihat menggoda saat bangun tidur seperti ini. Ranjang melesak saat Caleb merebahkan lagi tubuhnya. Menyisakan Amelia yang menatapnya horor. Caleb membuka matanya. "Kenapa aku bisa tidur di sini? Well...first of all...ini kamarku. Kedua...semua kamar tamu belum sepenuhnya bersih. Ketiga...tidur di sofa seperti kemarin malam membuatku tersiksa. Sekarang katakan padaku...bagian mana dari semua itu yang membuatmu menatapku dengan tatapan seakan aku telah merampok kegadisanmu?" Caleb menutup matanya lagi. Menyisakan Amelia yang beringsut ngeri, membawa tubuhnya lebih menepi. Amelia baru saja akan turun dari ranjang ketika Caleb dengan tangan besarnya membawa Amelia rebah lagi di ranjang. Mengunci pinggang Amelia dengan kakinya. Dan...tidakkah Caleb sadar bahwa dia bahkan bertelanjang d**a! Amelia bergerak gelisah hingga Caleb menggeram. "Berhenti bergerak." "Kita belum saling mengenal. Tidak seharusnya seperti ini." Suara Amelia tertelan kembali ke tenggorokannya saat tangan besar Caleb mengusap wajahnya. Sedetik Amelia berpikir, hobi Caleb adalah meraup wajah orang. "Tidurlah lagi. Hari bahkan masih gelap." "Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan kalau aku adalah penderita penyakit berbahaya...seperti AIDS?" "Aku mempunyai seluruh jejak rekam medismu dari saat kau dilahirkan." Caleb berkata dengan ringan. Amelia meniupkan udara dari mulutnya. "Kau benar-benar mengerikan!" "Aku anggap itu sebuah pujian." Amelia mendengus dan menahan napas saat Caleb mengeratkan pelukannya. Napas hangat pria itu bahkan meremang di lehernya. "Apa pekerjaanmu hingga kau mempunyai kekuatan yang mengerikan seperti ini?" Hanya terdengar gumamam Caleb hingga akhirnya Amelia menyerah dan memejamkan matanya. Setidaknya...Caleb tak menidurinya dalam artian yang sesungguhnya. ----------------------------------------------- Amelia menuruni tangga menuju ruang makan. Mendapati Caleb yang terlihat segar. Rambutnya tersisir rapi dan penampilannya terlihat santai. Celana pendek hitam dengan kaus putih. "Kau sudah bangun. Duduklah. Kita makan." Caleb meletakkan dua piring di meja. Lalu meletakkan sepiring penuh tuna sandwich yang terlihat lezat. Caleb juga menuang segelas s**u putih untuk Amelia dan kopi untuk dirinya sendiri. Amelia menelan ludahnya membuat Caleb tertawa pelan. "Makanlah." Amelia terdiam. Membuat Caleb yang sedang menyesap kopi menatapnya. "Makanlah. Kita akan bicara setelah makan." Dengan enggan Amelia mengulurkan tangannya. Meraih sepotong sandwich dan menyuapkannya ke mulut. Matanya membeliak sejenak. Kalau boleh jujur...ini enak sekali. Caleb melakukan hal yang sama. Bedanya, Caleb juga terlihat sibuk menekuri koran paginya. Mereka sarapan dalam diam hingga Amelia membereskan bekas makan mereka 20 menit kemudian. Caleb melipat koran paginya saat Amelia selesai mencuci piring dan duduk kembali di kursi makan. Caleb menghela napas dan mengulurkan tangannya pada Amelia. Amelia tergugu. Menatap Caleb tak mengerti walau akhirnya menyambut tangan pria yang sudah beranjak bangkit dari kursi. Mereka melangkah menyusuri sebuah koridor dengan banyak jendela. Sinar matahari menerobos menimbulkan sensasi hangat di tubuh Amelia. Bukan? Tubuhnya menghangat karena genggaman tangan Caleb! Caleb mengajak Amelia berbelok di ujung koridor dan menghadap sebuah pintu. Dengan sekali sentak, Caleb mendorong pintu dan menarik Amelia masuk ke dalamnya. Pandangan Amelia menjelajah. Ini jelas surga dunia! Sebuah ruangan yang pastinya adalah sebuah perpustakaan dengan ribuan buku. Bukankah itu surga dunia? Caleb melepaskan genggamannya dan Amelia sontak menatap telapak tangannya. Sensasi kehilangan merambat melalui aliran darahnya dan mengetuk hatinya. Amelia memilih duduk di sofa. Memperhatikan Caleb yang berjalan ke arah rak buku dan meraih satu buku yang telihat seperti buku klasik bersampul hijau. Caleb duduk di samping Amelia dan dalam hati Amelia siap merutuk. Kenapa Caleb harus duduk sedekat ini dengannya? Caleb membuka buku di tangannya lalu menghela napasnya pelan. Suara bariton yang sedikit berat segera menyapa Amelia. Caleb membaca buku itu. Amelia agak sedikit heran namun dia akhirnya terdiam. Dia tak bisa memungkiri, bahwa dia telah terhanyut dalam cerita dalam buku yang dibaca Caleb. Keduanya terlihat terhanyut. Sesekali membenarkan letak duduk mereka mencari posisi yang nyaman. Amelia beberapa kali mengerjap, mengernyit dan berbagai ekspresi lainnya jelas tercetak di wajahnya. Cerita tentang klan para serigala dan vampire selalu membuatnya terkesima. Seperti sekarang ini, Caleb membacakan salah satunya. Caleb berdeham saat selesai membaca buku yang tak terlalu tebal itu. Menghela napas pelan dan menatap Amelia tajam sambil meletakkan buku di tangannya ke meja. "Kau mengerti maksudku?" Amelia mendongak. Menatap Caleb tak mengerti. "Seorang Alpha akan tahu dengan sendirinya siapa Lunanya." Amelia mengangguk. Seperti itulah kesimpulan yang dia ambil dari cerita yang baru saja di baca Caleb. "Dan seorang Alpha akan memperjuangkan Lunanya hingga detak jantungnya berakhir." Amelia kembali mengangguk. Dan sejenak dia merasa menjadi orang yang bodoh. "Aku tahu kau Lunaku. Maka kau harus menikah denganku." Hening yang mencekam. Manik mata sehitam malam memenjarakan manik mata biru di hadapannya. Sejenak Caleb membatin. Betapa jerawat di dagu gadis itu justru membuatnya tampak manis. Hingga... "Aaaaaaaaa!" Baiklah! Gadis ini kembali menjerit. -----------------------------    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD