Begin

969 Words
Abil “Abil! Bangun! Katanya udah bosan jadi pengangguran?!”             Telingaku berdengung begitu mendengar teriakan Mama. Kali ini aku tidak mungkin bisa tidur lagi, yang benar saja, mama bahkan sudah siap dengan gayung ditangan. “Mau sprey kamar kamu basah lagi kaya minggu lalu?!”             Aku langsung bangun begitu mendengar ancaman Mama yang satu ini. Perlu kalian tahu saja, mama itu orangnya tidak suka main-main. Minggu lalu ranjangku jadi basah karena Mama tega menyiram wajahku pakai air. Oke, terlalu berlebihan kalau aku bilang menyiram, maksudku, menyiprati wajahku dengan air. Tentu aja itu itu terjadi karena aku susah dibangukan. “Jangan galak-galak sih, Ma. Aku bangun nih.” Aku memang bangun, tapi mulai menggerutu. “Anak perawan kok susah dibangunin. Mau dapet suami macam apa kamu ini!” “Ya ampun ma! Pagi-pagi udah main nyumpahin aja. Pamali tau. Ntar balik ke mama loh!” “Balik gimana? Mama kan udah punya papa. Gimana sih?” “Oh iya.” Aku meringis sebelum akhirnya turun dari ranjang dan bergegas mengambil handuk di gantungan. “Dari tadi kenapa, Bil, nggak usah nunggu mama marah-marah dulu baru kamu mau bangun.” Mama meletakkan gayungnya di meja rias yang ada di kamarku, lalu mulai berkacak pinggang. “Iya, Ma. Maaf...” aku nyengir, sementara Mama hanya memutar bola matanya malas. “Udah lah, mama balik dapur dulu. Oh iya, jangan lupa kamar tidurmu dibersihin. Anak perawan kok jorok.” “Ma! Bawa-bawa perawan terus. Mama mau aku nggak perawan lagi?!” “Ngomong apa kamu?” mataku seketika mendelik begitu melihat Mama menghampiriku. Saat itu juga, secepat kilat aku berlari ke kamar mandi dan menutup pintu. “Abil! Awas kamu, ya! Habis ini mama bilang ke papa, kalau kamu minta dinikahin! Anak temen papa banyak yang belum nikah. Biar mama bilang suruh nyariin satu buat kamu.” “Ma!” aku membuka pintu kamar mandi dan mendapati mama ternyata sudah keluar dari kamarku.             Hai, sebelumnya perkenalkan, namaku Nabila Arshita Malik. Biasa dipanggil Abil. Umurku dua puluh empat dan aku adalah pengangguran. Pengangguran kok bangga, Bil! Huhu!             Jadi begini, biarkan aku curhat sebentar. Empat bulan lalu, Papa pindah tugas dari yang tadinya di Jogja jadi di Jakarta. Mau tidak mau, aku dan Mama harus ikut, kan? Jadilah pekerjaanku yang di Jogja aku tinggal. Aku terpaksa resign dari pekerjaan lamaku. Aku tidak mungkin tinggal di Jogja sementara kedua orang tuaku di Jakarta. Lagi pula papa sama sekali tidak membolehkan kalau aku tinggal di Jogja sendirian. Eyangku dari Papa dan Mama semua asli orang Jogja, tetapi sekarang mereka tinggal di Semarang bersama sanak saudara yang ada di sana. Maka dari itu, dengan sangat terpaksa aku harus meninggalkan kota sejuta kenangan itu dan rela disebut pengangguran lagi. Ngomong-ngomong, cari kerja di Jakarta susah, ya?             Sebenernya hari ini aku ada wawancara kerja disalah satu perusahaan IT. Aku daftar ke sana karena memang aku sendiri alumni Ilmu komputer. Meski aku dengar masuk di perusahaan itu terkenal sangat sulit, aku percaya kalau rezeki sudah ada yang mengatur. Iya, kan? Aku sangat percaya pada kata-kata itu. Pada intinya, kita sebagai hamba hanya bisa berusaha dan tentu jangan lupa berdoa. Sudah dulu, ya. Aku harus siap-siap karena setengah jam lagi aku ada wawancara. “Wait! Setengah jam lagi?!” *** Juna             “Juna, Risa titip salam buat kamu katanya dia naik ojek aja. Kelamaan kalau harus nunggu kamu. Dia ada sift pagi. Maklum, dokter koas kalau telat dikit bisa disemprot sama seniornya.” Aku menerima uluran roti bakar dari Mama dan ikut duduk tepat disamping beliau. “Seniornya ada yang galak katanya,”lanjut mama kali ini sambil meletakkan secangkir teh hangat untuk papa. “Dek Risa juga cerita sih, katanya yang galak nggak cuma satu. Tapi ada tiga.” Aku mulai menggit roti bakar uluran Mama setelah sebelumnya sudah kuolesi selai nanas. “Karyawan barunya udah dapet belum, Jun?” itu suara papa. Beliay tampaknya sudah selesai sarapan. “Belum pa. Sebenernya yang daftar banyak banget. Cuma, yang bertugas menyeleksi kemarin lagi sakit. Jadi terpaksa wawancara diundur hari ini.” “Oh...” Papa hanya mengagguk sebagai tanggapan. “Papa mau ke kampus?” tanyaku begitu melihat setelan yang Papa pakai rapi sekali. “Iya. Hari ini papa ada tugas menyidang tiga mahasiswa.” “Wah!” Papaku ini, meski sudah berumur lebih dari setengah abad, tapi beliau benar-benar terlihat jauh lebih awet muda dari usianya. Mungkin karena efek sering olahraga kali, ya? “Aku udah telat banyak nih Pa, Ma. Berangkat dulu ya!” Aku yang baru saja menghabiskan satu gelas air putih di meja,  langsung berdiri dan menyalami beliau berdua. “Kaya perusahaan milik siapa aja, Jun? Kamu kan atasannya. Mau telat berapa jam-pun, nggak akan ada yang protes,” balas mama sambil menyerahkan jasku yang tersampir di sofa. “Atasan yang baik harus bisa jadi panutan untuk para bawahannya. Iya, kan?” Aku terkekeh, yang langsung dibalas cibiran pelan oleh Mama.   “Udah ya Pa, Ma. Berangkat dulu. Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam! Hati-hati!”             Hai! Sebelumnya perkenalkan namaku Arjuna Hafizar Maheswara. Biasa dipanggil Juna. Umurku dua puluh delapan tahun, tepat satu bulan yang lalu. Saat ini aku dipercaya untuk memimpin perusahaan keluarga yang bergerak dibidan IT.  Perusahaan itu adalah peninggalan Eyang Kakung. Setelah Eyang Kakung meninggal, papa ditunjuk untuk melanjutkan bisnis perusahaan itu, yang dibantu oleh kakak dan adik ipar beliau. Itu pun, Papa tidak bisa terlalu fokus mengelola perusahaan karena beliau juga berprofesi sebagai dosen. Beliau mulai memercayakan perusahaan padaku, tepatnya dua tahun setelah aku berhasil meraih gelar sarjana Ilmu Komputer. Papa pun benar-benar memberiku arahan dan menyuruhku kuliah lagi di jurusan menejemen bisnis. Di sini memang hanya akulah satu-satunya yang bisa beliau harapkan. Adikku, Dek Risa, dia adalah anak kedokteran. Sudah pasti anak itu tidak mau berurusan dengan perusahaan. Sepertinya itu dulu ya, sekarang aku harus segera sampai di kantor. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD