Bag 4

1090 Words
Setelah jawaban ambigu Fahri, mereka berdua kembali berbincang hal lain, karena sepertinya Fahri tak nyaman dengan pembicaraan sebelumnya. Daru beberapa kali mencuri pandang ke arah wanita yang saat ini ada di meja kasir, wanita yang tadi mengantarkan cappuccino buatannya yang memang enak luar biasa. Tak salah jika Fahri merekomendasikan cappuccino buatan Zeta, karena Daru bisa langsung jatuh cinta pada varian kopi itu di sesapan pertama. "Daru, sepertinya saya harus kembali ke kantor. Ada klien yang ingin bertemu setengah jam lagi." "Oh, oke Bang." "Kamu ingin pergi juga?" "Saya... kayaknya saya di sini dulu deh. Cappuccino dan mille feuille-nya enak dan belum habis," ucap Daru sambil menunjuk pastry yang terkenal di Perancis itu. Fahri tertawa renyah, lalu beranjak dari duduknya. "Sudah saya bilang, cappuccino buatan Zetaya memang juara di sini. Kamu juga beruntung, karena bisa makan kue buatannya. Biasanya karyawannya yang buat kue itu, dan ya, rasanya tak seenak buatan Zetaya." Susah payah Daru mengeluarkan senyumnya yang berbanding terbalik dengan hati. Sejak tadi, seniornya itu tak putus-putus memuji Zetaya, dan itu sangat mengganggu sekali di telinga Daru. "Oke kalau begitu, saya benar-benar harus pergi. Sampai jumpa lagi ya." Fahri menepuk pundak juniornya itu, lalu beranjak pergi ke meja kasir. Namun belum sempat menjauh, Fahri membalikkan tubuh. "Ah ya, nanti kamu langsung pergi saja, saya yang urus pembayarannya." Rahang Daru mengeras mendengar kalimat Fahri. Sepertinya seniornya ini takut sekali Daru mendekati mantan istrinya. Cih! Mengesalkan! Kalau masih cinta kenapa berpisah?! Jangan salahkan Daru jika dia ingin mendekati Zetaya! Mereka kan sudah tidak ada hubungan apa pun! Tak berapa lama, senyum palsu tercetak di bibirnya. "Wah, saya ditraktir, Bang?" Fahri hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Lain kali kamu yang traktir saya, ya." "Siap, Bang." Fahri kembali tersenyum, lalu kali ini benar-benar berbalik untuk menuju meja kasir. Tatapan Daru tak lepas dari pemandangan di depannya. Sang senior terlihat berbicara dengan Zeta. Sesekali mereka tertawa bersama, membuat udara di sekitar Daru menipis. Entah paru-parunya yang mengecil, atau pasokan oksigen di dunia ini yang berkurang? Mata Daru membelalak tak suka saat tangan besar sang senior mampir ke atas kepala Zeta dan menepuknya beberapa kali. Dan lihatlah senyum senang di bibir mantan kekasihnya itu, membuat Daru ingin membungkam bibir Zetaya. "Udah mantan, masih sayang-sayangan! Dasar gak ada etika!" monolog Daru tak jelas. Pria ini langsung mengalihkan pandangan karena takut ketahuan memperhatikan saat sang senior berbalik untuk pergi menuju pintu keluar kafe ini. "Daru..." "Ah, ya, Bang?" tanya Daru pura-pura terkejut sambil menoleh ke samping tempat Fahri berdiri tak jauh darinya. "Saya tinggal dulu ya." "Iya, Bang," balas Daru sopan, tapi dalam hati sudah menjerit senang karena seniornya akhirnya benar-benar pergi seiring terdengarnya gemerincing dari arah pintu. Daru mengalihkan pandangan, lalu tak sengaja matanya bertemu dengan mata indah itu, mata yang dia rindukan selama ini. Mata Aya-nya... Daru menyunggingkan senyum kecil, yang dibalas lengosan tak peduli sang mantan. Sial! Sepertinya dia harus ekstra keras kembali meraih cinta mantan terindahnya itu. Sementara itu, Zeta pura-pura sibuk menghitung penghasilan kafenya hari ini. Namun bibirnya terlihat mengerucut tak suka. "Mantan Bangke! Kenapa aku harus ketemu lagi sama dia?!" desis Zeta kesal sambil menghitung lembar demi lembar uang dari mesin kasirnya. "Kenapa juga tuh orang masih nangkring di kafeku! Sumpah gue badmood banget!" gerutu Zeta kembali. "Ish! Tadi berapa deh ini hitungan ku? Gara-gara si Bangke, jadi lupa kan tuh!" Zeta kembali menghitung uang yang berada di tangannya dari awal. *** "Anda gak pulang, Papanya Evan?" "Anda ngusir pelanggan?" "Hah?" Zeta mengalihkan pandangan ke sekeliling kafenya yang mulai kembali ramai. Kali ini oleh anak-anak muda yang nongkrong bersama teman-teman mereka. Kebetulan kafe milik Zeta berada di tempat yang strategis. Di area perkantoran dan kampus, yang membuat kafenya akan ramai di jam-jam makan siang dan malam. Belum lagi menu andalan kafenya yang menyediakan nasi goreng ala keluarga Zeta turun temurun, yang sudah terkenal tujuh tahun yang lalu dari sejak kafe ini dibuka, membuat kafenya ramai pengunjung. Beberapa pengunjung melihat ke arah Zeta dan Daru, karena suara Daru lumayan kencang. Zeta kembali mengalihkan pandangan ke arah Daru. "Bu-bukan begitu..." bisik Zeta supaya suaranya tak terdengar oleh pengunjung kafe yang lain. "Lalu?" tanya Daru sambil menaikkan sebelah alisnya. "Ehm, begini, kafe saya sebentar lagi akan ramai, dan mungkin bisa sampai waiting list seperti hari-hari biasanya. Kalau Anda tidak ingin memesan menu yang ada di sini lagi, lebih baik Anda—" "Saya pesan semua menu andalan yang ada di sini." "Apa?" "Ah... Mbak, saya minta menunya ya." Zetaya mengerjapkan matanya beberapa kali, saat Daru memanggil salah satu karyawannya yang kebetulan lewat di dekat mereka. Pria ini segera sibuk menunjuk beraneka menu yang ada di sana, sepertinya secara acak. Sementara sang karyawan mencatat semua pesanan Daru. Setelah beberapa menit, karyawan Zeta undur diri meninggalkan sang bos dan sang pria tampan yang sempat membuat karyawan Zeta gelagapan tak jelas karena terlalu terpesona. Daru bersedekap, lalu tersenyum miring ke arah Zeta. "Masih mau ngusir saya? Apa pesanan saya kurang banyak? Kalau kurang, saya bisa pesan lebih banyak lagi. Mb—" "Cu-cukup." Segera saja Zeta menahan pergelangan tangan Daru, saat pria ini hendak kembali melambai ke arah salah satu karyawannya. "Pe-pesanan Anda akan segera diantar." "Ehm... baik, terima kasih dan... bisa tolong lepaskan tangan saya, Mamanya Misha?" Zeta dengan segera membebaskan pergelangan tangan Daru. Wajah wanita ini merona karena malu. "Kangen pegang tangan saya, ya?" "Najis!" "Astaga, najis? bahasa apa itu?" tanya Daru pura-pura terkejut dengan suara sengaja dibuat sedikit lebih kencang. Zeta menutup mata kesal. Sepertinya mantan kekasih berengseknya ini sengaja membuatnya malu sejak tadi. Wanita ini kembali membuka mata, lalu memasang senyum pura-pura ramah. "Anda bisa di sini sampai kafe saya tutup, mengingat Anda memesan hampir semua menu yang ada di sini, yang pastinya tidak akan bisa habis dalam waktu yang sebentar. Nanti kalau kafe saya sudah tutup dan Anda belum bisa menghabiskan pesanan Anda, Anda bisa minta karyawan saya untuk bungkus sisanya supaya bisa Anda bawa pulang. Baiklah kalau begitu, silakan ditunggu ya pesanannya, Papanya Evan," ucap Zeta panjang lebar setengah menyindir dengan senyum yang kelewat manis, tapi matanya kelewat tajam menatap Daru. Wanita ini segera berbalik untuk pergi kembali menuju meja kasir. Zeta menggerutu kesal seiring langkah kakinya meninggalkan Daru. Niat mengusir Daru gagal total, karena pria itu punya cara untuk bertahan di kafenya. Sepertinya setelah ini, dia memilih berada di dalam ruangannya saja sampai kafe tutup, agar tidak merasa risih diperhatikan sedemikian rupa oleh mantan berengseknya itu sejak tadi mantan suaminya pergi dari kafe ini. Sementara itu, Daru menyunggingkan senyum geli. "Kamu gak berubah, masih tetap punya tatapan tajam kayak dulu, Aya..." monolog Daru sambil memperhatikan punggung Zeta yang semakin menjauh. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD