Menjadi muda dan banyak mimpi adalah keinginan besar remaja di dunia ini. Banyak remaja yang menjadikan masa muda mereka untuk membuat kenangan indah. Banyak juga di antara mereka yang berharap bisa melakukan segala hal yang menunjang masa depan masing-masing. Aku Hani, seminggu lagi adalah ulang tahunku yang ke tujuh belas. Dan di hari itu akan meminta segalanya kepada Tuhan.
***
Seorang gadis terlihat menatap nanar sepatu miliknya yang sudah basah tergenang air di dalam kloset. Sekali lagi ia mengembuskan napasnya kasar. Dengan perlahan, gadis itu mengangkat tali sepatunya dan terangkat sudah sepatu yang hanya sebelah kiri itu. Tidak bau memang, tetapi benda itu jatuh di tempat yang tidak seharusnya, tentu saja dia tidak akan memakainya untuk saat ini. Anak-anak akan mentertawakannya nanti.
“Astaga Hani!”
Suara pekikan dari belakang tubuh gadis bernama Hani itu membuatnya dengan refleks menoleh. Di sana berdiri seorang gadis yang memakai seragam sama dengannya. Dia Rara, teman terdekat Hani di sekolah. Dengan sedikit memaksakan senyumnya, Hani melangkah keluar dari toilet.
Dengan wajah yang masih terkejut, Rara menghampiri gadis itu. “Mereka mengganggumu lagi?” tanya gadis ini membuat Hani semakin memaksakan senyum di wajahnya. “Kita harus melaporkan mereka,” tekan gadis itu membuat Hani tidak enak hati.
“Tidak usah, Ra. Biarkan saja. Nanti juga mereka akan lelah sendiri,” balas Hani yang selalu berlapang d**a. Tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Si pelaku juga tidak akan mendapat hukuman yang berat karena hal ini. Mungkin Hani-lah yang mungkin akan terkena imbasnya.
Melihat temannya yang sangat sabar dalam menerima segala tindakan buruk dari teman-temannya membuat Rara menjadi sedih. “Ayo ikut aku. Aku ada sepatu cadangan di loker,” ajak Rara. Untungnya dia selalu menyiapkan sepasang sepatu di dalam lokernya. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu. Sama halnya dengan Hani, gadis itu juga pernah mendapat kejahilan seperti ini. Untuk itulah Rara lebih berjaga-jaga dan waspada sekarang.
Sepanjang perjalanan menuju ke loker, kedua siswi ini mendapat pandangan aneh dari beberapa murid yang mengisi lorong sekolah. Hani hanya diam sambil menenteng sebelah sepatunya yang basah. Dari lantai dua, sekelompok siswi mentertawakan kesialan yang Hani alami.
“Terima kasih, Ra,” ucap Hani kepada gadis yang mengambil sepasang sepatu di lokernya. Rara tersenyum hangat, menurutnya inilah kegunaan teman, saling membantu. Rara cukup bersyukur memiliki teman seperti Hani. Sayangnya sifat keduanya tidaklah sama. Rara yang gampang sekali terpancing amarah jika temannya ditindas, sedangkan Hani yang lebih memilih diam dan menerima perlakuan buruk di sekolahnya.
“Sama-sama. Ini, letakkan sepatumu di sini saja,” balas Rara sambil memberikan kresek kosong yang ia ambil dari dalam loker. Hani segera memasukkan sepatunya yang basah itu ke dalam kresek tadi. Kemudian, dia memakai sepatu milik Rara. “Mungkin sedikit kebesaran, tetapi aku rasa itu cukup untukmu,” ungkap Rara.
“Tidak apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup. Besok aku kembalikan,” kata Hani.
“Tidak usah. Jika kamu masih butuh, pakailah. Lagi pula aku rasa sepatumu yang basah tidak akan kering hanya dengan semalam.”
Hani tersenyum, dia sangat bersyukur memiliki Rara yang berada di sisinya. Mungkin jika tidak ada Rara di dalam sekolah ini, maka dia tidak akan sekuat itu. Keduanya pun kembali berjalan menuju ke kelas mereka. Sebentar lagi adalah jam pelajaran IPS, tentu saja keduanya harus segera sampai sebelum bel berbunyi.
Hani dan Rara adalah siswa kelas dua belas yang saat ini sudah disibukkan dengan kegiatan belajar, bimbingan, les, dan persiapan ujian. Bahkan bisa dibilang ini adalah awal bagi mereka atau semua siswa tingkat akhir untuk menyiapkan ujian ke universitas yang mereka inginkan. Tidak mudah memang, tetapi untuk mendapat masa depan yang lebih baik, maka mereka harus mengejar nilainya.
“Dean, ini buku catatan IPS-mu. Terima kasih sudah meminjamkannya kepadaku,” ucap Hani kepada seorang pemuda yang awalnya sibuk membaca bukunya. Pemuda itu bernama Dean, ketua kelas di dalam kelas tempat Hani dan Rara berada. Pintar dan selalu menjadi nomor satu adalah alasan dia terpilih sebagai pemimpin kelas.
“Sama-sama,” balas pemuda itu dengan senyum manis miliknya. Hani ikut tersenyum, apalagi melihat lesung pipi yang bertengger dengan sombongnya di pipi kanan pemuda ini. Sungguh pemandangan yang menakjubkan bagi Hani sendiri.
“Awas!”
Tubuh Hani terkantuk ke samping setelah disenggol dengan kerasnya oleh Jeni--teman sekelasnya. Gadis itu langsung menunduk, dan segera kembali ke tempatnya, tidak berani menatap Jeni secara langsung. Sedangkan Rara yang melihat tindakan Jeni pun semakin tidak suka kepada gadis itu. Dean pun hanya bisa menghela napas ketika melihat teman-teman kelasnya yang sulit untuk diatur, salah satunya adalah Jeni. Bahkan dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika gadis itu menindas murid lainnya.
“Anak-anak, ada sedikit hal yang ingin ibu sampaikan saat ini. Tolong kalian perhatikan dan renungkan,” ucap Bu Sinta selaku guru IPS dan wali kelas Hani. Seketika suasana menjadi hening, semua mata tertuju kepada guru ini. “Seperti saat awal kita memasuki semester satu, Ibu sudah mengatakan untuk jangan malas belajar, dan tingkatkan nilai kalian. Setelah lulus nanti, kalian ada dalam dua pilihah, kuliah atau bekerja. Pilihlah yang menurut kalian mampu, jangan memaksakan hal yang tidak bisa kalian lakukan.”
Guru itu terdiam sejenak, menatap wajah-wajah siswanya. “Ibu berharap, kalian kali ini serius dalam menentukan masa depan. Di kelas dua belas ini, mau tidak mau kalian dipaksa untuk menentukan langkah apa yang ingin kalian ambil. Ambilah langkah yang benar, jangan sekali-kali mengambil langkah buruk yang nantinya merugikan kalian sendiri. Jangan lupa selalu konsultasi dengan orang tua,” nasihatnya.
Hani termenung di kursinya. Diskusi dengan orang tua? Apakah dia bisa?
“Bu,” panggil salah satu siswa yang duduk di bangku paling belakang. Seketika semua mata tertuju kepadanya.
“Ya, Bagas?” tanya Bu Sinta.
Pemuda dengan kaca mata bertengger di matanya itu pun berdeham, sedikit gugup karena ditatap oleh teman-temannya. “Apakah menjadi dewasa itu sulit?” Pertanyaan pemuda itu langsung mengundang gelak tawa teman-temannya, namun tidak bagi Hani. Dia sejak lama memang mempertanyakan tentang apakah sulit menjadi dewasa.
“Apa yang kalian tertawakan?” tanya Bu Sinta dengan nada tegasnya, seketika suasana kelas menjadi hening. Guru yang memang dikenal dengan ketegasan serta kedisplinannya itu disegani oleh banyak siswa di sekolah ini. “Ibu yakin kalian juga mempertanyakan hal yang sama. Jadi, tidak perlu kalian menertawakan teman kalian. Karena pada dasarnya kalian sama saja,” ujarnya membuat semuanya semakin diam.
Guru itu mengambil napasnya dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Hal ini tidak luput dari penglihatan anak didiknya. Mereka sedang menunggu jawaban apa yang akan guru bijaknya ini lakukan. “Berbicara tentang dewasa, itu sedikit rumit untuk dijabarkan,” kata guru itu mengawali dan mentap siswanya dengan serius. “Menjadi dewasa akan membuat kalian berpiki terarah. Awalnya tidak mudah. Banyak remaja yang belum siap menjadi dewasa, tetapi menjadi dewasa itu adalah mutlak, tidak bisa dibantah. Yang bisa ibu sampaikan saat ini adalah, gunakan masa remaja kalian sebaik mungkin. Jika kata dewasa itu telah datang, kalian sudah tidak bisa kembali ke masa remaja lagi. Bisa dikatakan kalian tidak bisa mundur lagi,” terangnya membuat sebagian siswanya termenung, memahami segala hal yang guru ini katakan.
“Jadi, apakah itu artinya kita bebas melakukan apa saja saat di usia remaja ini, Bu?” tanya Bagas lagi.
Bu Sinta menggeleng. “Tidak bisa dikatakan sangat bebas. Maksud perkataan Ibu tentang menggunakan masa remaja sebaik mungkin adalah kalian lakukan hal positif. Apa yang kalian lakukan saat ini menentukan bagaimana masa depan kalian nanti,” jelasnya. “Sudahlah, untuk lebih lanjut kita bisa membahasnya lain waktu saja atau kalian bisa konsultasi dengan Pak Jaenudin,” lanjutnya yang langsung mendapat bisikan tidak suka oleh anak didiknya ini.
Mendengar penjelasan tentang menjadi dewasa membuat Hani khawatir. Apakah dia mampu untuk menjadi dewasa nanti? Apakah dewasa nanti hidupnya akan berubah?
Bicara hal tentang dewasa, aku rasa hal ini sering sekali menjadi pertanyaan anak remaja yang sebentar lagi menuju ke kata 'dewasa'. Menurut kalian sendiri seberapa pentingkah kata dewasa itu sendiri? Dan apa saja hal menakutkan yang mungkin mengganggu kalian selama ini?