35. Raut ceria yang kembali

1763 Words
Berita buruk. Diary terlambat bangun. Hal itu berimbas pada keterlambatannya juga datang ke sekolah. Saat ia tiba, gerbang sekolah sudah ditutup rapat dan terkunci. Nahasnya, gadis itu tidak diperbolehkan masuk sampai bel istirahat nanti dibunyikan. Melihat bahu nonanya merosot lunglai, Pak Rahman pun turut menghampiri sembari berkata. "Sabar, Non. Kalau mau, Bapak bisa temani Non Diary sampai waktu istirahat tiba nanti di sini...." cetus pria paruh baya itu berniat baik. Akan tetapi, tekad Pak Rahman malah tidak Diary terima. Dia justru menyuruh sopirnya itu pulang. Meski berulang kali Pak Rahman menawarkan diri, tapi Diary tetap menolak kebaikan sopirnya tersebut. "Gak apa-apa, Pak. Pak Rahman pulang aja! Diary bisa nunggu sendiri kok di sini," ujar Diary memasang raut baik-baik saja. "Yakin, Non? Tapi kalau Non Diary sendirian di sini kan kasihan. Atau, Pak Rahman biar coba bicara sama satpam jaganya aja ya?" tawar sang sopir bersikeras. "Eh, jangan! Gak usah, Pak! Udah, Pak Rahman pulang aja. Diary biar telepon Gerrald aja nanti. Siapa tau dia bisa bantu dan kasih solusi buat Diary...." ucap gadis itu keukeuh. "Beneran nih, Non?" "Iya bener. Ya udah, Pak Rahman pulang gih!" titah Diary tak mau dibantah. Kemudian, pria paruh baya berseragam serba hitam itu lantas menurut patuh pada nona mudanya. Tak berselang lama, mobilnya pun melaju normal meninggalkan Diary yang masih berdiri sendirian di depan gerbang. "Apa aku harus telepon Gerrald? Nanti kalo dia keganggu pas lagi belajar kan gak sopan. Tapi, aku juga gak mungkin terus berdiri sendirian di sini kan? Mana jam istirahat masih lama...." gumam Diary menghela napas. Sesekali, ia pun melirik jam tangannya dan berharap jarum jam berputar secepat yang ia mau. Namun sepertinya Gerrald sedang satu pemikiran dengan Diary. Tak berlangsung lama, ponsel gadis itu bergetar. Sigap, ia pun merogoh benda pipih tersebut yang bersemayam di dalam saku seragamnya. Lalu, saat nama kontak 'Gerrald Pacar' tertera di layar, seulas senyum manis pun tersungging di bibir. Setelah menggeser tanda hijau ke atas, Diary pun menempelkan ponselnya ke telinga seraya berucap, "Halo?" "Kamu di mana?" tanya Gerrald to the point. "Di depan gerbang sekolah," jawab Diary lesu. "Kesiangan?" "Iya. s**l banget kan aku? Baru kali ini kesiangan kayak gini," dengkusnya curcol. "Astaga! Kenapa gak bilang dari tadi? Ya udah, aku ke sana sekarang ya...." "Tapi, Ger. Kamu kan lagi belajar," hardik Diary mengingatkan. "Gurunya gak masuk. Jadi gak ada masalah kalo aku tinggalin kelas juga," sahut cowok itu. "Kamu tunggu di sana, biar aku yang ngomong ke Pak Imran supaya kamu bisa masuk tanpa harus nunggu jam istirahat tiba, ya?" sambungnya mengomando. "Aku ikut apa kata kamu aja deh, Ger. Terpenting, aku bisa masuk...." tukas Diary menurut. "Oke. Aku ke sana sekarang," ujar Gerrald. Lalu ia pun memutuskan sambungan tanpa berlama-lama lagi.                                                                                     *** Diary duduk menopang dagu sambil memperhatikan Gerrald yang sedang berjalan ke arahnya sambil membawa dua piring siomay di masing-masing tangannya. Ketika bel istirahat berbunyi, Gerrald dan Diary memang langsung memutuskan kompak untuk menyatroni kantin bersama-sama. Mengingat saat berangkat sekolah Diary tidak sempat sarapan, maka ini saatnya bagi gadis itu mengisi perut keroncongannya. "Sepiring siomay datang," ujar Gerrald sesampainya di meja yang mereka pilih. Lantas, cowok itu pun meletakkan kedua piring tersebut secara berseberangan. "Pake cabe berapa sendok ini?" tanya Diary menyudahi pose menopang dagunya. "Setengah doang. Gak usah takut, aku udah tau kok kalo kamu gak doyan pedes," tukas Gerrald tersenyum manis. Melihat itu, Diary malah ikut tersenyum juga dengan perasaan meleleh saking manisnya senyuman sang pacar. "Oh iya, gimana ceritanya sih kamu bisa kesiangan?" lontar Gerrald. Setelah berhasil membujuk Pak Imran yang menjaga pos depan gerbang, Gerrald dan Diary memang belum sempat bertukar cerita tentang apapun. Setibanya di kelas, mereka malah langsung mengerjakan tugas yang sudah dicatat di papan tulis oleh sekretaris kelas sesuai acuan si ketua kelas yang diberi mandat sang guru. Maka, wajar saja jika Gerrald baru bisa bertanya perihal yang sesaat lalu ia tanyakan. Toh baru sekarang juga mereka ada waktu luang untung berbincang-bincang. "Gak tau. Mungkin karena tadi malam aku tidur terlalu larut aja. Makanya aku kesiangan," ujar Diary menebak asal. Gerrald mendengkus, "Aku pikir gara-gara keasyikan berduaan sama aku sampai lewat tengah malam. Hehe," seloroh cowok itu terkikik. Sontak, kedua pipi Diary pun memunculkan semburat merah yang tentu saja disadari oleh Gerrald langsung. "Cie, pipinya memerah...." goda cowok itu menunjuk-nunjuk. Namun dengan sigap Diary pun langsung menutupi kedua pipinya dengan masing-masing telapak tangannya. "Apaan sih. Sok tau deh kamu, Ger...." kilah Diary tak mau mengakui. Tapi dengan semangat 45, Gerrald justru malah semakin gencar dalam menggoda pacarnya. Di tengah senda gurau yang terjadi di antara Gerrald dan Diary yang ditemani dua piring siomay di depannya masing-masing, dari kejauhan seseorang tampak mengatupkan rahang pertanda bahwa ia sedang menunjukkan kekesalan terpendamnya pada dua sejoli yang justru malah semakin harmonis dibanding saling menjauh. Ia tidak rela jika melihat Diary tertawa bahagia seperti itu. Baginya, kebahagiaan Diary adalah satu-satunya s*****a yang mampu membuat perasaannya menderita. Maka, demi mengenyahkan penderitaan tersebut, ia pun bertekad untuk berkonspirasi dengan partner incrimenya dalam menghadapi Diary yang tidak diperbolehkan hidup bahagia selama dendamnya belum terbalaskan. "Awas aja lo, Diary! Sebelum gue merasa puas melihat lo terpuruk. Gue bahkan gak akan pernah berhenti buat bikin hidup lo menderita. Cepat atau lambat, lo akan merasakan apa yang selama ini gue rasakan. Lihat aja! Gue pastiin, lo gak akan pernah bisa mencium aroma bahagia di sepanjang kehidupan lo nanti...." ikrar seseorang yang kini sedang menatap benci pada gadis yang justru malah sedang tertawa gembira di hadapan pacar tercintanya.                                                                                        *** "Diary pulang!!" seru gadis itu memasuki rumah. Bersamaan dengan itu, Diana pun menoleh dari tempat yang tengah didudukinya. "Baru pulang, Di?" tegur wanita itu lembut. Refleks, yang ditegur pun langsung menoleh dan membelalak lebar ketika mendapati maminya sedang melempar senyuman keibuannya. "Mami!!" pekik Diary. Lalu, gadis itu pun segera berlari menghampiri sang mami yang sigap berdiri dan merentangkan tangan. "Mami pulang kapan?" tanya Diary seraya memeluk Diana. "Baru dua jam yang lalu Mami tiba di rumah," "Terus, Papi ikut pulang juga?" dongak Diary dalam pelukannya yang belum mau ia lepas. "Sayangnya enggak. Mungkin nanti malam Papimu baru bisa pulang," ujar Diana menduga. Diary mendengkus sembari menarik diri dari pelukan maminya. "Terus, Mami sendiri mau berangkat lagi?" lontarnya menatap sendu. Berharap seandainya sang mami tidak pergi lagi dalam jangka waktu yang cukup panjang. "Enggak dong. Mami ambil cuti selama satu pekan," tukas Diana mengejutkan. Mendengar itu, Diary pun spontan menaikkan kedua alisnya tinggi-tinggi. "Serius??" Gadis itu lantas memekik. Sembari kembali duduk, Diana pun menyahut santai. "Ngapain Mami bicara kalo niatnya gak serius. Ya iyalah, Di. Mami beneran ambil cuti satu pekan. Kalo gak percaya, kamu bisa tanyain langsung sama Tante Yanti. Dia pasti jawab apapun yang mau kamu tanyain...." terang Diana sungguh-sungguh. Omong-omong, Yanti adalah sekretarisnya di kantor. Dan dia adalah orang yang paling mengetahui segala sesuatu tentang Diana dan apapun yang bersangkutan dengan urusan kantor. "Asikkk!" sorak Diary gembira. Kemudian, ia pun ikut mendudukkan diri di sebelah maminya. "Terus, Mami punya rencana apa untuk sepekan ini?" Seakan tidak ada lelahnya, Diary kembali mengajukan pertanyaan pada maminya. Padahal, masih banyak waktu yang ia punya mengingat Diana akan tinggal di rumah selama sepekan ke depan. "Sayang, kamu gak capek tanya-tanya terus? Daripada banyak kasih Mami pertanyaan, mending kamu mandi dulu gih! Bau keringat kamu," titah Diana sembari berpura-pura menutup hidungnya. Mencebik, Diary pun berkata. "Ya udah, kalo gitu Diary mandi dulu. Tapi janji ya, sehabis Diary mandi ... Mami harus siap sedia buat jawab semua pertanyaan Diary tanpa terlewatkan satu pun," pinta gadis itu tak mau tahu. "Iya." Diana mengangguk, "Kita akan bicara banyak sambil makan di luar," sambungnya melempar senyum. "Apa, Mi? Makan di luar?" Diary kembali memekik untuk ke sekian kalinya di sepanjang hari ini. "Iya. Kamu mau kan?" "Mau banget lah, Mi!" seru Diary bersemangat. "Kalo gitu, Diary mandi dulu ya. Dadah Mami!!" lambai gadis itu sembari melengos pergi meninggalkan Diana dan langsung bergegas menaiki tangga. Melihat keceriaan di wajah sang anak, Diana merasa ikut bahagia. Selama ini, dia bahkan hampir melupakan fakta bahwa anaknya masih sangat membutuhkan perhatiannya. Meskipun sudah beranjak remaja, tapi Diary memang masih sangat membutuhkan perhatian dan bimbingan dari orangtua, terutama dirinya. Maka, demi membuat hidup sang anak kembali ceria, Diana pun bertekad untuk tidak terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaannya sementara anaknya sendiri merasa kesepian di rumah sebesar ini. "Maafin Mami, Diary. Mami janji, mulai saat ini ... Mami akan berbagi waktu denganmu juga. Di samping mengerjakan banyak pekerjaan di kantor, Mami pun akan menyeimbangkan waktu untuk memanjakanmu seperti dulu. Ya, Mami akan melakukan apapun demi mengembalikan keceriaanmu yang sejauh ini sudah terenggut banyak...."                                                                                       *** Diary terkikik geli saat mendengar cerita lucu yang Diana lontarkan. Tak disangka, walaupun sudah menjelang usia lanjut, ternyata maminya memiliki selera humor yang tinggi. Buktinya, Diary sampai tak bisa berhenti tertawa setelah mendengar lawakan yang Diana lontarkan. Hati Diana membuncah bahagia kala melihat tawa yang lepas dari diri anaknya. Banyak hal yang sudah ia lewatkan sejauh ini rupanya. Diana bahkan baru menyadari kalau Diary sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang mempesona. Ya, Diana berani bertaruh. Jika Diary memiliki keinginan untuk menggaet banyak pria seumurannya di luar sana, mungkin bukan hanya satu atau dua yang tertarik. Bahkan tiga sampai lebih dari empat pun lelaki tampan di luaran sana akan berlomba-lomba untuk mendapatkan hati sang gadis. Mengingat itu, Diana jadi ingin iseng bertanya. "Oh ya, Di. Mami boleh tanya sesuatu?" Diary yang saat itu sedang asyik melahap tiramisu lezatnya pun kontan mengangguk pertanda bahwa ia mengizinkan sang mami jika ingin bertanya. "Omong-omong, apa kamu sudah punya pacar atau gebetan?" Dalam sekejap, Diary pun langsung terbatuk-batuk setelah dilontari pertanyaan sejenis itu. Lalu, bersamaan dengan itu pula, tahu-tahu seseorang datang menghampiri seraya menepuk bahunya hingga si pemilik bahu sendiri menoleh dan mendongak pada si penepuk. Saat matanya tertuju pada raut wajah yang sudah dikenalnya meski dalam penampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya, refleks, Diary pun terperangah tak percaya karena bisa bertemu tak sengaja dengan sosok itu di tempatnya kini berada. Melambaikan tangan, cowok berjambul itu pun lantas menyunggingkan senyuman lebarnya seraya menyapa, "Hai, Diary? Kamu di sini juga?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD