22. Perihal Mimpi

1911 Words
            “Aduh,“ Gerrald mengaduh. Selang sedetik, dia pun meringis.             “Sakit ya? Maaf,” ucap Diary menggigit bibir. Namun, apa boleh buat? Dia harus tetap mengobati luka yang ada di sudut bibir cowok itu atau hasil yang ia dapat dari pukulan para preman itu tidak akan sembuh jika tidak segera diobati. Sesampainya di rumah Diary, Gerrald ditahan dulu untuk tidak langsung pulang. Ia lantas dengan sigap mengambil kotak obat dan meminta salah satu pembantunya agar membawakan minuman dan--setidaknya satu toples--camilan untuk menjamu tamunya.             “Gue gak habis pikir, kok bisa-bisanya ya mereka ngadang kita kayak tadi. Padahal, kita lewat ke jalan itu bukan baru sekali itu doang kan? Udah beberapa kali malah. Tapi, kok baru kali ini gue lihat mereka keliaran di sekitar sana....” tutur Gerrald setelah Diary selesai mengobati lukanya.  Sembari memasukkan kembali obat antiseptik, kapas beserta plester ke dalam tempatnya lagi, Diary pun menghela napas. Mengangkat bahu ia pun berucap, “Namanya juga jalanan sepi, Ger. Sekali-kali, pasti akan dimanfaatin sama orang jahat kayak mereka. Bahkan, di zaman sekarang ... tempat ramai pun bisa berpontensi dipakai aksi kejahatan juga kan sama manusia sejenis mereka,“  Mendengar asumsi yang Diary lontarkan, Gerrald pun mengangguk paham. Tidak salah memang dari apa yang gadis itu bicarakan. Hanya saja Gerrald masih merasa janggal dengan peristiwa yang dialaminya tadi. Pasalnya, ketiga orang jahat itu seperti sudah sengaja ingin mengadang perjalanan mereka. Entah itu secara kebetulan atau justru sudah terencana. Gerrald merasa sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Tapi untungnya, dia bisa menanganinya hingga tuntas. Seandainya cowok itu tidak memiliki kemampuan bela diri, mungkin sekarang dia dan Diary sudah mengalami nasib nahas yang disebabkan oleh ketiga preman tadi. "Gak usah dipikirin! Yang penting kan kita udah selamat. Dan itu semua berkat kamu yang berani melawan mereka sampai kabur ketakutan," cetus Diary membuyarkan lamunan Gerrald. Melirik, cowok itu pun memasang senyuman manisnya walau ujung-ujungnya kembali meringis perih.             “Diminum dulu, Ger. Tar keburu gak enak kalo rasa dinginnya udah hilang....” ujar Diary mempersilakan. Gerrald mengangguk. Lalu segera meraih gelas berisi jus jeruk segar yang langsung ia tenggak hingga habis setengahnya. "Maaf ya, Di. Gara-gara ada kejadian yang gak diduga kayak tadi, kita malah jadi gagal ke danau deh," ucap Gerrald merasa tak enak. Namun hal itu segera ditepis oleh Diary. "Kenapa harus minta maaf? Kan itu bukan kemauan kamu juga. Premannya aja yang gak tau waktu. Ngadang kok pas kita mau ke danau. Kenapa gak di lain hari aja coba?" celetuk Diary menggembungkan pipi.  Sontak, hal itu pun membuat Gerrald tertawa hingga tanpa sadar ia pun mengacak rambut Diary yang langsung menyebabkan si pemilik rambut tertegun dan hanya melongo diam dengan debaran jantung yang mendadak tak keruan.             “Wah, ada keripik tempe nih. Ini kesukaan gue, by the way. Gue nyicip ya, Di....” seloroh Gerrald tanpa sedikit pun merasa peka pada apa yang sudah ia perbuat terhadap Diary. Dengan polosnya ia malah anteng mengunyah keripik yang satu persatu ia ambil dari dalam toples sedangkan Diary masih disibukkan oleh gelenyar-gelenyar cinta yang sudah Gerrald ciptakan.                                                                                         *** Diary dan Gerrald tertawa serempak saat menonton acara komedi yang tidak biasanya ingin mereka saksikan bersama-sama di waktu sore hari yang tenang tanpa hujan menemani. Saking betahnya Gerrald berdiam diri di rumah Diary hingga sudah menghabiskan beberapa toples camilan berikut minumannya juga, ia pun sampai lupa waktu dan baru ingat beberapa detik yang lalu bahwa ia ada janji dengan seseorang yang harus ia temui petang ini.              “Hati-hati ya, Ger! Jangan ngebut, “ ucap Diary melambaikan tangan. Kini, ia memang sedang berdiri di depan pagar guna mengantarkan Gerrald yang hendak pulang setelah puas menghabiskan waktu dengannya berjam-jam lamanya. Gerrald mengangguk seraya mengacungkan jempol, lalu setelah memakai helmnya, Gerrald pun segera melajukan motornya tanpa banyak basa basi lagi. Dia sudah terlambat, maka tidak ada waktu lagi untuk ia terus memperlambat jadwal temu yang bahkan sudah lewat beberapa menit. Sepeninggal Gerrald dan motornya, Diary kembali masuk ke dalam dan merapatkan pintu pagar yang diteruskan dengan berjalan menelusuri pekarangan rumah dan berakhir di teras. Untuk sesaat, gadis itu terdiam di sana. Senyumannya terukir di bibir. Entah dia harus mengumpat bahkan mengutuk ketiga preman itu atau malah sebaliknya? Yang jelas, meskipun tak jadi mengunjungi danau, ia pun masih bisa tertawa gembira bersama dengan Gerrald beberapa jam ke belakang. Sungguh, tidak ada hal yang mampu membangkitkan kebahagiaan Diary untuk saat ini selain hanya menghabiskan waktu bersama cowok yang disukainya itu.  Bagi Diary, Gerrald sudah menjadi sosok terpenting yang menempati isi hatinya paling utama. Tidak peduli cowok itu menyukainya balik atau bahkan tidak sekalipun, terpenting Diary hanya ingin membuat hatinya gembira dengan cara selalu menghabiskan waktu bersama Gerrald pada setiap kesempatan. Teringat pada sesuatu yang sempat Gerrald berikan padanya beberapa waktu lalu, Diary pun bergegas meninggalkan teras dan berlari memasuki rumah guna berlanjut menaiki tangga. Meski sempat disapa oleh Bik Minah yang saat itu sedang bersih-bersih meja ruangan tengah bekas menjamu Gerrald kala cowok itu mengisi kekosongan rumah besar ini selama beberapa jam lamanya, tapi Diary tidak mengindahkan sapaan salah satu ARTnya dan malah terus berlari hingga ia berhasil mencapai anak tangga paling atas lantas masuk ke kamarnya.  Sesampainya di ruang tidurnya tersebut, perhatiannya pun langsung tertuju pada satu benda yang mengisi salah satu sisi tempat tidurnya diiringi dengan senyuman semringahnya. Kembali melangkah, Diary pun beringsut meraih boneka beruang besar pemberian Gerrald tempo hari yang kemudian ia peluk erat-erat dan diciuminya berkali-kali.  "Thanks, Gerrald. Semenjak ada kamu, aku bahkan udah gak ngerasa kesepian lagi saat menjalani hari-hariku ini. Sekali lagi aku ucap terima kasih ... kamu adalah anugrah paling indah yang diutus oleh Tuhan untuk menjadi malaikat pelindungku di saat aku sedang mengalami sesuatu yang membahayakan," tutur Diary di tengah pelukan eratnya pada boneka beruang tersebut. Setidaknya, ia masih bisa menganggap boneka itu sebagai sosok Gerrald yang belum bisa ia peluk secara nyata sebebas ia memeluk boneka beruang besar itu seperti sekarang.                                                                                      ***             “DIARY, AWAASSS!!” teriak sebuah suara lantang. Seseorang menarik Diary yang sedang berdiri polos di tengah jalan. Jika terlambat sedikit saja, mobil yang akan melaju ke hadapannya itu bahkan nyaris menabrak tubuh mungil tersebut yang kini justru malah sedang menangis kencang setelah seseorang menggantikan posisinya. CKIIIT.  BRUKK. Tanpa diduga, tubuh wanita yang menolong Diary sesaat lalu kini sudah terpental jauh dengan lumuran darah yang memenuhi kepala serta bagian lutut kakinya yang mengalir deras menggenangi aspal. Mami Diary yang melihat secara langsung kejadian nahas tersebut pun lekas berlari menuju ke arah tubuh si wanita. Sementara itu, Diary yang masih kecil nan polos pun hanya berceloteh sesukanya saja setelah sempat digendong lebih dulu oleh Diana yang kini sudah berada di depan tubuh bersimbah darah yang tergeletak tak berdaya di atas aspal sana.             “Lianaaaaa!” teriak Diana histeris. Kontan, teriakan tak nyata itu pun berhasil telak membangunkan Diary dari tidur nyenyaknya yang seketika membuat napasnya tersengal-sengal dengan buliran keringat membasahi pelipis berikut keningnya. Untuk sesaat, Diary pun menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.             “Astaga, aku mimpi itu lagi. Setelah sekian lama, aku kembali didatangi mimpi yang sama dengan kronologis serupa. Gak mungkin kalo ini hanya sebuah cerita tanpa makna yang dinamai bunga tidur," gumam gadis itu setelah menurunkan kedua tangannya dari wajahnya dan kini sedikit beringsut untuk meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas.  Pukul 22.30. Angka itulah yang kini ditunjukkan oleh jam digital yang tertera di sudut kanan atas layar ponselnya ketika Diary menyalakannya.  "Siapa Liana yang Mami teriakkan dalam mimpiku tadi? Kenapa itu terdengar sangat nyata di telingaku? Apa, aku mengenal nama itu? Dan kalo pun iya, kenapa justru aku gak bisa ingat sama sekali terhadap nama itu apalagi kejadian yang menimpaku dulu seperti yang tergambar jelas dalam mimpi yang udah berkali-kali aku alami...." gumamnya bertanya-tanya. Lalu, tak ingin terus dihantui oleh rasa penasaran yang mendominasi. Diary pun berniat untuk menghubungi maminya detik ini juga. Tidak peduli jika maminya akan marah atau bahkan menceramahinya lagi karena sudah mengganggu waktu berharganya di jam segini. Diary hanya ingin memastikan sekaligus mencari tahu saja tentang nama Liana yang maminya sendiri teriakkan di dalam mimpinya tadi. Mencari nama kontak sang mami, Diary pun langsung menekan icon memanggil dan menunggu panggilannya tersambung bagaimana pun caranya. Hingga di dering ketiga, nada tut pun sudah berganti dengan suara maminya yang menyapa di seberang sana.             “Halo, Mi? “ sapa Diary mengawali.             “Ada apa, Diary? Kenapa kamu telepon Mami malam-malam begini? Sesuatu yang genting telah terjadikah?” sahut Diana mencoba menebak. Diary menghela napas sejenak, “Maaf kalo telepon dari Diary udah ganggu waktu berharga Mami, tapi ... Diary gak bisa nunggu sampe besok buat nanyain hal darurat ini sama Mami. Jadi, tolong Mami jawab pertanyaan Diary dengan sangat jujur tanpa ada rekayasa sedikit pun....” papar Diary berusaha menyelidik.             “Apa sih? Gak usah bertele-tele, deh. Kamu mau tanya apa sebenarnya, hem?” tuntut Diana menantikan balasan sang anak segera. Lantas, tak lama kemudian, suara Diary pun kembali terdengar dari tempatnya kini berada.             “Maaf kalo Diary lancang. Tapi, apa Mami kenal sama orang yang bernama Liana? Kalo kenal, siapa dia, Mi? Terus ... apa orang bernama Liana itu ada di mana sekarang? Apa Diary boleh tau tentang seluk beluk Mami yang mengenal nama orang itu?” Rentetan kalimat pertanyaan yang Diary lontarkan kontan membuat Diana mendadak kehilangan suaranya. Buktinya, tidak ada jawaban lagi dari wanita itu. Dibanding segera memupus rasa penasaran sang anak, dia justru malah mencoba berkelit setelah akhirnya kembali menemukan suaranya lagi. "Ka-kamu kenapa tiba-tiba nanyain itu, Di? Kamu gak lagi mencoba buat nyari-nyari alesan aja kan hanya untuk bicara sama Mami di jam seperti ini? Kalo itu niatmu, lebih baik simpan saja semua pertanyaan kamu. Mami gak ada waktu buat sekadar layanin kamu dengan sejumlah pertanyaan yang gak penting kayak gitu. Sudah ya, kamu tau kan kalo Mami--" "Iya Diary tau kalo Mami sibuk." Gadis itu seketika memotong pembicaraan Diana. Dia sadar, maminya itu pasti sedang berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. Jika begitu, Diary jadi semakin yakin kalau maminya memang mengenal nama Liana berikut asal usul dan sepenggal kisah di masa lalu.  "Diary mohon, Mi. Diary gak akan tanya ini kalo nama itu gak Mami sebut dengan jelas di mimpi Diary. Jadi tolong, seenggaknya ... Mami jawab aja siapa Liana dan bagaimana bisa nama itu terus menerus menghampiri mimpi Diary dalam beberapa kali di setiap kesempatan Diary bermimpi," tukas Diary tak ingin menyerah.  Dalam beberapa detik, Diana kembali bungkam. Sepertinya, sesuatu memang ia ketahui. Jika Diana tidak mengetahui apapun soal sosok bernama Liana, mungkin ia akan langsung mengatakan bahwa dirinya tidak tahu menahu soal itu. Pasalnya, Diana bukan wanita yang ingin berlama-lama mengobrol dengan anaknya di saat pekerjaan masih jauh lebih penting dari anaknya sendiri. Tapi yang terjadi saat ini adalah, Diana seakan ingin tetap membisu walau anaknya sudah mendesak dirinya agar sebaiknya ia memberitahukannya soal sosok bernama Liana tersebut. "Sebenarnya, Liana itu--" Di saat Diary sudah akan mendapatkan informasi yang sedang ia nantikan, justru ponselnya malah mendadak mati hingga seketika sambungan dengan maminya pun terputus begitu saja dan sukses membuatnya dongkol seketika karena ponselnya harus kehabisan batre di tengah ia yang sudah akan mengetahui siapa itu Liana.  "Batre s****n! Kenapa harus habis di saat waktu yang gak diinginkan...." gerutu Diary mendecak kesal.  Beranjak dari ranjang, ia pun buru-buru menyambungkan charger ponselnya agar batrenya kembali terisi dan saat sudah penuh nanti, ia akan menelepon maminya lagi untuk meminta penjelasan lebih lanjut perihal sosok bernama Liana yang selalu memasuki mimpinya beberapa kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD