GENI 5 - APA LAGI INI?

2178 Words
Kakiku kembali menapaki lorong serba putih, tak banyak orang yang berlalu lalang di sini. Terbilang sepi. Pak Slamet tidak ikut denganku kembali ke rumah sakit, beliau memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Mungkin ada beberapa urusan yang harus beliau urus secepatnya. Satu tikungan di depan sudah sampai di ruangan rawat bapak, kakiku berhenti sejenak. Ada perasaan tak siap menjalari hati kecilku, aku tak siap bertemu dengan mamak, Sekar dan tentunya bapak yang masih terbaring lemah. Aku menghela napasku panjang, membuang semua pikiran buruk dan juga rasa ragu yang membayangi hatiku. Kasihan mamak dan Sekar menghadapi semua ini hanya berdua, aku sebagai laki-laki harus menjadi pundak terkuat bagi kedua perempuan yang paling ku sayangi. Aku memantabkan diri lagi untuk menemui mamak, Sekar dan juga bapak. Mamakku dan adikku saja bisa tegar dan ikhlas melewati semua ini, harusnya aku lebih kuat lagi dari mereka. Saat ini aku menjadi tumpuan mereka dan bahu bersandar pengganti bapak. Kakiku kembali melangkah seiring semangat yang terus bertambah. Pandangan pertama yang ku dapati adalah mamak yang masih duduk di kursi sama sejak tadi pagi, begitu juga dengan Sekar, adikku. Mamak mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis ke arahku. Aku mencium tangannya lalu memeluk tubuh rapuhnya. Mamak terlihat tegar tapi aku tau jika hatinya tak setegar itu. “Bagaimana keadaan bapak, Mak? Sudah ada perkembangan ke arah yang lebih baik, ‘kah?” tanyaku. Sekar menatapku dengan helaan napas panjang, ia lalu meraup wajahnya perlahan. Dapat ku simpulkan jika bapak belum ada perkembangan, wajah Sekar dan Mamak sudah menjawab semua pertanyaanku. Sekar terlihat lesu dari biasanya begitu juga dengan Mamak, aku curiga mereka berdua sama sekali belum terjamah makanan. Di keadaan seperti sekarang kondisi kami adalah yang terpenting, bila kami tumbang lalu siapa yang akan menjaga bapak? Sanak saudara saja tidak ada yang datang, bahkan adik kandung bapak satu-satunya tidak datang kemari. Mungkin hanya Pak Slamet yang masih peduli dengan keluarga kami dan beberapa tetangga lainnya yang bolak-balik mengirim pesan padaku, sekedar bertanya keadaan kami dan juga bapak. Kami harus saling menjaga, tidak ada yang peduli jika tidak kita sendiri. Kesehatan adalah yang terpenting, kami tidak boleh sampai tumbang. Kasihan bapak sendirian tidak ada yang menjaga di sini kalau kami semua tumbang. Aku menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Mamak sama Sekar udah makan? Pasti belum kan? Ini udah jam satu loh, makan ya?” “Banyu nggak menerima penolakan, pokoknya Mamak sama Sekar harus makan dulu. Kita makan bareng. Nanti kalau ada apa-apa pasti dikabari sama perawatnya kok. Kita nggak boleh sampai sakit, nanti siapa yang jaga bapak kalau kita semua sampai sakit? Om Rino aja nggak ke sini padahal bapak itu saudara satu-satunya. Kita nggak bisa bergantung pada orang lain, Mak.” Aku berusaha terus membujuk mamak dan juga Sekar. Bagaimana pun juga kesehatan mereka berdua adalah yang terpenting sekarang ini. “Mamak ndak laper, Mas. Kamu saja sama Sekar yang makan ya. Mamak tak di sini aja nungguin bapakmu, Mas. Kalian aja yang makan, kalian jangan sampai sakit ya. Mamak nanti aja,” tolak Mamakku. Aku tak menerima penolakan dalam bentuk apa pun, akhirnya aku memilih menuntun mamak pergi ke kantin. Beliau sempat memberontak, tapi tetap aku bawa ke sana. Selain aku dan Sekar, beliau juga butuh asupan makanan. Bahkan menurutku mamak yang lebih penting mendapatkan asupan makanan ketimbang aku dan Sekar, wajah mamak terlihat lesu, pucat dan seperti tidak bertenaga. “Mak, Banyu nggak menerima penolakan. Pokoknya kita makan bareng, bertiga. Mamak kondisinya udah lemas gini, jadi Banyu mau nggak ada penolakan dari mamak. Nanti kalau bapak sudah sadar kita udah punya tenaga lagi buat gantian jaga, Mak. Kali ini aja nurut sama Banyu ya, Mak. Banyu juga pengen yang terbaik buat mamak.” Aku mengusap punggung mamakku dengan senyuman tipis menghiasi wajahku, sebisa mungkin aku harus terlihat baik-baik saja di depan mamak dan juga Sekar. Dan yang terpenting aku harus bisa membujuk kedua perempuan ini untuk makan, karena kesehatan mereka juga penting. Setelah bersusah payah membujuk mamak dan Sekar, akhirnya mereka luluh juga. Mamak mau pun Sekar mau aku ajak pergi ke kantin, meninggalkan bapak sekitar lima belas menit jika ada. Kami akan kembali segera selepas makan. Melewati lorong-lorong serba putih dan berakhir di tempat kantin rumah sakit yang bisa dibilang lumayan ramai. Mamak memesan soto, sedangkan aku dan Sekar hanya pasrah mengikuti kemauan mamak. Yang penting mamak mau makan, itu semua sudah menjadi anugerah terindah. “Kalau bapak sadar bagaimana, Mas? Kita masih di sini semua loh, nggak kita bawa aja ke sana makanannya? Kasihan bapak sendirian. Mamak jadi khawatir sama bapak.” Wajah mamak terlihat cemas, aku menggenggam tangan beliau yang terasa dingin. Pikiran beliau masih risau dan tidak tenang, bahkan duduknya pun terasa tak nyaman. Batinnya ingin sekali tetap berada di depan ruangan bapak dirawat. Sedetik pun tak rela beranjak dari sana, tapi perut mamak terlanjur kosong dari kemarin dan harus mendapatkan makanan segera. Bila tidak pasti asam lambungnya akan segera naik. Aku tersenyum, menatap mamak penuh arti. Lalu terus mencoba menenangkan dan membujuk beliau agar lebih tenang. “Mak, bapak aman di sana. Kalau nanti bapak sadar pasti perawat yang ada di sana hubungi Banyu kok. Mamak jangan terlalu khawatir ya. Kita isi perut dulu, Mak. Perut mamak dari kemarin kosong terus loh, nanti asam lambungnya bisa naik. Kalau mamak sakit siapa yang bakal jagain bapak? Pokoknya harus makan dulu ya, Mak. Jangan sampai enggak, nanti mamak bisa sakit.” “Iya, Mak, bener kata Mas Banyu. Kita harus jaga kesehatan. Bapak udah sakit di dalam sana tadi, kalau kita nggak makan terus nanti jatuh sakit. Terus siapa yang bakal jaga bapak, Mak? Orang lain nggak bakalan mau jagain bapak, Mak. Kita keluarga bapak, ya cuma kita yang peduli satu sama lain. Jadi mamak nggak boleh mogok makan ya. Tetap jaga kesehatan biar mamak bisa terus jaga bapak di sini. Mas Banyu ngomong gini karena sayang sama mamak, sama Sekar dan juga sama bapak.” Sekar menambahi dengan tatapan sendu ke arah mamak. Adik perempuan ku ini ternyata sudah bisa memahami apa yang sedang kami satu keluarga alami, dia juga bisa membantuku membujuk mamak. Aku salut dengannya. Dia masih kecil tapi sudah dituntut menjadi dewasa. Aku yakin dia bisa menjadi bahu terkuat untuk kami sekeluarga. Mamakku hanya pasrah, beliau menganggukkan kepalanya. Pesanan kami telah tiba, aku tetap berusaha memantau makan mamakku. Meski terlihat pelan dan kurang berselera, sendok berisi makanan yang beliau pegang selalu berujung masuk ke dalam mulut. Aku bersyukur, mamak akhirnya mau kami bujuk. Sekar menatapku lalu tersenyum kecil. Setidaknya aku masih memiliki Sekar untuk menjadi tempat bersandar. Kami berdua hanya bisa saling menguatkan. Dan terus berdoa untuk kesembuhan bapak kami. “Mas, kuliahmu bagaimana? Jangan sampai kuliahmu terputus gara-gara pulang ke Pacitan, Mas. Kamu mending besok balik aja ke Malang, kuliahmu itu penting. Sudah sampai separuh jalan lebih loh, Mas Banyu, nggak sayang kalau kamu tinggal pulang. Pasti di kampus banyak kegiatan, ‘kan? Mamak nggak mau kamu putus kuliah, kamu masuk di sana saja penuh perjuangan berat. Kalau kamu sampai keluar, sayang sekali perjuanganmu selama ini, Mas. Kamu besok balik aja ya ke Malang, bapak pasti nanti segera sadar kok. Bapak itu cuma kecapekan aja, Mas.” Mamak tersenyum ke arahku sambil mengelus punggung tanganku. Bagaimana bisa aku kembali ke Malang, jika kondisi bapak masih belum sadar? Bahkan, dokter sendiri tidak tau penyakit apa yang sedang menyerang bapak. Aku tak mungkin setega itu pada bapak. Terlebih aku belum jujur dengan dugaan Mbah Kadiran tentang kondisi bapak sekarang. Pasti mamak tambah khawatir mendengar hal tersebut. Aku belum siap jika melihat mamak dan Sekar sedih. Tapi aku juga tidak mungkin memendam masalah ini sendirian, kepalaku terasa ingin meledak. Aku bukan tipekal orang yang bisa memendam masalah sendirian, aku terbiasa menceritakan semua keluh kesahku pada mamak atau pun bapak. Dan untuk kali ini, kedua sandaranku sedang tidak bisa ku andalkan. Mereka sedang rapuh. Hanya Sekar yang mungkin bisa ku ajak bicara empat mata, dia sangat pandai menyembunyikan rahasia. Aku yakin dia juga bisa memberikan solusi terbaik untuk masalah yang sedang kami hadapi bersama. Sekarang harapanku tersisa hanya pada Sekar, adikku. Aku berharap lebih padanya, semoga dia bisa menjadi bahu terkuat untukku saat ini. Sekar menatapku lalu menggelengkan kepalanya pelan, aku tau dia sedang memberikan sebuah kode yang menyuruhku untuk tetap diam. Bukan bermaksud mengabaikan mamak, tapi sepertinya sekarang diam adalah menjadi jawaban terbaik. “Habisin dulu aja ya, Mak. Masalah Mas Banyu nanti kita bicarakan lagi. Kasihan Mas Banyu baru pulang loh dari tempat pesisir tadi, pasti capek banget. Kita sambung makan dulu aja ya, masalah kuliah atau pun hal lain nanti kita bicarakan kembali. Ini juga menghemat waktu juga, ’kan? Kasihan bapak nggak ada yang jaga. Jadi kita harus sedikit lebih cepat.” Sekar tersenyum ke arah mamak. Dan untung saja mamak menganggukkan kepalanya lalu bersemangat sekali untuk menghabiskan makanan yang tersaji di hadapannya. Ini menjadi pertanda baik untukku yang tidak perlu repot membuat mamak terlalu memikirkan kuliah dan semua masalahku di Malang. Mamak terlihat lahap sekali, entah karena lapar atau karena dorongan ingin segera menunggu bapak. Yang jelas itu menjadi hal terbaik. Aku tidak perlu memaksa atau pun membujuk mamak untuk menghabiskan makanannya, mamak sudah memiliki semangat tersendiri sebagai pacuan untuk menghabiskan makannya. Sekar kembali menatapku dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya. Aku pun menganggukkan kepalaku perlahan. Setidaknya kami memiliki satu tujuan yang sama sekarang. Tidak terlalu membebani pikiran mamak dengan pikiran yang berat. Kesehatan mamak harus menjadi hal yang utama sekarang ini. Tak membutuhkan waktu yang lama, kami menyelesaikan makan siang terlanjur sore ini. Mamak berjalan mendahului aku dan Sekar, beliau sudah tidak sabar untuk sampai di tempat bapak. Sekar memegang tanganku seolah ingin berbicara empat mata denganku, sebentar. Aku menghentikan langkahku agar mamak bisa mendahului kami dan juga tidak mendengar pembicaraan kami berdua. “Mas, aku mohon apa pun yang mas dapat hari ini dari kediaman Mbah Kadiran disimpan rapat-rapat dulu. Aku bersedia jadi tempat curhat, tapi nanti kalau bapak sudah sadar. Sementara mas jaga dulu ya sama Pak Slamet. Aku takut kalau mamak sampai tau pasti beliau langsung drop, pikirannya langsung buyar kemana-mana. Jadi malah nggak fokus jaga bapak. Aku yakin Mas Banyu sekarang ini pengen banget cerita, tapi jangan sekarang. Aku bakal dengerin semua, Mas.” Sekar menatapku penuh harap. Aku sudah menebak hal ini. Helaan napas panjang dan juga anggukan kepala menjadi jawabanku pada Sekar. Dia tersenyum lalu memelukku erat. “Makasih, Mas Banyu. Kita susul mamak, yuk!” ajak Sekar yang aku angguki kepala. Kami berjalan berdampingan. Mamak mungkin sudah sampai di sana, mengingat jalannya saja hampir seperti setengah berlari. Sebuah pemandangan langka menusuk mata kami, bahkan Sekar sampai berdecih melihat laki-laki yang duduk di hadapan mamak. Wajahnya mirip sekali dengan bapakku, sebelas dua belas. Tapi sayang sekali sifatnya bagaikan langit dan bumi. Laki-laki itu adalah paman kami, Om Rino. Wajahnya garang menatap aku dan Sekar, sinis. Tidak ada angin dan juga tidak ada hujan, tiba-tiba beliau memasang wajah seolah memiliki dendam pribadi padaku dan Sekar. Mamak hanya diam bersandar di tembok, sepertinya mamak punya banyak beban pikiran sekarang. “Apa kabar, Om?” tanyaku sambil salim dan juga mencium tangannya. Sekar membuntutiku dari belakang dan mengikuti apa yang aku lakukan. Beliau hanya menganggukkan kepalanya. Seperti biasa wajah beliau selalu tidak sedap untuk dipandang. “Kok tau kalau bapak dirawat di sini, Om? Dapat kabar dari mana, Om?” lanjutku. Beliau menghela napasnya perlahan, lalu menunjuk Sekar yang berada di sampingku. Dia sudah menundukkan kepalanya, takut mendapatkan tatapan maut dariku. Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum. Sebisa mungkin aku bersikap baik dan sopan pada Om Rino, meski beliau tidak pernah menghargai kami ada. “Sekar, adikmu yang memberi kabar. Sakit apa si Soma? Makanya jadi orang jangan tamak, jadi ini balasannya.” Aku memegang tangan Sekar seketika, dia sudah bereaksi seperti ingin menjawab ucapan Om Rino. Aku terus berusaha menenangkan pikiranku dan juga hatiku, jangan sampai terpancing emosi. Bertemu dengan Om Rino sama saja latihan sabar tingkat dewa, tak semua orang bisa menghadapi watak beliau yang keras dan seenaknya sendiri. “Dokter belum memberi tau sakit yang diderita bapak, Om.” jawabku seadanya. Tapi memang begitu adanya, kami satu keluarga sendiri tidak tau apa penyakit yang sedang bapak hadapi. Bapak berjuang sendirian dan kami hanya bisa menguatkan tanpa tau bagaimana rasanya menjadi bapak. “Sudah jelas sekali, Banyu. Bapakmu itu kena guna-guna, namanya orang jahat seperti dia pasti banyak yang ingin menjatuhkan.” Senyuman miring dilayangkan Om Rino ke arah aku dan Sekar. Aku masih bisa menahan emosiku, tapi Sekar sudah ingin mencakar wajah Om Rino saat ini juga. Tapi tetap aku pegang tangan Sekar, dia masih berada di bawah kendaliku. Om Rino beranjak dari duduknya dan pergi tanpa pamitan. Gayanya dari jaman dahulu sampai sekarang tidak pernah berubah sama sekali, tengil dan sombong. Bahkan kesopanannya pun nol besar. Aku dan Sekar hanya bisa menggelengkan kepala perlahan, memang tak heran dengan sifat labil dari Om Rino. Lalu dokter dan beberapa perawat masuk ke dalam ruang rawat bapak, tergopoh-gopoh. Kami bertiga berharap bapak bisa sadar dan kembali seperti sebelumnya. Mamak memeluk tubuhku begitu juga dengan Sekar. Samar-samar terdengar suara orang tertawa, tapi lebih seperti suara nenek-nenek. Siapa yang berada di ruang rawat bapak? Mengapa malah ada suara tawa nenek-nenek?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD