GENI 11 - BERANTAKAN

2098 Words
Kondisi kami mulai kondusif, bapak sudah tenang dan sepertinya kembali seperti biasa. Beliau mulai bisa mengingat aku dan Sekar, bahkan bercanda dengan kami. Aku mulai memiliki harapan jika bapak bisa sembuh total seperti semula. Dan hari ini, beliau sudah diperbolehkan pulang setelah kejadia dua hari yang lalu mengamuk tak terkendali. Raut wajah mamak ikut sumringah, kami bahagia melihat bapak sudah membaik. Setidaknya bila aku akan kembali ke Malang, tak ada yang membuatku terlalu khawatir memikirkan keadaan mamak, bapak dan juga Sekar. Kami menunggu jemputan dari salah satu anak buah bapak, aku rasa bapak kali ini sudah benar-benar sembuh. Semua nama karyawannya pun beliau hafal, bahkan candaannya pun masih sama seperti dulu. Ini menjadi pertanda baik untuk kami sekeluarga, bapak sudah jauh lebih baik dan akan terus membaik. Pak Slamet dan Mbah Kadiran sudah menunggu kami di rumah, sebelum kami masuk ke rumah itu terlebih dahulu akan diruwat oleh Mbah Kadiran. Seperti pengusiran makhluk jahat dari dalam rumah dan selepas ini kami berharap agar terus baik-baik saja sampai nanti. Mobil jemputan sudah sampai. Pikiran dan hati kami sudah memiliki niat baik untuk kembali pulang ke rumah, jangan sampai kami kembali ke tempat ini dengan masalah yang sama. Sekar duduk di sampingku, kami berdua duduk di bangku paling di belakang. Sama-sama termenung, memikirkan jalan pikiran masing-masing. Pikiranku mulai bercabang-cabang, ragaku berada di sini tapi otakku sudah terbang ke tempat entah berantah. Bohong jika aku tak memikirkan kuliahku, perjuanganku selama ini untuk masuk di kampus tersebut bukan hal yang mudah. Ada perasaan takut kena drop out oleh pihak kampus, tapi tak mungkin aku akan pergi ke sana dengan kondisi bapak yang masih seperti ini. Bahkan aku tak sadar mobil yang ku tumpangi kini hampir mendekati pekarangan rumah, Sekar menyenggol tanganku sambil memberi isyarat untuk memasang senyuman. Aku menghela napas panjang lalu menganggukkan kepala perlahan. Dengan perlahan bibirku menarik senyuman tipis, begitu juga dengan Sekar. Kami kompak memasang senyuman terbaik yang pernah kami miliki dan yang kami bisa. Wajah mamak penuh guratan bahagia dan begitu juga dengan bapak. Akhirnya kami sampai di rumah, Pak Slamet dan Mbah Kadiran tersenyum melihat mobil kami masuk ke dalam pekarangan rumah. Ada beberapa tetangga yang ikut menyambut kepulangan kami seperti kedua orang tua Pak Slamet, anak dan istri beliau. Hanya itu saja, selebihnya masih takut dengan kami. Bapak berjabat tangan dengan mereka semua, disusul mamak, aku kemudian Sekar. Kami sangat berterimakasih telah disambut oleh mereka, masih ada yang berani dengan keluarga kami dan tentu saja menjadi angin segar untuk kami berdua. Tak semua orang takut dengan kami, masih ada yang respect dan bahkan perhatian sekali seperti Pak Slamet sekeluarga. Kami masuk ke dalam rumah, sudah tersaji makanan entah siapa yang masak. Tentu saja ini tak jauh dari keluarga Pak Slamet, harus dengan apa aku membalas kebaikan Pak Slamet? Beliau sudah terlalu baik dengan kami sekeluarga, dari mengantarkan aku ke rumah Mbah Kadiran, membantu membersihkan dan merawat rumah, bahkan sekarang sampai menyambut kepulangan kami dengan menyiapkan makanan sekalian. Aku percaya masih ada orang sebaik Pak Slamet di dunia ini. “Alhamdulillah ya, Pak, sudah bisa kembali lagi ke rumah ini. Insyaallah semuanya sudah aman.” ucap Pak Slamet dengan tersenyum. Mbah Kadiran menganggukkan kepalanya di samping Pak Slamet. Aku ikut tersenyum dengan merangkul bahu Sekar. Senyuman bapak ikut mengembang sempurna, tangan beliau tertaut mesra dengan tangan mamak. “Terimakasih atas semua kebaikan Pak Slamet dan sekeluarga besar, Mbah Kadiran dan keluarga, sudah berbaik hati mau mengulurkan tangannya membantu kami. Padahal yang lain saja menghindar pas lihat kami sekeluarga. Tak tau harus dengan apa kami membalas kebaikan Pak Slamet dan Mbah Kadiran sekeluarga. Kami sangat berterimakasih. Semoga tali silaturahmi kita terjaga sampai nanti, jangan sampai putus. Kalau bisa malah semakin erat.” Bapak mengatakan hal tersebut dengan diakhiri senyuman tipis. Kami semua bahagia bapak bisa kembali seperti semula, wajahnya pun berseri-seri layaknya bapak asli. Aku sudah mengenali bapak, bapak yang dahulu sudah kembali. “Kami semua keluarga Pak Soma, satu sakit semua ikut sakit. Kalau kami bisa membantu pasti akan kami bantu, Pak, kita ini masih keluarga. Sesuai adabnya kita harus saling tolong menolong, pokoknya kalau kita bisa membantu harus dibantu. Jangan ragu untuk bilang sama saya, Pak, sebisa mungkin saya dan sekeluarga akan membantu.” Pak Slamet pun menatap kami dengan tersenyum. Pak Man, bapak Pak Slamet, ikut tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Kami juga akan membantu, Pak Soma. Semua itu masih keluarga.” Aku tersenyum miris, mereka adalah tetangga bagi kami. Tapi ternyata baiknya melebihi keluarga sendiri, sedangkan keluarga kami sendiri malah asing. Seolah tak menganggap kami keluarganya. Bapak menatapku sekilas sambil tersenyum, mungkin beliau mengerti apa yang tengah aku pikirkan sekarang ini. Om Rino menjadi objek utama dalam pikiranku, kemana beliau hari ini? Menghilang kembali, tanpa jejak. Aku paham sekarang, beliau akan datang bila ingin mendapatkan sesuatu dari keluargaku. Seperti halnya kemarin sehabis membuat bapak menjadi orang lain, beliau langsung menghilang. Bersembunyi. Dan aku yakin pasti akan muncul kembali bila sudah pada waktunya. Selepas perbincangan dan makan bersama, mereka pulang. Rumah terasa sepi kembali, bapak istirahat di kamar. Sedangkan aku dan Sekar memilih duduk di taman samping. Mamak ikut melihat tanamannya yang sudah berganti menjadi rumput liar di pot. Beliau sedih sekali menatap semua tanaman obat dan bunga kesayangannya mati, tak ada yang tersisa barang sebatang saja. Hanya beberapa bunga yang masih hidup, berada di halaman depan. Itu pun saat kami membersihkan halaman beberapa hari yang lalu, belum tentu masih bertahan sampai detik ini. Padahal udara di rumah tidak terlalu panas, hujan juga sering turun. Tapi kenapa semua tanaman di rumah ini bisa mati? Untung saja pohon mangga dan beberapa pohon lain tidak ikut layu, bisa mendatangkan masalah besar. “Besok beli lagi, Mak, nanti Banyu belikan ya. Mungkin kepanasan ya jadi semua ikut mati kayak gini,” komenku dengan ikut menatap jajaran pot yang mamak pegangi satu per satu. Sekar yang sedang memakan es krim ikut menganggukkan kepala, seolah setuju dengan ucapanku. Mamak hanya menghela napas perlahan sambil mengangggukkan kepala lemas. Semua tanaman yang ada di rumah ini adalah hasil jerih payah mamak mengumpulkan uang sisa dari belanja, setelah terkumpul dibelikan bunga dan beberapa tumbuhan. Kata beliau, halaman rumah ini terlalu gersang dan nampak kurang segar di mata. Tapi sekarang semua mati, bisa dibilang tidak ada yang tersisa satu pun. “Semua kok ya mati to, Mas Banyu. Padahal dulu di sini itu anginnya jadi seger pas ada tanamannya, katanya kalau banyak tumbuhan hijau malah banyak yang produksi oksigen. Tapi kalau mati semua kayak gini, gimana? Padahal mamak belinya nggak murah loh. Sayang kalau mati semua gini. Ya uwes ndak papa, paling ndak mau mamak rawat.” Mamak akhirnya pasrah dan ikhlas dengan semua bunga yang sudah mati. Kami duduk bertiga di teras samping, udara siang hari ini terasa panas sekali. Bahkan teras ini yang biasanya terasa angin sepoi-sepoi, kini terasa tidak ada angin yang melewati teras ini. Memang paling benar mengurung diri di dalam ruangan saja dengan AC suhu rendah. Harusnya seperti bapak yang memilih istirahat di kamar, jelas lebih dingin daripada di luar yang panas banget. Mamak pun memilih masuk ke dalam, tersisa aku dan Sekar yang masih anteng berada di sini. Langit biru bersih tanpa gumpalan awan, nyatanya menjadi daya tarik sendiri di mata kami. Bahkan sampai mengalahkan udara panas dan teriknya matahari siang ini. Mata kami seolah terhipnotis dengan pesona cantik langit hari ini. Pikiran pun ingin melepas beban yang sudah menggunung, menumpuk lama di kepala. Sudah memberontak meminta dibebaskan dengan memandangi langit luas seperti ini terasa lebih baik daripada sebelumnya. “Mas, berarti kamu habis ini balik lagi ke Malang dong? Yah, bakal sendirian lagi. Padahal aku seneng banget kamu pulang, Mas, ada temen lagi di rumah. Tapi kayaknya kamu nggak lama di rumah, nanti kalau libur pulang lagi ya. Terus nanti kita liburan bareng satu keluarga. Kalau dipikir kita nggak pernah loh liburan bareng satu keluarga, Mas. Aku juga pengen kayak temen-temenku yang lain, liburan sama keluarganya. Kayaknya seru deh bisa habisin waktu liburan tuh sama keluarga, Mas. Kalau mamak sama aku jelas bisa, tapi kamu sama bapak? Kalian berdua sibuk terus. Bapak pasti sibuk ngurus jualannya, kamu pasti pulangnya mepet. Malah banyak waktu di Malang daripada di rumah. Jadi nanti aku minta kamu harus pulang awal daripada biasanya, terus nanti kita liburan bareng.” Sekar menatapku dengan tersenyum kecil. Hatiku tertohok, selama ini aku tak pernah menghabiskan waktuku di rumah. Setiap liburan semester pasti aku habiskan dengan teman-temanku, pulang hanya sekitar tiga hari lalu balik lagi ke kosan. Aku merangkul bahu Sekar sambil mengacak-acak rambutnya perlahan, kepalaku menganggguk. Tak tega melihatnya begitu kesiksa dengan aktivitas kami yang begitu sibuk, tapi kalau aku pura-pura sibuk. Sekar pasti juga ingin seperti remaja lain seumurannya yang jalan-jalan dan liburan bersama keluarganya, tentunya bisa dia jadikan ajang pamer di hadapan teman-temannya. Kasihan sekali adikku. Menjadi pendengar saja di antara teman-temannya. “Nanti kita jalan-jalan bareng ya. Liburan kemana pun yang kamu mau, Dek. Sebisa mungkin aku bakal pulang lebih awal, jadi nanti bisa kita habiskan waktu bersama. Kamu mau kemana aja bakal mas turutin, jangan khawatir. Kamu pasti cuma diem aja pas teman-teman kamu cerita liburan ya? Jadi pendengar yang baik sambil meratapi nasib aja. Kasihan sekali adik mas ini. Nanti kita bakalan liburan. Mas janji ke kamu,” ucapku sambil tersenyum. Dia memelukku erat sambil berbisik mengucapkan terimakasih. Kali ini aku harus bisa mengabulkan kemauan adikku, sederhana sekali sebenarnya tapi susah untuk kami wujudkan. “Awas aja kalau sampai bohong. Kalau bohong dosa loh, Mas. Jadi nggak boleh bohong, apalagi sampai ingkar janji. Nggak boleh. Kalau udah janji harus ditepati ya. Tambah ganteng aja nih kakaknya Sekar.” Sekar memujiku dengan terkekeh pelan. Aku hanya tersenyum kecil sambil menyubit pipinya perlahan. Entah karena apa kali ini kami bisa akur, damai. Momen-momen seperti ini jarang sekali terjadi di antara aku dan Sekar, sangat sulit sekali terjadi dua kali dalam satu tahun. Tapi akhir-akhir ini aku dan Sekar menjadi lebih dekat dari biasanya karena untuk bapak. Kami memiliki pemikiran dan tujuan yang sama. “Panas banget ya perasaan, ngadem yuk. Mau minum apa, Mas? Aku pengen buat es teh nih, kamu mau? Kalau mau sekalian aja nih,” tawar Sekar yang langsung aku angguki kepala. Cuaca seperti ini memang cocoknya minum yang dingin. Terlebih ada yang menawari, jadi tidak boleh menolak rezeki. Sekar mengacungkan jempolnya ke arahku, dia memakai sandalnya lalu bersiap berjalan meninggalkan teras. “Argh” Tapi langkah kakinya Sekar terhenti begitu juga dengan gerakan tanganku yang ikut mengambang di udara, suara teriakan mamak begitu terdengar jelas di telinga kami berdua. Sekar berlari terlebih dahulu mendahului aku. Kami tergopoh menuju sumber teriakan mamak, berada di kamar. Sampainya di sana Sekar menghentikan langkahnya, mempersilakan aku untuk masuk terlebih dahulu. Sepertinya dia takut untuk masuk terlebih dahulu Pintu terbuka lebar, mamak terduduk di lantai. Posisi bapak terbaring dengan mata melotot lebar dan mulut pun ikut terbuka. Tanpa basa-basi kami berdua masuk ke dalam kamar mamak dan bapak, kondisi bapak terpelanting jauh ketimbang beberapa jam yang lalu saat bercengkerama dengan kami. Ada yang aneh. Aku mencoba membangunkan beliau, tapi masih nihil. Akhirnya aku berlari keluar dan berusaha meminta bantuan dari Pak Slamet. Sekar dan Mamak juga sedang berusaha membangunkan bapak, tapi masih nihil. Melihat aku berlari tergopoh-gopoh Pak Slamet langsung keluar dari dalam rumah, beliau pasti sudah menduga telah terjadi sesuatu dengan bapak. Tanpa aku menjelaskan beliau langsung menarik tanganku untuk kembali ke rumah. Kami berdua langsung menuju kamar bapak, kondisinya masih sama. Pak Slamet membacakan beberapa surat lalu mengusapkan ke wajah bapak, hitungan beberapa detik kemudian bapak kembali membuka mata. Kali ini menatap kami dengan tatapan sengit, aku yakin itu bukan bapak. Tatapan teduh dan bola matanya berubah derastis. “Aku balik maneh! Koe kabeh ra iso misahno aku ambi ragaku iki. Rogo iki wes nggonaku, ojo sampe mbok pisahne aku ambi ragaku. Pak No bakalan ngamuk nang aku.” Itu bukan suara bapak. Lagi-lagi aku menghela napasku panjang, mengapa tidak ada habisnya masalah ini? Si jahil ini selalu saja mencari cela untuk masuk ke dalam tubuh bapak dan itu pasti saat kami tidak berada di samping bapak. Aku kira teror tersebut sudah selesai, ternyata sampai rumah pun masih mendapatkan teror. Tidak pernah lelah untuk membuat kami resah. (Aku kembali lagi! Kalian semua tidak bisa memisahkan aku dengan ragaku ini. Raga ini sudah menjadi milikku, jangan sampai kalian pisahkan aku dengan ragaku. Pak No bakal ngamuk dengan aku.) Kembali si jahil menyebut Pak No, siapa dia? Aku curiga jika si Pak No adalah tuannya, si tuan yang mengutus untuk menempati raga bapak. Atau lebih tepatnya mengusik hidup bapak dan satu keluarga. Tapi siapa Pak No? No? Rino? Apa mungkin? Jangan berpikiran yang tidak-tidak, takutnya dugaan ini masih meleset jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD