Hari s**l (2)

1023 Words
“Tadi mampir ke kebon di ujung jalan, buat nyari jangkrik. Lo sendiri juga tumben datengnya kepagian. Apa jangan-jangan lo emang dateng jam segini?” sahut Fajar. Aku tertawa mendengar pertanyaanya. Mana mungkin aku datang sepagi ini? Memangnya ada hal yang lebih menarik di sini? Aneh sekali dia, seharusnya Fajar sudah tahu kalau aku lebih suka sendirian. “Habis nyari Jangkrik, tapi nggak dapet. Jar, boleh minta punya lo?” Aku menyunggingkan senyum ke Fajar, siapa tahu dia akan berbaik hati dan memberikan beberapa jangkriknya. Sepertinya aku harus menarik kata-kata orang yang akan menolongku akan dijadikan pacar. Fajar menatapku dengan tatapan heran. Kemudian dia mengangkat plastik yang dia bawa. “Iya-iya, nanti gue bagi. Lo memang paling tau kelemahan gue kalau udah ditatap begitu.” “Fajar ganteng banget, deh. Terima kasih, ya.” Sebenarnya aku agak sedikit jijik mengatakannya, berhubung dia telah berbaik hati, aku harus memberikan pujian sedikit untuknya. Lagi pula, itu memang fakta, bukan sebuah pujian palsu. “Nggak usah muji! Itu emang fakta.” Fajar berjalan mendahuluiku. Benar juga, aku lupa kalau Fajar itu terlalu percaya diri. Andai saja dia bukan teman, pasti aku sudah naksir berat. Ya ampun! Sadar Jesika! Setelah berjalan beberapa langkah, aku merasa ada hal yang tidak enak mengganggu penciuman. Aromanya tidak seperti biasa, ini bukan aroma pagi hari yang menyejukkan paru-paru. Aku menoleh ke arah Fajar, pria itu juga sedang mengendus mencari letak keberadaan baunya. “Nyium bau amis, Jar?” tanyaku ke Fajar Dari posisi saat ini, aku bisa mencium bau amis yang tidak enak. Tidak mungkin bau bangkai tikus, pasti ini hewan yang lain. Aku harus mencari tahu. Bisa-bisa mengganggu udara segar di sekolah ini kalau tidak segera diurus. Lagi pula, satpam malas tidak mungkin mau mencarinya. “Nyium, sih! Bau apa, ya? Amis gitu baunya. Bau apa menurut lo, Jes?” tanya Fajar dengan raut wajah bingung. Dia menatapku. “Ayo cari tahu, Jes! Gue penasaran banget. Kayaknya bau bangkai tikus nggak akan sebau ini, sih. Bau bangkai kucing?” Bau itu seakan menarik arah jalan kami. Langkah demi langkah mencari sumber dari bau yang sangat mengganggu udara semakin membawa kami mendekat. Awalnya aku berani, tetapi semakin baunya menyengat, aku semakin merinding. Setelah mengikuti arah, kami menuju ke gedung tanaman. Baunya semakin menyengat, wajah Fajar juga semakin menegang. Kami terus berjalan mendekati gedung itu. Walaupun aku ketakutan, tetap saja kami harus mencari tahu. Alasannya karena ini bukan seperti bangkai hewan biasa, bukan seperti bangkai tikus yang terlindas, apalagi bangkai kucing yang tertiban balok. Kecurigaanku semakin kuat setelah teringat kejadian kemarin. Mudah-mudahan saja bukan. Sepertinya aku mendengar suara dari belakang gedung tanaman. Aku menahan tubuh Fajar untuk berhenti berjalan. “Jar, sepertinya ada seseorang di belakang gedung tanaman.” Dia melirikku sekilas, lalu Fajar langsung berjalan perlahan-lahan, berusaha mengurangi suara agar tidak terdengar oleh orang yang berada di depan kami. Kami sudah seperti detektif saja. Kalau dibuat adegan film, pasti seru. “Damn!” Suara itu terdengar seperti orang yang kesal dengan sesuatu. Astaga, aku sepertinya mengenali suara ini. Semakin dekat kami berjalan, akhirnya kami sampai di sumber bau. Tidak mungkin, itu seorang siswa. Aku yakin dia cowok, postur tubuhnya terlihat tegap dan dia sedang berjongkok menghadap ke arah tanah. Buku dalam pelukan langsung jatuh seketika, kemudian orang itu melihat ke arahku. Astaga! Itu Samuel! Aku mengambil buku kembali dan mengambil langkah mundur, sambil menodongkan buku seakan-akan itu s*****a. Samuel berdiri dan mengangkat kedua tangannya. Untuk apa dia bersikap seperti itu? “Lo ... lo lagi ngapain, Sam?” tanyaku dengan gemetar. Keringat dari pori-pori mulai membasahi sebagian wajahku. Astaga, ini tidak masuk akal sama sekali. “Jes, gue bisa jelasin ....” Aku melihat dengan mata kepala sendiri, ada mayat seorang perempuan yang tergeletak di atas tanah. Wajah mayat itu tidak berbentuk sama sekali, siapa saja juga tidak akan mengenali cewek itu siswa SMA Angkasa kalau tidak mengenakan seragam SMA Angkasa. Aku langsung memundurkan tubuh dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Jelas saja, ada mayat di depanku dan wajahnya juga merah dengan darah. Seketika lututku lemas, aku langsung mencari tumpuan di dekat dinding tembok. Samuel masih diam di tempatnya. Sebenarnya aku tidak yakin kalau dia yang melakukan, tetapi curiga terhadapnya bisa saja. Habisnya dia benar-benar tenang saat melihat mayat yang persis di depannya. Kalau orang lain pasti sudah lari dan melaporkannya ke satpam. “Jes, lo kenapa?” tanya Samuel. Aku menggelengkan kepala. “Mundur!” lirihku. Aku tidak mungkin menyerahkan nyawa kepada pembunuh. Tidak sangka kalau Samuel berani berbuat seperti itu. Aku kira dia siswa yang baik, ternyata dia mampu melakukan hal kejam juga. Fajar berjalan ke arah Samuel. Dengan sekali gerakan dia langsung memutar tangan Samuel, sehingga gerakan Samuel terkunci sekarang. Wajah Samuel berubah menjadi merah, dia menahan sakit akibat pitingan yang Fajar lakukan. “Jar, bukan gue pelakunya! Tolong percaya sama gue!” kata Samuel dengan nada memohon. Astaga, kasihan sekali Samuel. Fajar tidak peduli yang dikatakan Samuel. Dia masih saja membuat Samuel kesakitan. Kasihan Samuel, aku jadi bingung harus membela atau menurut saja dengan Fajar. Kalau aku membela, nanti Fajar akan percaya kalau aku dan Samuel bersekongkol. Kalau aku tidak membela dan ternyata Samuel juga bukan orang yang salah, aku akan dihantui rasa bersalah nanti. “Jes, gue berani sumpah bukan gue pelakunya! Sumpah! Gue lagi mau lihat wajah dia, siapa tahu gue kenal. Tadi juga gue udah telepon polisi.” Samuel mengatakannya dengan lantang, tidak ada tanda kebohongan dari wajahnya. Aku yakin bukan dia pelakunya, tetapi keyakinanku belum cukup membayar semua keyakinan Fajar. “Pembunuh mana mau ngaku! Ayo ikut kami ke kantor polisi!” Samuel terus berontak agar bisa terlepas dari Fajar. Sayangnya, Fajar terlalu kuat sehingga Samuel tidak kunjung lepas. Tatapan mata Samuel mulai memelas. Dia menggelengkan kepala, seolah berkata dia bukan pembunuhnya. “Jes, percaya sama gue! Bilang temen lo untuk lepasin gue!” Sepertinya memang aku yang harus meyakinkan Fajar. Namun, aku tidak tahu apakah Fajar akan percaya atau tidak. Kalau dia tidak percaya, bisa-bisa dia curiga pada aku juga yang membela Samuel. Ayo Jesika berpikir! Samuel sudah kesakitan, lihat saja wajahnya memerah. Samuel, bertahanlah, aku akan menyelamatkanmu sekarang. Bukan karena aku suka, tetapi dari raut wajahnya mengatakan kebanaran kalau dia sedang jujur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD