Pasca Tragedi-Samuel (2)

1118 Words
Aku menoleh ke Jesika dan Fajar. Mereka sedang menatapku dengan bingung juga. “Tadi saya berangkat sendirian ke sekolah. Waktu sampai gerbang, itu udah sedikit nyium bau amis. Terus saya coba keliling nyari sumber baunya, ternyata dengan green house. Saya pikir hanya bau bangkai tikus atau hewan lain, makanya saya coba cari soalnya nggak enak banget. Ternyata ada perempuan yang lagi tengkurep terus badannya penuh darah. Saya langsung telepon Ayah saat itu juga.” Pak Praja terdiam setelah mendengar penjelasanku. Namun, arti tatapannya seperti tidak setuju atau bahkan tidak percaya. “Apa kamu punya saksi kalau omongan kamu benar dan dapat dipercaya?” tanya Pak Praja. Sudah aku duga, dia tidak percaya. Wajar saja, aku sendirian dan bisa jadi sedang mengelak. Namun, apa dia tidak pernah berpikir kalau aku, seorang siswa ingusan diduga menjadi sosok pembunuh? Aku rasa dia lupa atau jangan-jangan dia tidak peduli latar belakang usia dan statusku. “Sebenernya saya nggak punya apa-apa untuk dijadiin bukti omongan saya benar. Kalau Bapak mau coba geledah atau jadiin saya orang yang patut dicurigai, silakan, Pak. Saya bisa jamin kalau saya bener kali ini,” jawabku. “Saya bisa jamin kalau Samuel nggak ngelakuin itu semua.” Ayahku menjawab dari arah belakang. “Saya yang mendidik dia. Jadi, saya tahu bagaimana sikap dan kepribadiannya.” Bisa dibilang itu pembelaan terhadap anaknya. Namun, aku memang tidak melakukan itu semua. Wajar saja bukan kalau ayahku membela? “Kemudian kalian berdua bagaimana?” Pak Praja sekarang menatap Fajar dan Jesika bergantian. Jesika hanya tersenyum simpul. Dia pasti bingung ingin menjawab apa lantaran masih terkejut. Sementara Fajar justru menatap lantai dengan pandangan kosong. Dia tidak menatap Pak Praja dan juga tidak ada niat untuk berbicara. Ada yang aneh dari Fajar. Dia ketakutan banget dari tadi. Apa dia benar takut dengan beasiswanya? Apa jangan-jangan dia punya gangguan kecemasan? Intinya Fajar sangat aneh sekarang. “Ayo jawab! Mengapa kalian berdua hanya diam saja?” tanya Pak Praja. Jesika langsung menjawabnya. “Kami berdua dateng barengan, Pak. Seperti cerita Samuel yang cium bau amis. Kami juga langsung ke arah green house, terus ngeliat Samuel udah ada di sana. Saya bisa jamin kalau Samuel nggak ngelakuin apa-apa, soalnya seragam dia masih kelihatan rapi tadi pagi.” Cewek manis membelaku? Astaga, mengapa dia baik banget? Aku jadi semakin cinta padanya. Andai saja tidak ada orang di sini, mungkin aku sudah lompat-lompat. “Terima kasih, Jes,” ucapku tulus. “Saya dan Jesika tadinya nuduh Samuel, tapi kayaknya emang bukan Samuel dan bukan kami berdua juga. Pelakunya pasti udah lari, Pak. Darah di tanah tadi sudah mengering, mungkin mayat itu udah ada di sana sejak lama, makanya bisa sampai kering. Kalau dari pengamatan saya seperti itu,” jelas Fajar. Wow! Fajar memerhatikan sampai ke darah yang kering di tanah. Aku saja hanya fokus ke bagian wajah Berly yang sulit diidentifikasi. Mungkin karena Fajar terlalu teliti atau mungkin karena aku yang tidak peduli. “Tubuh mayatnya juga udah keliatan kaku, Pak. Saya juga mikir itu mayat udah lama ada di sana. Mungkin malam hari mayat itu ada di belakang green house? Soalnya keliatan banget itu udah lama. Waktu tadu juga masih pagi, nggak mungkin sekaku itu kalau baru, sih. Jadi, kesimpulannya si pelaku nggak akan bisa dikejar hari ini soalnya nggak ada petunjuk,” jawab Jesika. Oke, mereka berdua memang tergolong murid pintar. Tidak seperti aku yang hanya murid biasa-biasa saja. Aku jadi malu sekarang karena tidak ada kontribusi sama sekali. “Kalian emang hebat dalam menyelidiki sesuatu. Nggak salah pihak yayasan kasih kalian berdua beasiswa. Saya heran, kenapa kalian bertiga yang melihatnya pertama kali? Emangnya satpam ke mana?” kata Pak Praja. Seandainya dia tahu kalau satpam sekolah kami itu hobi tidur. “Mungkin satpam lagi keliling lingkungan sekolah untuk memastikan keamanan, Pak,” jawabku. Pak Praja tertawa mendengar jawabanku. “Dia pasti lagi tidur. Biasa, deh! Dia itu ada nggak bisa tidur malem soalnya jaga sekolah. Makanya tidur pagi sambil nungguin pergantian shift kerja.” Haha! Satpam itu tidur tidak saat pagi saja. Dja bahkan bisa tidur siang, sore, saat kami tiba di sekolah atau pulang sekolah. Kalau dalam pengandaian, dia tidak peduli masalah di luar, yang terpenting hidupnya nyaman. “Saya hanya menanyakan perihal tadi pagi aja. Maaf kalau terkesan nuduh, hanya ingin melihat kalian mengatasi tuduhan saja. Kalian jangan sampai kena masalah nanti, ya!” kata Pak Praja. Aku bisa bernapas sedikit lega sekarang. Kalau tadi masih ada sedikit yang mengganjal di d**a. “Emangnya bener kalau Berly kemarin dikutuk?” kata Pak Praja sedikit berbisik. Oke, ini sudah keluar jalur. Apa?! Pak Praja terkena racun kutukan juga sekarang? “Yah, begitu, Pak. Bener banget kalau Berly kemarin dikutuk sama Siska. Sebenernya banyak yang nggak percaya, tapi malah kejadian juga pagi ini. Nggak tau itu kutukan atau bukan, tapi serem,” jawab Fajar. Untuk yang satu itu aku setuju. Tidak percaya dengan kutukan, fetapi tadi adalah salah satu bentuk bukti nyatanya kutukan di sekolah kami. “Kalian nggak ada informasi lain tentang yang tadi pagi aja? Bapak lagi ngusut kasus ini, tapi kayaknya berat. Soalnya Bapak jauh dari murid-murid, jadi nggak bisa nanya informasi apa-apa,” kata Pak Praja. “Hanya kesaksian tadi aja, Pak. Selebihnya kami nggak ada omongan lain. Soalnya kami juga nggak ngerti masalah kutukan dan mayat tadi pagi. Emangnya apa yang Bapak harapkan dari kami?” Jesika menjawab omongan Pak Praja. Pak Praja tersenyum kikuk. Kemudian dia menggelengkan kepalanya sambil tangan menahan Jesika agar tidak membalas ucapannya lagi. “Bapak nggak harap apa-apa. Pokoknya yang penting kalian baik-baik aja walaupun ada masalah di luar. Kalian sebagai saksi, Bapak harap bisa jaga kerahasiaan ini dan jangan terlalu buat keramaian. Silakan kalian boleh pergi kalau mau.” Aku menoleh menatap Jesika. Dia langsung berdiri dan membelakangi Pak Praja. Setelah itu, kami baru tersadar kalau ternyata kedua orang tua Berly masih sedih sen menangis. Mereka kehilangan anaknya. Siaoa yang tidak sedih? Jesika langsung berjalan ke arah ibu Berly dan duduk di sampingnya. Tangannya mengelus pundak sambil memberikan perkataan yang tidak dapat kami dengar. Kasihan sekali mereka. Aku tidak tega melihatnya. Apa bisa aku keluar dari sendirian sekarang? “Tante yang sabar, ya? Berly harus pergi sekarang. Dia udah tenang di atas sana. “Bukan itu, Nak. Tante nggak mau anak tante diautopsi. Kasian banget rasanya kalau wajah Berly udah hampir ancur malah dipaksa untuk autopsi,” kata Ibu Berly. Jadi, mereka berdua tidak mau anaknya diautopsi, ya? Wajar saja, sih. Kasihan juga jika masih diautopsi. “Tapi harus diidentifiksi. Wajah mayat tadi nggak bisa diidentifikasi. Ibu harus izinin kami autopsi di rumah sakit nanti,” kata ayahku. “Pokoknya saya nggak mau anak saya diautopsi. Saya mau habis ini pulang sambil bawa Berly. Saya mau makamin dia hari ini juga.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD